ADISA | 25

2.4K 65 8
                                    

Hayo, jangan mampir cuma buat baca. 😏

Vote juga lah. Pelit amat.

.

"Ayo, pulang."

Adisa mengangguk, mengiyakan ajakan sang kekasih sambil mengikuti langkah panjangnya. Matanya bergerak ragu saat Alano memilih berjalan di depan, alih-alih di sisinya.

Sampai di parkiran yang masih penuh, Adisa langsung memakai helm hitam yang sempat dibelikan Alano beberapa hari yang lalu, setelah beberapa kali protes dengan helm pink milik Ratih. Menaiki boncengan motor hitam Alano, kedua tangannya memegang bahu kokoh Alano sebagai pegangan. Dan tanpa aba-aba, Alano memutar gas motornya meninggalkan area parkiran sekolah menuju perumahan Griya Patra.

Sepanjang perjalanan, keduanya kompak menutup mulut. Bahkan, saat berhenti di lampu merah, Alano yang biasanya menjahili Adisa dengan mengelus-elus lutut mulusnya, atau bahkan menarik-narik kedua tangan Adisa agar memegang pinggangnya, alih-alih di kedua bahunya seperti tukang ojek, justru hanya diam sambil tetap setia memandangi countdown di atas lampu lalu lintas. Sedang Adisa, perempuan berambut sebahu itu nampak ragu untuk mencolek punggung Alano untuk memulai percakapan. Raut kaku Alano cukup membuat nyali Adisa menciut.

"Al..."

Alano mengurungkan niatnya menarik kopling. Kepalanya menoleh pada Adisa yang berdiri sambil memainkan kedua jemarinya. Dengan wajah dingin dan mata yang tajam, Alano menunggu kelanjutan dari panggilan sang kekasih di balik kaca helmnya.

"Gue ada salah sama lo?"

Dada Alano yang sedari tadi terasa sesak, sedikit merasakan hembusan angin segar. Rupanya, kekasihnya itu cukup peka. Setelah menghembuskan napas dan menaikkan kaca helm, laki-laki berambut cepak itu menatap lurus mata bulat Adisa.

"Tell me, please?" Lagi, Adisa memohon untuk Alano membuka mulut.

"Jujur sama gue, Dis."

"Ya?"

"Gue tahu lo deket banget sama Reza. Jauh, sebelum ada gue di samping lo. Tapi, gue cukup terganggu sama sesuatu." Mata Alano sejenak berpaling ke arah lain. "Tadi pagi..." Ia kembali membalas tatapan Adisa dengan rahang yang mengetat dan bertanya, "Apa yang terjadi di antara kalian?"

Adisa menggeleng cepat. "Nggak ada apa-apa, Al. Kita udah berantem dari kemarin. Reza kalo marah emang bar-bar. Suka tendang atau banting barang. Tapi dia nggak mukul gue, kok."

"Oh..." sahut Alano pendek dan datar.

"Dia emang nggak mukul. Tapi lebih parah dari itu, brengsek! Dan lo milih untuk nggak jujur sama gue, Dis!" lanjut Alano di dalam hati.

Tak ayal, emosinya kembali merangkak naik. Sebelum mencapai titik didihnya dan menyebabkan kekacauan, Alano memilih untuk segera melajukan motornya ke rumahnya sendiri. Meninggalkan Adisa di depan rumah perempuan itu dalam keterdiaman.

Adisa menghela napas. "Alano kenapa, sih? Nggak biasanya dia gitu," gumamnya sambil memandang rumah berlantai dua. Tempat Alano menghilang dari pandangannya. Setelah tak mendengar suara mesin motor Alano, Adisa pun bergerak masuk ke dalam rumah.

Di dalam kamar bernuansa baby blue, setelah berganti pakaian, Adisa mengamati balkon kamar Alano dari jendelanya. Jika biasanya, ia akan menemukan sosok Alano yang menggodanya dari sana, kini hanyalah kehampaan yang menyapa. Pintu kaca kamar Alano masih tertutup rapat. Adisa pun kembali menghela napas. Segera ia meraih ponsel dan mengirim pesan pada kekasihnya.

Me : Jangan lupa makan, Al.

Bermenit-menit lamanya, tak ada tanda-tanda balasan dari Alano. Yang ada hanya pesan dari sang ayah dan kakak sepupunya. Dua laki-laki itu kompak memberinya perintah ini itu. Jika Hafis menyuruhnya untuk istirahat tanpa bermain ponsel, sang ayah justru memintanya untuk menerima panggilan video. Kalau saja bukan karena ada rapat direksi, Adisa pastikan Panji sudah menarikkan selimut dan mengusap kepalanya agar tidur siang.

ADISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang