Wow update seminggu sekali 👌
Soalnya bentar lagi end 🙄🙄🙄
Selamat membaca 💋
.
Di dalam sebuah ruangan bekas penyimpanan buku-buku sekolah, Adisa menatap nanar layar laptop di atas meja. Hatinya remuk kala melihat orang yang dianggapnya sahabat justru menusuknya dari belakang. "Kok dia tega sama gue, Ja? Gue salah apa sama dia? Kenapa harus dia?" Berkali-kali bibirnya meracaukan banyak hal.
Reza dan Odi pun hanya bisa menepuk-nepuk pundak Adisa. Mencoba menyalurkan kekuatan. Mereka berdua paham kalau Adisa selalu tulus menyayangi teman-temannya. Dan pasti menyakitkan saat tahu orang yang disayanginya justru memojokkan dirinya.
"Ini semua salah gue, Dis." Adisa menatap Reza tak mengerti. "Raya suka sama gue, dari dulu. Tapi gue nggak suka sama dia, makanya gue abai dan malah kejar lo terus-terusan. Mungkin dia marah, jadi... yah, melampiaskan kemarahannya sama lo. Maafin gue, Dis."
Perkataan Reza menampar Adisa begitu keras. Harusnya ia lebih perhatian pada orang-orang di sekelilingnya. Jika saja ia lebih peka, mungkin semuanya sudah meraih kebahagiaan bersama.
"Harusnya gue lebih peka. Jadi kita nggak saling tusuk kaya gini."
Fandi menutup laptop miliknya sambil berseru, "Udah. Jangan salah-salahan lagi."
Odi pun setuju dengan Fandi. "Setelah tahu kalo Raya orangnya, kita mau ngapain?" tanyanya sambil menyenderkan tubuh ke tembok.
"Gue bakal bicara empat mata sama dia," kata Adisa setelah mengelap ingus dan mengelap air matanya.
Reza menggeleng tak setuju. "Gue pikir kita bakalan bikin dia jera. Kita udah sepakat dulu, mau cari pelakunya dan bikin dia jangan macam-macam lagi."
"Tapi dia sahabat kita, Ja! Gila apa kalo mau memperlakukan dia kaya terdakwa di ruang sidang?!" sahut Adisa emosi.
"Sahabat?! Mana ada sahabat yang nusuk sahabatnya sendiri?!"
"Ja–"
"Itu bukan sahabat namanya. Tapi An-jing. Ba-bik. Bang-sat!"
Adisa, Odi dan Fandi hanya bisa menghela napas. Reza yang marah akan sulit dilawan. Membiarkannya hingga beberapa waktu adalah cara yang tepat agar laki-laki itu bisa diajak diskusi.
Seruan suara bel membuat keempat remaja itu membubarkan diri. Fandi mengingatkan Reza agar bersikap sewajarnya. Masih ada beberapa jam hingga waktu pulang sekolah. Melihat wajah orang yang sedang dibenci memang tidak mudah. Namun Fandi tetap memaksa Reza agar bertahan dan tidak meledak. Begitu pula dengan Odi yang senantiasa berjalan di belakang Adisa. Jaga-jaga perempuan itu limbung. Karena sejak berjalan kembali ke kelas, Adisa nampak pucat dan lemas.
Adisa, Odi, Reza masuk berurutan. Ketiganya kompak mengunci mulut, bahkan saat Rana menyapa Odi dengan ramah. Reza sempat menatap sinis Rana yang dibalas tatapan bingung. Sedangkan Adisa tidak berkata apa-apa, bahkan saat guru masuk ia memilih untuk menidurkan kepalanya yang berat di atas meja.
"Gue tutupin pake buku, ya," bisik Reza sembari menutupi kepala Adisa agar aman dari lemparan spidol yang dijawab dengan kebisuan sang sahabat.
Pada jam istirahat kedua, Adisa memilih menyendiri di toilet perempuan yang letaknya paling pojokan. Setaunya, toilet ini jarang dijamah karena letaknya kurang strategis. Kecuali untuk para siswa bandel yang suka merokok atau terpaksa melakukan kegiatan kurang terpuji lainnya. Adisa enggan menyebutnya, ia masih polos.
Berbekal sebotol air mineral dan sebungkus roti srikaya, Adisa merenung dalam diam di dalam salah satu bilik toilet. Tak lupa dengan ponsel yang tersambung earphones dan memutar playlist kesayangannya. Alasannya berada di sini karena taman belakang sekolah sudah di-blacklist. Adisa merasa akan bertemu Alano di sana. Dan itu adalah bencana, setidaknya untuk saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ADISA
Teen Fiction-SCHOOL SERIES (1)- -COMPLETED- Please ya guise... Vote adalah bentuk apresiasi untuk penulis. . "Satu-satu aku sayang Alano..." "Dua-dua juga sayang Alano..." "Tiga-tiga always sayang Alano..." "Satu dua tiga, Alano punya Disa..." Ini adalah kisah...