ADISA | 37

387 36 23
                                    

Nah nah nah ...

Lagi nggak pen bacot.

So, enjoy 🤘

.

Pintu ruang kesehatan setengah terbuka saat Adisa memapah Alano dan masuk ke dalamnya. Meja petugas kosong, hanya ada tulisan yang berisi jika yang bersangkutan sedang ada urusan di kantor guru. Adisa pun menempatkan Alano di atas ranjang yang berdecit kala tubuh besarnya dipaksa duduk di sana. Tanpa banyak bicara, Adisa mencari peralatan yang diperlukan untuk mengobati luka Alano. Obat merah, cairan antiseptik, kapas, kain kasa, plester, semuanya tergeletak di sisi Adisa.

"Perih?" tanya Adisa lirih.

"Sedikit," jawab Alano sama lirihnya.

Adisa mengamati bagaimana punggung tangan Alano memerah dengan kulit yang terkelupas. Dalam sudut hatinya yang paling dalam, ia merasa ngeri sekaligus marah. Alano terlalu bodoh untuk menyakiti dirinya sendiri.

"Gue-"

"Sstt..."

Adisa meraih tangan Alano dan memangkunya di atas paha. Hal ini sontak membuat Alano menegang. Berada di samping Adisa saja sudah membuat jantungnya meledak, apalagi saat telapak tangannya merasakan betapa halusnya kulit paha Adisa.

Astaga, Alano! Tahan pikiran jorok lo!

"Gue minta maaf."

"Gue minta maaf."

Mata Adisa dan Alano bertemu.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

"Hahaha..."

Keduanya kompak tertawa setelah tiga detik mengucapkan kalimat yang sama. Bibir Adisa mengerucut setelah tawa mereka mereda. Sedangkan Alano mengulas senyum manis sembari mengelus pelan pipi Adisa dengan tangannya yang bebas.

"Gue kangen lo, Dis..."

"Sama..."

Tangan Alano naik ke puncak kepala Adisa. Lalu mengusapnya pelan sembari berbisik, "Jangan putusin gue ya, Adisa Kirana."

Plak!

"Aawh!" Alano meringis kala tepukan Adisa justru membuat tangannya yang lecet semakin perih.

ADISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang