part 4

155 7 0
                                    

Kata-kata tersebut membuat Aresta ingin menamparnya, tapi ia mengurungkan niatnya karena ada mang Ujang yang terus memperhatikannya. Raga hanya bisa menatap Aresta yang pergi meninggalkannya.
“maafin mang Ujang ya den, gara-gara mang Ujang aden jadi putus” ucap mang Ujang mendekatinya.
“nggak apa-apa mang, cewek nggak punya sopan santun kayak gitu nggak pantes dipertahanin” Raga lalu masuk kedalam rumah.

Didepan sebuah kontrakan, tampak Arman berteriak memanggil manggil Lusy, tapi Lusy tetap tidak mau keluar.
“kenapa mas Arman bisa tau keberadaanku sih” gerutunya sembari membuka tirai kaca.
“LUSY..., aku tau kamu ada didalam, aku mohon kamu keluar sebentar” teriak Arman didepan gerbang yang terkunci.
Lusy menghubungi pak RT setempat. “pak tolongin saya pak, didepan ada yang mau gangguin saya, tolong Bapak kesini ya”
“baik-baik, saya akan kesana bersama warga setempat” jawab pak RT ditelpon.
“iya pak saya tunggu terimakasih” Lusy menutup telpon.
“LUSY..., ayolah, kasih aku waktu sebentar” teriak Arman, kemudian ia memanjat pagar.
Saat Arman berada diatas pagar, pak RT dan warga beramai-ramai berdatangan. Arman cepat-cepat turun melompat dan berlari.
“JANGAN LARI OOY...” teriak warga ingin mengejarnya.
“jangan dikejar, biarkan dia lolos untuk kali ini” pak RT menahannya.
Warga pun mengurungkan niatnya. Diwaktu yang bersamaan, Lusy keluar menghampiri mereka.
“apa Ibu kenal sama dia?” tanya pak RT.
“mmm dia mantan saya pak, tapi saya udah nggak punya hubungan apa-apa lagi sama dia, tapi dia terus neror saya” jawab Lusy panik.
“ya mudah-mudahan saja dia nggak mengulanginya lagi, tapi Ibu nggak apa-apa kan?” tanya pak RT lagi.
“saya nggak apa-apa pak RT, makasih banyak ya, kalau nggak ada pak RT dan kalian semua, mungkin dia akan berbuat nekat” jawab Lusy.
“sama-sama bu, ya udah kalau gitu kita permisi ya” ucap pak RT, lalu mengajak warganya pergi.

Dipagi hari yang cerah, nampak matahari sudah mulai condong memperlihatkan sinarnya. Nadira berjalan kaki diatas trotoar sembari melihat kearah gedung-gedung yang dilewatinya. Setelah sampai didepan bengkel Akbar, tiba-tiba kakinya berhenti melangkah. Nadira ingin masuk tapi ragu, namun ia memberanikan diri masuk kedalam kantor Akbar. “tok tok tok...” Nadira mengetuk pintu ruangan Akbar.
Pada saat yang sama memang Akbar membuka pintu tersebut karena ingin keluar, sehingga mereka sama-sama terkejut.
“ada yang bisa saya bantu?” tanya Akbar dengan ramah.
“mmm...” Nadira bingung mau ngomong apa.
“sebaiknya kita bicara didalam saja, ayo masuk” ajak Akbar.
Meskipun sudah duduk, tapi Nadira masih terdiam seperti tidak bisa bicara.
“ss saya, saya mencari pekerjaan pak, pekerjaan apa saja saya mau asalkan halal, jadi cleaning service juga nggak apa-apa, karena saya sangat membutuhkannya pak saya mohon” jelas Nadira gugup.
“oke, kamu saya terima sebagai asisten disini, tapi bukan asisten saya, melainkan asisten Arnas dibengkel, bagaimana? Apa kamu bersedia?” tanya Akbar.
“mau banget pak, Alhamdulillah ya Allah...makasih banyak ya pak” riang Nadira sembari menyalami tangannya.
Akbar hanya tersenyum menatap wajah Nadira yang terlihat sangat bahagia.
“ya udah, besok kamu mulai bekerja ya” perintah Akbar.
“iya pak makasih, saya permisi dulu” sahut Nadira tersenyum dan keluar meninggalkan ruangan.

Di kampus, semua mahasiswa berkumpul ditengah lapangan basket. Raga sudah berdiri tegak paling depan. Nando sebagai senior kampus,  melihat-lihat absen dan mencatat siapa saja yang datang terlambat. Sementara Yogi sebagai wakill pembina bergaya memperhatikan Rico dan kedua sahabatnya yang hanya cengar cengir dibelakang. Merekapun langsung diam berdiri tegak. Senja yang berada di kerumunan anak-anak lain, diam-diam memperhatikan Raga yang fokus ke depan.
“tugas ini dibagi menjadi lima kelompok” tegas Nando menggunakan pengeras suara. “kelompok satu, Rico, maju ke depan ya, Wawan, Dion, Meri, Sinta.  (Singkat saja) kelompok lima, Senja, Galang, Dinda, Ica, Raga.
“kenapa harus satu kelompok sama dia sih” gerutu Senja dalam hati.
“jelas ya semuanya” ucap Nando.
Senja mengangkat tangan.
“kenapa Senja?” tanya Nando.
“bisa pindah ke kelompok laen nggak kak?” tanya Senja balik.
“nggak bisa, ini sudah menjadi keputusan kampus, Oke sekarang kalian mulai kerjakan tugasnya masing-masing” jelas Nando.
“heeh, siapa nama lo?” tanya Senja ketus sambil menunjuk Raga.
“biasa aja dong telunjuknya” jawab Raga sambil senyum-senyum. “aku Raga” ucapnya mengulurkan tangan.
Senja terdiam sejenak. Cara Raga berbicara mengingatkan dia dengan sahabat kecilnya. Kenangan tersebut kini menyelimuti pikirannya. Begitu juga dengan Raga, namun sejenak kemudian Raga berpikir lagi.
“bukannya namanya Nadira, kenapa sekarang jadi Senja? ah mungkin itu nama panjangnya kali ya, nggak mungkin dia Senja sahabat kecil aku, sifatnya aja beda” pikir Raga dalam hati.
“halloo...” Raga memetikkan jari kedepan wajah Senja yang masih melamun.
Senja terkejut sekilas memandang Raga. Raga dan kelompoknya pergi mendatangi anak-anak jalanan dan anak-anak panti asuhan untuk menyelesaikan tugas. Mereka masing-masing mencatat kisah hidup anak-anak tersebut dengan semangat. Raga kemudian meminta mereka untuk mengumpulkan uang seadanya. Setelah dihitung-hitung ternyata uangnya tidak cukup. Raga memikirkan ide dan akhirnya ia mengamen di pinggir jalan dengan bekal suara yang pas-pasan. Pemandangan tersebut membuat Senja senyum dan tertawa geli melihat tingkah Raga. Sehingga anak-anak jalanan tersebut jadi ikut-ikutan bernyanyi mengiringi Raga. Ternyata hasilnya lumayan cukup.
“adek-adek tunggu disini sebentar ya” ucap Raga, kemudian pergi kewarung membeli beberapa nasi bungkus untuk mereka.
Dari kejauhan, Senja memperhatikan Raga  yang membagikan nasi bungkus itu kepada adik-adik jalanan yang sedang menunggu. Terlihat Raga begitu akrab dengan mereka.
“ternyata dia punya hati yang baik juga” lirih Senja dalam hati. Raga pun menghampiri Senja yang  sedang duduk memperhatikannya sembari membawa sebotol air mineral.
“haus kan...” Raga memberikan sebotol air mineral tersebut.
Karena sangat haus, Senja langsung meneguknya sampai habis setengah botol. Disisi lain, tidak jauh dari mereka sekelompok anak muda  mengganggu  Dinda, Ica, dan Galang. Sekelompok anak muda tersebut sepertinya geng motor yang memang suka membuat keributan. Salah satu dari mereka menggoda Dinda dan berusaha memegang tangannya. Galang mencoba melawan, namun jumlah mereka tidak sebanding sehingga agak kewalahan. Dinda dan Ica ketakutan berteriak-teriak meminta pertolongan.
“itu suara Dinda kan” ucap Senja sambil mencari dimana keberadaan suara tersebut.
“ayo Senja” ajak Raga berlari menuju arah suara mereka.
Ternyata Galang tengah dikeroyok. Raga langsung melawan geng motor  tersebut, namun salah satu dari mereka berhasil merampas tas Ica.
“TAS GUE...” teriak Ica sambil mengejarnya.
Dinda juga ikut mengejar, sedangkan Senja yang terlihat panik langsung menghubungi polisi setempat.
“hallo pak, tolong pak disini ada sekelompok geng motor yang melakukan perampokan” ucap Senja ditelpon.
Setelah mampu mengalahkan mereka, Raga mengejar anak yang merampas tas Ica dan memukulnya dari belakang. Akhirnya geng motor tersebut dapat dilumpuhkan. Ica langsung merebut tasnya kembali.
“rasain nih pukulan dari gue” ucap Ica sembari memukul wajahnya. “hahahaa...” tawa bahagia Ica memecah suasana.
Dalam waktu yang bersamaan, Polisi datang membawa pasukannya meringkus mereka.
“bawa aja pak” perintah Ica dengan gaya tengilnya.
“terimakasih sudah membantu kami, karena memang mereka sudah menjadi target kami selama ini”
“sama-sama pak” balas Raga.

Disebuah cafe yang tidak terlalu ramai, Aresta duduk sendirian sembari menyeruput minuman yang baru saja diantar oleh seorang pelayan. Aresta mengeluarkan handphone ingin menghubungi Lusy, tapi nomor yang dihubungi masih nggak aktif.
“udah nomornya nggak aktif, sebenarnya mama dimana sih? papa juga sama aja, heran deh gue, lengkap banget sih penderitaan gue sekarang” gerutunya menahan kesal.
Untung Zio datang disaat yang tepat sambil memberikan bunga.
“ini, buat aku?” tanya Aresta yang sebenarnya sudah tau.
“ya buat kamu dong” jawab Zio tersenyum.
“oia, aku udah mutusin Raga” ucap Aresta.
“baguslah kalau gitu, aku seneng banget dengernya” Zio kembali tersenyum.
      Adzan maghrib berbunyi, Raga memakai peci bersiap-siap ke masjid. Ia sempat bercermin melihat dan memegang wajahnya.
“kalau dilihat-lihat, emang ganteng sih...” ucapnya sambil tersenyum manis.
”hmmm, Raga, Raga” lirih Sekar yang lewat sambil tersenyum menggeleng-gelengkan kepala melihatnya.
Raga melihat Ibunya yang sedang memperhatikannya. “eh Ibu...”
“ayo berangkat ntar telat lho” ajak Sekar.
“iya bu” Raga menghampirinya.
Akbar segera menutup pintu dan mereka pergi ke masjid yang tidak jauh dari rumahnya.
      Sementara dikediamannya, Senja bukannya sholat tapi justru siap-siap mau hangout dengan teman-temannya. Senja menghubungi Rico.
“Ric, kita ke tempat biasa yuk, gue BT nih dirumah sendirian, kemudian menutup telponnya dan video call dengan Dinda dan Ica. Dinda yang sedang uring-uringan di kamar membuka video call tersebut.
“Din lo ke rumah gue sekarang ya” ucap Senja.
“kita mau kemana sih?” tanya Ica penasaran.
“oke gue berangkat sekarang” balas Dinda.
Dinda mengendap-endap didinding hendak pergi, namun tertangkap basah oleh Hani (mamanya)
“kamu ngapain ngendap-ngendap kaya gitu?” tanya Hani ketus.
“anu ma, Dinda mau nginep di rumahnya Senja, Papanya lagi ke luar kota jadi Senja sendirian, kan kasian” jawab Dinda dengan wajah memelas berharap supaya mamanya mengijinkannya.
“ya sudah, tapi awas ya kalau sampai kamu bohongin mama” ancamnya.
Dinda mengangguk dan mencium tangan mamanya.

Disisi lain, keluar dari masjid tampak Raga, Sekar dan Akbar berjalan sambil berbincang-bincang.
“Bu, Ibu tau nggak alamat tempat tinggalnya Senja?” tanya Raga.
“Senja teman kuliah kamu?” jawab Sekar.
“Senja yang ini beda bu, nggak seperti Senja sahabat Raga kecil dulu, pokoknya beda banget bu, keras kepala, tomboy, suka ugal-ugalan lagi iiih” jelas Raga panjang lebar.
“jangan bilang begitu nanti suka lho” Akbar menggodanya.
Beberapa motor melintasi mereka. Terlihat ada salah satu yang menantang Raga sembari memainkan gas motor. Raga memperhatikan salah satu motor tersebut.
”itu kan motornya Senja” gerutu Raga dalam hati. Mereka kembali melintasi jalan tersebut dengan suara motor yang kencang, sehingga sangat mengganggu para pejalan kaki.
Raga mendatangi mereka yang asyik memainkan gas motor.
“Raga kamu mau ngapain?” tanya Sekar cemas.
“udah biarin aja bu, mungkin mereka punya urusan” ucap Akbar.
“tapi mereka itu nggak baik yah, Ibu takut Raga kenapa-kenapa” Sekar sangat cemas.
“Ayah yakin Raga bisa mengatasinya, Raga itu anak baik-baik bukan anak berandalan” jelas Akbar menenangkannya.
“tolong kalian berhenti” ucap Raga dengan lembut didepan mereka, tapi mereka justru membuat lingkaran mengelilingi Raga sambil memain-mainkan gas motornya.
“BERHENTII...” teriak Raga dengan penuh emosi.
Rico menghentikan motornya, kemudian membuka helm. “heeh Raga, ngapain sih lo ngusik-ngusik kehidupan kita, mending lo ngaji sana”
“HAHAHAA...” spontan Galang dan Dion tertawa.
“kalau memang kalian merasa hebat, seharusnya kalian di arena balap bukan di jalan seperti ini ngerti, ini dekat masjid, jadi tolong hargai mereka yang beribadah” ucap Raga menasehati.
“udah cabut yuk ribet” ajak Galang.
Raga mendekati dan menatap wajah Senja yang tertutup helm ”aku tau, kamu Senja kan?” bisik Raga bertanya, tapi Senja langsung pergi tak menghiraukannya.
Mereka akhirnya buru-buru pergi meninggalkan tempat, sedangkan Raga kembali menghampiri Sekar dan Akbar.
“kamu kenal sama mereka?” tanya Sekar.
“mmm Raga nggak kenal bu” jawab Raga pura-pura tak mengenalinya.
“ya sudah sekarang kita pulang” ajak Akbar.

Dikediaman Robby, tampak kedua orangtua, dan seorang adik perempuannya sedang makan malam bersama. Adiknya yang bernama Kian masih berusia 15 tahun sebagai siswa SMP. Tiba-tiba Robby masuk seperti tak melihat apa-apa.
“dari mana kamu Robby?” tanya Nirwan dengan ketus.
Tapi Robby tetap nyelonong masuk kekamar tidak menghiraukannya.
“sudah lah pa, jangan terlalu keras sama Robby” ucap Nadia menenangkannya.
“coba mama liat kelakuannya setiap hari, selalu seperti itu”
Sementara Kian masih santai meneruskan makan.
“mungkin Robby lagi banyak tugas, mangkanya dia seperti itu”

Antara Senja dan RagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang