E P I L O G

624 26 9
                                    

Sepatah kata untuk part terakhir?

.

"Siap?"

"Always, baby!"

"Geli, Dis."

"Lo diajak reromantisan nggak mau?! Fix, lo harus belajar dari Reja."

"Males banget."

Adisa tertawa melihat wajah datar Alano. Kakinya maju, selangkah lebih dekat. Kedua tangannya lalu menangkup pipi sang kekasih sambil bertanya, "Berarti kalo gue mau reromantisan sama Reja boleh, dong? 'Kan gue nggak dapetin itu dari elo?"

"Nggak! Enggak ada. Gue cium sampe kehabisan napas kalo lo berani!" ancam Alano dengan kedua tangan yang ikut-ikutan menangkup pipi Adisa. Bahkan hingga bibir merah kekasihnya itu mengerucut dan menggoda untuk dikecup.

"Ih, mau dong!" celetuk Adisa menggoda.

Alano bergeleng geli, lalu menepuk puncak kepala Adisa pelan. "Berangkat sekarang, yuk!"

Ia lalu menggiring Adisa menuju mobil sang ayah yang terparkir di jalan. Setelah keduanya di dalam mobil, Alano segera menekan gas dan meluncur di jalanan yang ramai. Butuh waktu sekitar empat puluh lima menit untuk sampai di tempat yang mereka tuju. Adisa dibuat heran oleh Alano. Pasalnya, sejak tadi laki-laki itu tak mau membuka suara mengenai tujuan mereka. Lalu kini kakinya menapak di bangunan Mal yang jarang sekali ia kunjungi. Berhubung ada Mal yang lebih dekat dari rumahnya.

"Ini kita ngapain sih, di sini?" tanya Adisa.

"Nanti juga lo tau. Sabar ya, kita naik ke lantai tiga dulu." Alano memencet nomor tiga di dalam lift. Sengaja ingin memberi kejutan untuk ulang tahun sang kekasih.

Ya, hari ini tepat Adisa menginjak usia tujuh belas tahun. Alih-alih mengadakan pesta ulang tahun yang meriah seperti remaja kebanyakan, Adisa memilih untuk sekadar tiup lilin dan makan kue bersama keluarga kecilnya tadi pagi. Ditambah Alano dan keluarganya yang ikut menyesakkan ruang tamu rumah Adisa. Lalu siang ini, Alano mengajaknya pergi ke suatu tempat. Dan Mal tidak masuk ke dalam ekspetasinya.

Adisa menggaruk dagunya sejenak. Dahinya mengerut, sesaat setelah Alano menyuruhnya berdiri di pinggiran pembatas lantai tiga. Laki-laki itu berdiri persis di sebelah kanannya sambil memandang keramaian di lantai dasar. "Lo tahu nggak kenapa gue ajak ke sini?" tanya Alano sambil tersenyum lebar.

"Eng-nggak," jawab Adisa ragu.

Alano menoleh pada sang kekasih. Ia mengulurkan sebuah paper bag yang sejak tadi ada di genggamannya. "Buka, deh."

Adisa menerimanya, lalu mengeluarkan isinya. Sebuah boneka beruang putih seukuran telapak tangan orang dewasa. Jempolnya mengelus hidung mungil sang boneka sambil berseru, "Ini 'kan punya gue, Al. Yang ada di etalase kamar, 'kan? Ngapain sih di bawa ke sini?"

Dengan wajah sebal, Alano merebut boneka itu. "Jadi lo beneran nggak inget apa pun, ya?"

"Hah, apaan sih?"

"Coba lo inget-inget lagi. Kapan lo dapetin boneka ini? Atau dari mana? Ayok..."

Adisa menuruti permintaan Alano. Sekiranya kapan dirinya mempunyai boneka itu. Mungkin saat ia masih Taman Kanak-kanak atau sudah masuk ke Sekolah Dasar? Ia juga tak ingat pasti. "Nggak inget," ringisnya.

Dengusan terdengar dari mulut Alano. Remaja laki-laki yang tubuhnya terbalut kaos putih dengan kemeja jeans di luarnya pun dengan sabar merangkul bahu sang kekasih. Mengarahkan kembali pandangan mereka ke lantai dasar yang kini sedang ramai-ramainya. Kemudian perlahan mengisahkan bagaimana boneka sekecil itu pernah menjadi kisah manis di masa lalu mereka.

"Sekitar dua belas tahun yang lalu, gue yang masih gendut dan suka koleksi mobil remot, pernah dateng ke sini sama Masku, Papanya Rafa. Waktu itu, gue lagi ulang tahun yang ke lima. Bersamaan dengan sebuah perusahaan yang lagi ngadain anniversary give away di sana." Telunjuk Alano mengarah ke lantai dasar Mal tersebut. Bibirnya kembali mengulas senyum, sebelum melanjutkan, "Dan... gue dapetin boneka ini, yang katanya limited edition. Gue seneng sih, karena rasanya ada kado spesial yang mungkin bakalan bisa gue pamerin ke temen-temen. Sampai akhirnya..."

Alano melirik Adisa yang juga sedang meliriknya. Mata keduanya beradu.

"Ada bocah kecil yang nangis-nangis minta dikasih boneka ini. Padahal semuanya udah habis dibagiin ke anak-anak yang beruntung. Terus... voilà! Gue dan Papanya Rafa yang baik hati pun, memilih untuk memberikan boneka ini buat si bocah cengeng itu."

"Bentar... maksud lo, bocah itu... gue?" pekik Adisa dengan mata melotot sempurna.

Alano tertawa kecil lalu mengangguk. "Yap. Si cewek cengeng nan kecil itu ya elo, Dis. Adisa Karina. Yang sekarang lagi ulang tahun ke tujuh belas dan punya gelar sebagai cewek paling cantik di mata Alano Wijaya."

"Ih, gombal!" seru Adisa malu-malu.

"Tadi katanya suruh romantis," sahut Alano datar.

"Eh, tapi lo tau cerita itu dari mana, Al? Masa sih lo bisa inget ceritanya?"

Alano meringis. "Dari Tante Nina. Kemarin pas gue liat boneka itu, tiba-tiba aja gue penasaran. Dan... yah, mengalirlah cerita itu."

Dengan wajah penuh senyum bahagia, Adisa meraih tangan Alano. "Jadi... maksud lo, sebelumnya kita itu udah pernah ketemu gitu? Si boneka ini ternyata pernah jadi saksi sweet story kita di masa kecil?" tanya Adisa masih setengah tak percaya.

Anggukan Alano cukup bagi Adisa untuk memekik kencang sebelum menubruk tubuh besar sang kekasih. "Ih, so sweet banget! Ya ampun, Alanoooo... nggak nyangka gue! Je t'adore, mon cheri ..." *

"Je t'adore beaucoup, ma cherie..." **

*Aku cinta kamu, sayangku (untuk laki-laki) - ungkapan rasa suka, sayang, cinta

**Aku sangat mengagumimu, sayangku (untuk perempuan) - balasannya dari kalimat di atasnya

.

Sebelum pamit dan pindah ngurusin lapak sebelah, aku mau bilang maaf jika alur dan ceritanya nggak sesuai ekspetasi kalian. Dan makasih  untuk kalian yang udah nemu-ngikutin-bahkan support cerita ini.

I love u all 😚😭💕💋

.

Bye and see you~

👋👋👋

ADISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang