Dikit lagiiiii menuju kata the end🙃
.
"Ya Allah, Adek...."
Ratih menjerit dengan mata melotot saat melihat anak bungsunya muncul dari kamar dengan wajah penuh lebam.
"Mah, masih pagi..."
"Ini muka kamu kenapa?! Anak Mamah yang ganteng kok bisa jadi jelek kaya begini?!"
"Awh, sakit, Mah..." Alano meringis kesakitan saat Ratih menepuk-nepuk kedua pipinya.
Semalam Alano berhasil masuk ke dalam rumahnya dengan aman. Kedua orangtuanya sedang pergi dan pulang larut malam. Sehingga mereka tidak mengetahui kejadian yang membuat wajahnya babak belur. Adisa pun walaupun sambil mengomel-omel tak jelas, tetap bersikukuh untuk mengobati. Mengkompres wajah, perut, dan punggungnya dengan es hingga membuatnya menjerit ngilu. Untungnya tak sampai membuat Panji kepo dan menyiduk dua remaja itu. Karena setelahnya, Adisa berkali-kali mendapat pesan serta panggilan untuk segera pulang dari sang ayah.
"Sok jagoan, sih!" sindir Ratih.
"Ini hasil kesalahpahaman, bukan karena aku sok jagoan!" jelas Alano sembari menarik kursi.
Ratih mendengus, lalu mengadu pada sang suami yang baru muncul di meja makan. "Ayah, lihat itu anakmu. Masih piyik aja sok-sokan berantem!"
Radi menatap tajam anak bungsunya. "Kamu dipukulin, 'kan?" terkanya saat melihat luka di wajah sang anak.
"Sama siapa?!" jerit Ratih ketika Alano mengiyakan pertanyaan sang suami.
"Udah aku bilang, ini hasil kesalahpahaman. Bukan berantem karena sesuatu yang besar, kok."
Alano menunduk lalu segera meraih sendok dan garpunya untuk memakan sarapannya. Remaja laki-laki itu terlihat enggan untuk sekadar berbagi cerita. Mungkin ego remajanya sedang menguasai. Hal ini membuat Radi dan Ratih kompak menghela napas. Berkelahi untuk laki-laki memang cukup wajar. Apalagi Alano memang besar di lingkungan militer. Sejak kecil, berkelahi sudah menjadi santapannya di tempat latihan. Pemegang sabuk hitam karate sejak satu tahun yang lalu itu, sebenarnya tak pernah membiarkan dirinya babak belur sekalipun. Radi selalu menekankan jika bekal ilmu bela diri itu bukan untuk gegayaan. Bukan untuk pamer dan menganggap dirinya yang paling hebat. Apalagi sampai memukul orang lain terlebih dahulu. Prinsipnya adalah "kamu boleh pukul orang, kalau orang itu pukul kamu duluan". Tapi entah mengapa, anak bungsunya ini bisa babak belur padahal sebelumnya mampu mengalahkan dua preman pasar saat masih tinggal di Bandung.
"Alano..."
Suara berat Radi saat memanggil namanya, membuat tubuh Alano kaku. Ia meletakkan sepasang alat makan kemudian menaruhnya di atas piring dengan hati-hati. Wajahnya senantiasa menunduk, tak berani mendongak untuk memandang wajah sang ayah. Dengan jantung yang berdetak kencang, ia menanti ucapan yang keluar dari mulut Radi. Mungkin tentang pertanyaan yang sebelumnya diajukan sang ibu atau tentang yang lainnya. Entah lah, Alano terlalu gugup!
"Jawab cepat dan jujur."
"Siap!"
Wajah Alano langsung mendongak dan menatap lurus sang ibu. Jika sang ayah sudah mengeluarkan titah tersebut, ia harus patuh dengan sikap siap. Tak boleh berbohong dan mengelak sedikitpun. Nasib jadi anak didikan militer!
Di seberang meja, Ratih menghela napas kasar. Menanti pertanyaan Radi yang sekiranya bisa membuat Alano mengungkap alasan wajahnya bisa menjadi seperti itu. Kepalanya sedikit berdenyut, pusing. Sudah cukup lama anak bungsunya itu tak terlibat perkelahian.
"Dipukul atau memukul?"
"Siap! Dipukul!"
"Satu orang atau lebih?"

KAMU SEDANG MEMBACA
ADISA
Genç Kurgu-SCHOOL SERIES (1)- -COMPLETED- Please ya guise... Vote adalah bentuk apresiasi untuk penulis. . "Satu-satu aku sayang Alano..." "Dua-dua juga sayang Alano..." "Tiga-tiga always sayang Alano..." "Satu dua tiga, Alano punya Disa..." Ini adalah kisah...