ADISA | 09

3.8K 132 3
                                    

Untuk para pembaca yang budiman, sudikah kalian menekan tombol 🌟 agar cerita ini semakin ke depan?

Happy reading, guise~

.

"Disa ngambek sama Ayah!"

Adisa berlari menaiki tangga. Menutup pintu kamarnya dengan kencang. Kemudian mendumel di atas ranjang. Ia kesal pada Panji yang tak menepati janjinya. Dalam ingatannya, Ayahnya berjanji kalau mereka berdua akan pindah rumah setelah resmi menyandang status duda beranak satu. Itu pun kalau dirinya setuju pada rencana Panji.

Namun, betapa mengejutkannya, ketika pulang dari sekolah dengan penuh peluh hasil membersihkan lapangan, dirinya menemukan Panji sudah menata baju di dalam koper. Selanjutnya, ketika ia bertanya, apakah Ayahnya harus dinas ke luar kota sehingga menata pakaian, ternyata jawaban kepindahan rumah yang dipercepat menjadi alasannya.

Ceklek...

Suara pintu yang dibuka membuat Adisa memasukkan seluruh tubuhnya ke dalam selimut. Mengabaikan Panji yang sudah pasti akan mengatakan kata "Maaf, Ayah..." sembari membujuknya agar mengikuti kata-katanya.

Sudah puluhan kali Adisa menabahkan hati. Selalu berusaha mengerti keadaan keluarganya yang berantakan. Ibunya yang semenjak bekerja dan menjadi wanita karir, menelantarkan suami dan anaknya yang masih kesusahan mengurus diri sendiri. Ayahnya pun tak jauh berbeda. Pekerjaan dan ayahnya sulit dipisahkan. Berangkat pagi pulang malam sudah menjadi rutinitas. Menjadikan Adisa selalu berteman dengan sepi.

Bahkan, saat Panji mengabarkan berita perpisahan orang tuanya, ia hanya bisa tersenyum sendu. Tanpa bertanya alasannya dan berkata seakan dia akan baik-baik saja.

Rumah ini adalah salah satu kenangan yang masih ada di antara kenangan kebersamaan keluarganya. Sekalipun terlalu besar untuk dua orang, setidaknya ini bisa menjadi pengingat. Bahwa selagi kecil hingga akhir baligh, Adisa tak pernah kekurangan apa pun. Kucuran kasih sayang dan materi dengan mudahnya perempuan enam belas tahun itu dapatkan.

Lalu, kini... apakah Adisa harus mengobarkan hatinya kembali? Mengatakan dengan senyuman bahwa dirinya akan menuruti kata-kata sang ayah untuk meninggalkan kenangan mereka?

"Disa..." Panggilan lirih dari Panji tak membuat anaknya bergeming. Malahan anak semata wayangnya semakin menenggelamkan diri ke dalam selimut. "Maaf," ucapnya pelan.

Di dalam selimutnya, bendungan air mata milik Adisa jebol seketika

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di dalam selimutnya, bendungan air mata milik Adisa jebol seketika. Kata "Maaf" dari Ayahnya terlalu menyentil titik sakit perasaannya. Kedua bahunya naik turun seiring suara sesenggukan dari tenggorokannya keluar. Tangannya memegang erat selimut, menahan usaha Panji yang ingin melihat kerapuhannya. Dia tak ingin terlihat seperti saat masih kecil. Menangis karena kesakitan dan melaporkannya. Kemudian berharap diiming-imingi mainan agar bisa ceria kembali.

"Ayo, Disa. Keluar dulu, jangan nangis di dalam selimut. Nanti dada kamu sesak," bujuk Panji lembut. Tangannya menarik ujung selimut bagian atas lebih keras lagi, membuat penampakan Adisa yang tergugu mengiris hatinya.

ADISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang