ADISA | 06

4.2K 159 7
                                    

Hayoo yang mau baca vote dulu hehehe 😆

.

Alano duduk di salah satu kursi plastik, di depan kedai martabak milik anak sulung presiden Indonesia. Masih ada dua antrian dari ojek online sampai pesanannya dibuatkan. Laki-laki yang memakai kaos berbalut hoodie hitam dengan celana jeans selutut itu nampak fokus pada ponselnya. Acuh tak acuh pada sekelilingnya, sampai suara perempuan menarik atensinya.

"Yang bagian coklat dibanyakin ya, Bang." Kata si perempuan dengan nada agak menggoda.

"Adisa?"

Mendengar namanya disebut, Adisa memutar kepala. "Huh?" Menemukan Alano yang sedang menatapnya, Adisa langsung mengerucutkan bibir. "4L deh, bosen."

Dahi Alano mengerut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dahi Alano mengerut. "4L?"

Adisa mengibaskan tangan. "Lo lagi, lo lagi."

Mendengus, Alano kemudian menarik tangan kiri Adisa. Remaja ber-hoodie hitam itu mendudukan 'temannya' di kursi sebelahnya. "Sendirian?" tanyanya singkat.

Adisa mengangguk sambil melepaskan tangan Alano. "Sendiri dan Adisa adalah teman yang tak akan terpisahkan."

Bibir Alano tersenyum simpul. "Naik apa?"

"Kaki."

"Serius."

"Gue juga."

Alano menggaruk kepalanya. "Maksud lo, jalan kaki?"

"Iya."

Alano semakin bingung dengan perempuan di sebelahnya. Biasanya, Adisa selalu punya stok suara untuk menjawab ucapannya. "Kenapa?"

"Hah?"

Adisa bingung. Laki-laki di sebelahnya itu hanya mengajukan sepatah kata yang tak bisa ditangkap maksudnya.

"Lo kenapa? Sariawan? Irit banget ngomongnya," ujar Alano ingin tahu.

Kesal, tangan kanan Adisa mendarat mulus di kepala Alano. Membuat sang korban berdecak sambil kesakitan. "Gue kesel ya sama lo..."

Alano menghembuskan napas pelan, matanya melirik Adisa. Perempuan itu hanya memakai kaos lengan pendek dan celana selutut. Kakinya terbalut sandal jepit berwarna biru tua. Rambut ikal sebahunya dikuncir separuh. Membuat Alano cukup melihat perbedaan tampilan perempuan itu. "Lebih manis digerai," batinnya.

"Pesanan atas nama Alano dan Adisa sudah siap!"

Teriakan dari meja kasir membuat keheningan di antara dua remaja beda jenis itu terputus. Mereka mengambil pesanan dan berjalan ke luar kedai.

Alano membuntuti Adisa dalam diam. Alih-alih menghampiri motor hitamnya, laki-laki itu justru terus berjalan di belakang Adisa. Matanya mengawasi punggung Adisa yang nampak kecil. Entah sudah seberapa jauh meninggalkan motornya di depan kedai martabak, langkahnya terhenti di sebuah taman komplek perumahan. Lalu, dengan kedua manik matanya, ia melihat bagaimana seorang Adisa Karina -si perempuan galak yang suka berbicara keras padanya- menangis dalam diam.

ADISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang