ADISA | 05

4.8K 147 8
                                    

Jadi gais, vote dan komen itu gratis 😂

Happy reading~
.

Di depan salah satu ruangan sidang di dalam gedung Pengadilan Agama, Adisa dan Panji duduk dalam diam. Berpenampilan rapi dengan kemeja dan rok di bawah lutut, anak semata wayang Panji nampak santai saja. Berbanding terbalik dengan sang ayah yang sama rapinya, namun tampak murung dan tegang. Kuasa hukum Panji sedang bercengkrama dengan salah satu staf pengadilan, tak jauh dari sepasang ayah dan anak itu.

Sepuluh menit lagi, sidang pertama akan dimulai. Namun, batang hidung sang istri yang sebentar lagi akan menjadi mantan istri, belum terlihat. Setelah mediasi tiga hari yang lalu, mereka tetap sepakat untuk berpisah. Berkali-kali Panji menarik napas panjang. Ia menggenggam tangan sang anak sembari menguatkan hati. Tak lama, ruang sidang nampak dibuka. Sang kuasa hukum menghampirinya sembari mengatakan kalau mereka harus segera masuk ke dalam.

Dua menit sebelum para hakim memasuki ruangan, Ibu dari Adisa beserta kuasa hukumnya baru tiba. Setelah berbasa-basi sebentar dengan sang calon mantan suami, Nina -nama Ibu Adisa- menempatkan diri di kursi yang sudah disediakan untuknya. Kepalanya mencari-cari keberadaan sang anak. Dan ketika dua manik mata itu bertemu, keduanya sama-sama menyunggingkan senyum.

 Dan ketika dua manik mata itu bertemu, keduanya sama-sama menyunggingkan senyum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mama," gumam Adisa lirih.

Semasa kecil, Adisa dan Ibunya selalu bersama-sama. Sebagai ibu rumah tangga, pekerjaan Nina hanya seputar memasak untuk sang anak dan suami, serta merawat keluarganya. Pekerjaan berat seperti bebersih rumah dan mencuci ada asisten rumah tangga yang membantu. Halaman depan rumah yang dihiasi tanaman hias dan kolam ikan menjadi kesenangannya saat senggang. Adisa juga tak pernah merasakan kekurangan kasih sayang. Sekalipun sang ayah sibuk bekerja, mereka masih sempat untuk bermain dan bersenda gurau. Menghabiskan liburan ke tempat wisata di akhir pekan selalu menjadi hal yang dinanti-nanti olehnya.

Selepas memasuki usia sekolah, Adisa pun tumbuh menjadi anak yang ceria dan cerewet. Celotehan tentang kegiatannya di sekolah selalu dibagikan pada kedua orang tuanya. Acapkali, dirinya membawa tangisan dengan tubuh terluka untuk diadukan pada sang ibu. Lalu dirinya akan berseru senang, ketika sang ayah akan membelikannya mainan untuk melupakan luka fisiknya. Kemudian, momen satu meja makan saat sarapan dan makan malam adalah hal yang dinantikan setiap harinya. Karena saat itulah, Adisa bisa merasakan sebuah kehangatan keluarga.

Sampai suatu ketika, Hana meminta ijin pada Panji untuk berkerja. Katanya, ingin membangun karir seperti teman-teman sebayanya yang sudah sukses. Melihat sang anak yang sudah beranjak dewasa, Panji pun mengijinkan. Mulai saat itulah, Adisa merasakan kedinginan. Sarapan pagi sudah tak menjadi kebiasaannya. Bekal untuk makan sekolah tak pernah dirasakan lagi. Pulang tepat waktu hanya akan memberinya rasa sepi. Itu yang Adisa rasakan selama berbulan-bulan dalam kebisuan.

"Majelis hakim akan meninggalkan ruang sidang, hadirin dimohon untuk berdiri."

Suara dari panitra pengganti membuyarkan lamunan panjang Adisa. Ia terlonjak dan berdiri. Matanya bersitatap dengan sang ayah yang seakan berkata, "Semuanya akan baik-baik saja." Adisa mengangguk dan tersenyum. Membalas dalam hati, "Iya. Semuanya akan baik-baik saja, Ayah."

ADISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang