part 1

444 12 0
                                    

Pagi-pagi didalam kamar, Raga begitu semangat mengenakan jaket favoritnya dengan dipadukan celana jeans yang matcing sambil bercermin. Raga menatap foto masa kecilnya yang terletak diatas meja. Foto pada saat ia bersama sahabat dekatnya, yaitu Senja Purnama. Raga jadi mengingat masa sedih yang dialaminya. Waktu itu ia dan Senja masih berusia 8 tahun. Pada saat masih kecil memang Senja selalu memanggilnya dengan sebutan Fajar. Saat pulang sekolah mereka asyik bersenda gurau sambil mendorong sepeda, namun tiba-tiba datang segerombolan anak-anak sekolah lain menghampirinya.
“cie cie cie ada yang lagi pacaran nih” ejek salah satu dari anak tersebut.
“siapa yang pacaran? kita cuma sahabatan kok” ucap Raga sembari menatapnya dengan tajam.
“jangan coba-coba ngelawan ya” ancam anak tersebut  langsung mendorong Raga dengan kasar.
Raga beserta sepedahnya terjatuh kedalam got yang berair dan kotor. Mereka tertawa terbahak-bahak meninggalkannya. Senja yang masih ketakutan sontak membantu Raga untuk keluar dari got.
“yah kotor semua deh, awas aja nanti pasti Fajar bales” gerutu Raga menahan kesal.
“emang bisa ngalahin mereka?” tanya Senja ragu.
“iya ya, aku kan nggak bisa berantem” jawab Raga.
“DASAAR...” cerca Senja menjewer telinganya.
“aduh..., aduuh sakit tauuuu, kenapa sih suka banget ngejewer telinga” cerca Raga balik sembari memegangi telinga.
“biarin” Senja mencibir.

Dikediaman Senja, Handphone Anwar yang terletak diatas meja berbunyi, namun ia tidak menghiraukannya karena asyik menonton televisi. Setelah beberapa kali berdering, akhirnya ia beranjak mengangkat telponnya.
“Assalamualaikum...” ucap Senja yang baru pulang.
      Disisi lain, Raga tidak langsung pulang, melainkan pergi ke Desa sebelah mencari tempat latihan beladiri. Raga bertekad mau belajar beladiri supaya tidak ada lagi yang menganiaya dan mengejeknya. Setelah mendengar suara hiruk pikuk dari kejauhan, Raga yakin itu pasti suara orang-orang sedang latihan. Raga mengintip dari luar jendela, ternyata benar disinilah tempat latihannya. Pelatih  melirik kearah Raga yang sedang mengintip, kemudian mendekatinya secara diam-diam, sedangkan Raga tidak menyadari kalau pelatih tersebut sudah ada dibelakangnya.
Pelatihmemegang pundak Raga.
“mau ikut latihan” ucap si pelatih.
“ii iiya kak” jawab Raga kaget dan tegang.
“apa kamu mau ikut latihan juga seperti mereka?” tanya pelatih.
“mau banget kak, tapi aku nggak punya uang” jawab Raga polos.
“ya sudah kamu boleh ikut, tapiiiii ada syaratnya”
“syarat?” Raga sedikit kebingungan.
“iya syaratnya kamu harus rajin berlatih, karena disini bukan tempat orang yang malas-malasan”
“iya kak, aku janji akan rajin berlatih” riang Raga.
“oke, sekarang kamu mulai latihan”
Raga langsung bergabung bersama anak-anak yang lain mengikuti gerakan sesuai yang diajarkan pelatih.
Sementara Senja sudah siap ingin berangkat ke Jakarta. Anwar  mengangkat koper-koper kedalam mobil.
“ayo sayang” Anwar membujuk Senja yang tampak enggan pergi.
“bentar pa” lirih Senja.
Senja nampak sedih memandangi keadaan rumah dan sekitarnya. Seakan-akan ia tak mau pergi, tak ingin meninggalkan semua kenangan disini. Senja terbayang belajar bersama dan bercanda ria ditaman rumah dengan Raga.
“pa..., Senja mau ketemu Fajar sebentar ya” Senja berlari menuju rumah Raga yang tidak jauh dari rumahnya.
Baru sampai halaman rumah, Senja sudah berteriak-teriak memanggil.
”FAJAAR, FAJAAR...”, namun yang keluar bukan Raga melainkan Ibunya.
“ada apa Senja? ko teriak-teriak begitu? Tanya Sekar.
“Fajar mana bu?” tanya Senja melihat kedalam rumah.
“lho, Fajar kan belum pulang”
“bukannya tadi Fajar sudah pulang bu?” Senja cemas sekaligus sedih.
“nggak biasanya Raga seperti ini” ucap Sekar dalam hati dengan wajah panik.
Senja menjelaskan tentang keluarganya yang akan pindah ke Jakarta kepada Sekar. Sekar berusaha memahami kesedihan Senja yang harus meninggalkan Raga sahabat dekatnya. Senja berpamitan dan menyalaminya.
“salam buat Fajar ya bu” gumam Senja sedih.
“iya nanti Ibu sampaikan, hati-hati ya”
Senja hanya mengangguk, lalu buru-buru pergi. Selang berapa menit Raga pun muncul.
“Raga, kamu dari mana jam segini baru pulang? baju kotor semua begitu” cerca Sekar.
“tadi kepeleset ke got bu” Raga menunduk.
“oia, barusan Senja nyariin kamu, katanya mau pindah ke Jakarta”
“HAAH..., pindah ke Jakarta bu” Raga kaget, tanpa berpikir panjang ia berlari menuju rumah Senja.
Sampai disana Raga memanggil-manggil Senja, tapi pintu rumah sudah digembok. Keadaan rumahnya sudah sepi tidak ada siapa-siapa. Iapun berlari sampai kearah jalan raya,  tapi tidak ada satupun mobil disana. Raga berhenti sejenak kemudian terus berlari melewati jalan pintas melalui rumah-rumah disekitarnya. Melihat mobil Senja dari kejauhan, Raga langsung mengejarnya sampai terjatuh.
“SENJAAA..., TUNGGUU...” Raga memanggil.
Senja melihat kekanan dan kiri menangkap sumber suara tersebut, tapi tidak ada siapa-siapa.
“SENJAAA..., SENJAAA..., jangan pergi Senja...” teriak Raga dengan nafas terengah-engah.
Anwar melihat Raga sedang mengejar mobilnya dari kaca spion.
“Fajar...” Anwar lalu menghentikan mobil dipinggir jalan.
“SENJAAA...” teriak Raga tertunduk lemas. Senja membuka pintu mobil dan keluar.
“Fajar...” lirih Raga menatapnya.
Dengan nafas masih terengah-engah Raga menatap Senja.
“kenapa Senja pergi?” tanya Raga menahan sedih.
“Papa ditugasin untuk kerja disana, tapi kamu nggak usah khawatir, suatu saat pasti kita bisa sama-sama lagi kok”  Senja berusaha menghibur.
Raga terdiam menahan sedih. Ia mengeluarkan sebuah kalung sederhana. “aku ada sesuatu buat Senja, jangan lupa dipakai ya” ucap Raga sembari memberikan kalung tersebut.
“pasti Senja pakai kok” Senja tersenyum. “Senja  juga Punya gelang nih buat Fajar, sini tangannya” Senja memakaikan gelang tersebut ke tangannya.
Raga tersenyum manis melihat gelang tersebut.
“gelang ini Senja bikin sendiri lho, coba deh  liat ada inisialnya” Senja menunjukkan inisial digelang tersebut.
“S & F maksudnya?” tanya Raga bingung.
“S & F itu Senja dan Fajar, bagus kan” riang Senja menjelaskan.
Anwar keluar dari mobil. “Sayang kita harus berangkat sekarang nanti keburu sore...” ucapnya.
“iya pa” sahut Senja menoleh kearahnya.
“apa Senja yakin kita bisa ketemu lagi?” tanya Raga.
“ya iya lah, kita kan best friend forever” riang Senja. Setelah beberapa saat Senja melambaikan tangan sembari masuk kemobil. Raga pun membalas melambaikan tangan dengan penuh kesedihan. Perlahan air matanya menetes menatap mobil Senja yang semakin lama semakin jauh.
“aku janji Senja, suatu saat pasti aku bisa menyusul kamu” lirih Raga sedih.
“kenapa sih pa kita harus pindah ke Jakarta? Senja lebih senang tinggal disini, disini Senja banyak teman” ucap Senja menangis didalam mobil.
“sudah jangan sedih gitu dong, nanti juga disana teman-temannya banyak” sahut Anwar menatapnya sekilas.
Sampai di rumah, Raga hanya terdiam menahan tangis, ia masuk ke kamar, menatap benda-benda yang menjadi persahabatan mereka, seperti burung-burung kertas yang tergantung dijendela yang pernah dibuatnya bersama-sama. Tiba-tiba lamunannya langsung buyar ketika handphonenya berdering. Raga menghapus sisa air matanya yang mengalir dipipi, lalu meletakkan foto itu kembali. Ia buru-buru keluar dari kamar menuruni anak tangga.
“mau kemana?” Tanya Sekar.
“Raga mau ke kampus sebentar bu” 
“mau ke kampus apa mau ketemu sama Aresta” goda Sekar.
“mmm dua-duanya sih bu, hehehee...” Raga nyengir.
Raga mencium tangan Sekar, kemudian buru-buru keluar menggunakan motor kesayangannya. Ia juga tak lupa berpamitan ke kampus kepada mang Ujang yang membukakan pintu gerbang untuknya.

Antara Senja dan RagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang