part 9

92 5 0
                                    

Diwaktu yang sama ternyata Senja baru sampai diantar oleh pak Arman menggunakan mobil.
“tu kan apa gue bilang, pasti dia dateng” ucap Jovan tersenyum nakal.
Raga hanya tersenyum, kemudian menghubungi Ibunya.
”Raga sama Jovan berangkat ya bu” ucapnya ditelpon. “iya bu” Raga menutup telponnya.
Senja langsung masuk kedalam bus sambil menggendong tas ransel di iringi oleh Jovan dan Raga.
“dari mana aja sih lo?” tanya Dinda kepada Senja yang duduk dibelakangnya.
“tapi gue nggak telat kan!”
“oke, semua udah pada naik kan” ucap Raga dengan nada sedikit keras.
”IYAA...” jawab mereka serempak.
Rico yang duduk paling belakang terus memperhatikan Raga. Raga sebenarnya tau kalau Rico sedang memperhatikannya, tapi ia tetap santai seperti biasa. Diam-diam ternyata Rico tengah menyusun rencana  jahatnya. Kejadian tadi membuatnya begitu dendam terhadap Raga. Di dalam perjalanan mereka bernyanyi bersama sambil di iringi suara gitar untuk menghilangkan kejenuhan. Setelah sekian lama akhirnya sampai juga dipuncak bogor. Raga turun terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh yang lain. Raga menyambut tangan Dinda. Sementara dibelakang Dinda ada Senja yang mau turun juga. Raga ingin menyambut tangan Senja.
“nggak usah gue bisa sendiri” tolak Senja mentah-mentah buang muka karena dihantui perasaan cemburu.
“kalau Senja nggak mau ya nggak usah dipaksa dong, ayo Senja” ucap Rico menyambut tangan Senja.
Tampak didalam hutan matahari sudah tenggelam.
“berhubung hari mulai gelap, sekarang kita pasang tenda dulu, disini tenda untuk cewek, sebelah sana untuk cowok, oke” tegas Raga memberi petunjuk.
Mereka mulai memasang tenda sesuai kelompok masing-masing. Semua terdiri dari lima tenda, dalam satu tenda berisi tiga orang.
“aaah gila dingin banget” Jovan menggigill mengenakan jaket.
Di luar tenda, Raga mencoba menyalakan api dengan ranting seadanya. Sebagian dari mereka mengumpulkan kayu yang ada disekitarnya. Setelah api menyala mereka berkumpul mengelilingi api sambil bernyanyi diiringi nada gitar yang dimainkan oleh Raga.

Dimeja makan, Sekar melamun.
”kok sampai sekarang nggak ada kabar dari Raga maupun Jovan” gumamnya dalam hati.
Sekar menghubungi mereka tapi nomornya tidak bisa dihubungi.
”mungkin disana nggak ada sinyal kali ya, tapi kenapa perasaanku jadi nggak enak gini, ah ini pasti cuma perasaanku aja”
Dalam lamunannya, Sekar jadi teringat dengan Senja waktu masih kecil, yang suka membantunya menanam bunga didalam pot. Senja memang sangat suka dengan bunga, apalagi kalau menyiramnya, karena ia bisa sekalian bermain air.
      Kembali lagi dipuncak. Malam semakin larut. Tidak berapa lama semua mahasiswa masuk ke tenda masing-masing untuk istirahat. Sementara Raga tengah berjaga-jaga diluar, namun tiba-tiba terdengar seperti suara ranting patah.
“suara apa tuh?” batinnya bertanya sambil matanya melirik kekanan dan kekiri.
Raga langsung mengarahkan senter ke pepohonan dan mencari dari mana suara tersebut berasal. Rico yang saat itu mengintip dari dalam tenda langsung mengendap-endap keluar membuntutinya. Sementara didalam tenda Senja tiba-tiba terbangun.
“Din..., Dinda..., Ica...bangun dong temenin gue yuk” Senja menggoyangkan tubuh mereka.
“hmmm ngantuk...” gumam Dinda menggeliat, namun matanya masih terpejam.
“udah tidur mau ngapain juga sih” celetuk Ica sambil menguap.
Karena sudah tidak tahan ingin buang air kecil akhirnya Senja memberanikan diri untuk keluar sendirian. Ia pergi menuju sungai menggunakan senter sambil menahan rasa takut, sementara Raga masih didalam hutan, namun tiba-tiba senternya mati.
“yah mati lagi senternya” gerutu Senja memukul-mukul senter berusaha agar menyala.
Rico mengikuti cahaya senter yang digunakan Senja. Karena Senja memakai jaket yang menutupi kepala, Rico mengira kalau itu adalah Raga. Ia pun memukul Senja dari belakang sampai tak sadarkan diri. Setelah melihat kalau itu adalah Senja, ia terkejut.
“haaah, Senja..., gawat nih kalau sampai ketauan” Rico panik dan cepat-cepat meninggalkannya.
Sampai ditenda, Rico berpura-pura tidur.
“dari mana lo?” tanya Dion dengan mata terpejam.
“aaa... iya...” dengan wajah gugup Rico menjawab.
Tapi ternyata Dion hanya mengigau
“huuh hampir aja” Rico mengelus dada.

Dikediamannya, tampak Nirwan, Nadia, dan Kian sedang makan malam.
“gimana pa udah dapat kerjaan?” tanya Nadia.
“tadi papa dibengkel ngapain?” tanya Kian sambil mengingat.
Nirwan terdiam sejenak seperti memikirkan sesuatu.
“dibengkel...” Nadia tampak berpikir.
“ooh tadi ban mobil papa tiba-tiba bocor, makanya papa ke bengkel” jawab Nirwan menutupi semuanya.
“kalau kita nganggur gimana kita bisa membiayai anak-anak” ucap Nadia menghentikan makan.
“kok mama bilang nganggur, memangnya restorant papa kenapa ma?” dengan polos Kian bertanya.
“restorant kita kebakaran” jawab Nadia.
“kebakaran ma..., ya ampun” Kian ikut cemas memikirkannya.
“udah kamu masih kecil nggak usah mikirin itu, yang penting kamu sekolah yang bener” ucap Nirwan mengelus rambutnya.
“iya pa”
       Saat Raga  kembali ke tenda, tiba-tiba terdengar samar-samar suara seseorang meminta tolong.
”TOLOOONG..., TOLOOONG...” teriak Senja sambil menahan rasa sakit di lehernya.
Senja lalu mencoba berdiri tapi terasa sulit, sedangkan senter yang ia gunakan juga sudah tidak ada lagi.
“RAGAAA...” teriak Senja memanggil.
Didalam tenda, Raga membangunkan Jovan berkali-kali.
“ada apa?” Jovan bertanya sambil mengucek-ngucek mata.
“kayaknya ada yang minta tolong deh” jawab Raga.
Dinda dan Ica baru menyadari kalau dari tadi Senja belum kembali ke tenda. Mereka langsung keluar memanggil Raga dengan kencang.
“Senja ilang, kayaknya dia nyasar deh” ucap Dinda panik.
“ya udah kalian tetap disini, biar aku sama Jovan nyari Senja” sahut Raga.
Raga dan Jovan memanggil manggil Senja sampai ke tengah hutan.
“sebaiknya kita berpencar, lo kesana gue kesini, oke” perintah Jovan.
Raga mengangguk, kemudian kembali berteriak memanggil-manggil Senja. Dari kejauhan, Senja mendengar suara Raga memanggilnya, tapi ia merasa tidak kuat lagi. Perlahan-pelan Senja mencari penerangan tapi nampak begitu gelap, namun ia melihat cahaya senter mengarah kepadanya. Sementara didalam tenda, Dion tiba-tiba terbangun mendengar percakapan Dinda dan teman-temannya, kemudian ia segera keluar.
”ada apaan sih berisik banget?” tanya Dion memicingkan mata karena masih mengantuk.
“Senja ilang yon” jawab Dinda.
“HAAH ilang...” Dion terkejut.
Semua jadi ikut panik dan berusaha mencari Senja tapi tidak menemukannya, sedangkan Rico pura-pura terkejut dan panik.
“TOLOOONG... TOLOONG...” samar-samar suara itu semakin terdengar oleh Raga.
”Astaghfirullahaladzim...” ucap Raga mengarahkan senternya kepada Senja yang terkulai lemas dan terjatuh ke semak-semak belukar.
Bajunya pun nampak kotor dan kumal. Raga melepaskan jaket, kemudian mengenakannya ke tubuh Senja.
“ayo Senja...” Raga membantunya untuk berdiri.
“gue nggak kuat ga” Senja tampak lemas.
“ayo naik...” Raga berjongkok.
Senja pun naik ke atas punggung Raga, ia jadi teringat akan masa kecilnya sewaktu Raga menggendongnya karena kakinya terluka. Dalam hati Senja berpikir
”kenapa Raga masih baik banget sama gue? padahal selama ini gue selalu jutek sama dia”
“dari dulu aku memang baik kok” ucap Raga.
“haah..., kenapa lo bisa ngomong gitu, perasaan gue nggak nanya apa-apa deh” sahut Senja.
“aku kan bisa baca pikiran kamu, hehehee...” canda Raga
Senja berpikir keras kenapa Raga bisa membaca pikirannya.
“nggak usah dipikirin aku juga cuma nebak kok” ucap Raga lagi, sementara Senja sepertinya sangat nyaman berada dalam gendongan Raga, sampai-sampai Senja tidak menyadari kalau ternyata mereka sudah sampai di tenda.
Jovan berlari menghampiri mereka.
”Alhamdulillah, lo berdua nggak apa-apa kan!”
“aku nggak apa-apa, cuma kaki Senja, kayaknya keseleo deh” jawab Raga membungkuk menurunkan Senja.
“Senja..., kok lo bisa kayak gini sih?” tanya Dinda panik, kemudian melihat kakinya.
“gue juga nggak tau, tiba-tiba ada yang mukul gue”
Mereka saling bertatapan satu sama lain keheranan.
“lo sempat liat nggak ciri-cirinya gimana?” dengan wajah tegang Rico berpura-pura cemas bertanya, namun Senja hanya menggeleng.
“ini nggak bisa dibiarin nih, kita harus cari pelakunya” tegas Dion dengan semangat.
”jangan-jangan hantu lagi iii, ini kan malam jumat” potong Rico dengan cepat menakut-nakuti mereka.
“apa-apaan sih lo Ric, jangan nakut-nakutin deh” cerca Ica mendekat kepada Dinda menahan takut.
“tau nih Rico” Dinda membela Ica.
“udah udah, Rico dipercaya, disini nggak ada yang namanya hantu” ucap Jovan.
Diwaktu yang sama, Raga mengurut kaki Senja.
“AAUU SAKIIT...” Senja berteriak.
“sakit ya..., tahan ya bentar doang kok” Raga melanjutkan mengurutnya kembali. “coba kakinya digerakin pelan-pelan” Raga berhenti mengurut.
Senja pun menggerakkan kakinya pelan-pelan.
“iya udah nggak sakit lagi kok” Senja tersenyum.
Dinda dan Ica memeluk Senja.
“sebaiknya sekarang kalian istirahat, karena besok pagi kita harus menyelesaikan tugas kelompok” perintah Raga.

Didalam kamar, Anwar yang sedang tidur terkejut mendengar suara gelas pecah. Ia segera ke dapur, namun disaat yang bersamaan bik Minah juga bergegas ke dapur.
“suara apa itu bik?” tanya Anwar panik.
“gelas jatuh gan, mungkin kesenggol sama kucing”
”tapi kok perasaanku nggak enak ya” gumam Anwar dalam hati.
Tiba-tiba ada dua polisi mengetuk pintu rumahnya, kebetulan bik Minah yang membukakan pintu.
“maaf, Dr. Anwar nya ada?” seorang polisi bertanya.
Anwar segera keluar menghampiri.”ada apa ini pak?”
“ini surat penangkapan anda, terkait kasus tabrak lari saudara Hafid beserta istrinya beberapa waktu yang lalu” jawab polisi yang satunya sembari memberikan surat penangkapan.
“tapi pak...” Anwar menyangkal.
“silahkan ikut kami dan jelaskan nanti di kantor”
“pak Anwar bukan orang jahat pak, saya mohon jangan bawa pak Anwar” sambil panik bik Minah histeris.
“udah nggak apa-apa bik, tolong jaga Senja dan Khanza ya” ucap Anwar berkata lirih.
“iya gan” dengan perasaan sedih bik Minah menatap kepergian Anwar bersama kedua polisi tersebut.
      Paginya di puncak, Senja dan teman-temannya sedang mengerjakan tugas sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Mereka mencatat pengetahuan tentang lingkungan hidup yang ada disekitarnya kedalam buku agenda. Setelah itu mereka mengumpulkannya kepada Raga.
“nih kelompok gue” ucap Jovan sembari memberikan catatannya.
“emang kamu juga ikut ngerjain?” Raga mengerenyitkan dahi menatapnya.
“sembarangan, gue juga ngerjain kali, kalau nggak percaya tanya aja sama mereka” Jovan membela diri.
“iya deh aku percaya”
“nah gitu dong sama saudara sendiri harus saling percaya” Jovan mengedipkan mata sambil tersenyum nakal.
Setelah semua mengumpulkan tugasnya, mereka kembali berkumpul dan bersiap-siap untuk pulang. Masing-masing masuk kedalam bus yang sudah siap mengantarnya. Rico ingin duduk disamping Senja, namun Jovan keburu duduk duluan.
“sorry, lo kalah cepet sih” Jovan tersenyum nakal.
“siaal...” batin Rico berkata sambil menahan kesal, kemudian ia duduk dikursi belakang yang masih kosong.
Setelah sampai di kampus mereka pun kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan gembira. Sementara Senja dijemput oleh pak Arman. Didalam mobil, Senja mengetahui dari bik Minah kalau papanya ditangkap polisi. Dengan wajah panik, Senja meminta pak Arman untuk mengantarnya ke kantor polisi.
“PAPA...” Senja memanggil Anwar yang sedang duduk diruang besuk bersama pak Wira seorang pengaca.
“Senja, kamu ngapain disini?” tanya Anwar.
“Senja dikasih tau sama bik Minah, katanya papa ditangkap polisi makanya Senja langsung kesini” jawabnya cemas.
“kamu nggak usah khawatir, pak Wira akan mengurus semuanya”
Pak Wira adalah pengacara pribadi Anwar. Setelah pak Wira berbicara kepada polisi, akhirnya Anwar dibebaskan secara bersyarat. Anwar langsung mengucapkan terimakasih kepada polisi tersebut sembari menjabat tangannya.
“kalau begitu saya duluan ya” pak Wira berpamitan kepada Anwar dan Senja.
“iya pak Wira, sekali lagi makasih ya” Anwar tersenyum.
“sama-sama pak, mari...” dengan ramah pak Wira sedikit menunduk sambil tersenyum, kemudian ia segera pergi.

Dilapangan terbuka, ajang event modifikasi mobil sport mulai digelar. Berbagai mobil sport keluaran terbaru dipamerkan. Para pengunjung dan juga peserta yang mengikuti lomba modifikasi sudah berkumpul, begitu juga dengan Arnas dan karyawan di bengkelnya. Tampak Robby dan Raga berdirii disamping mobil sport yang sudah di modif sedemikian rupa. Robby sangat berharap kalau ia bisa memenangkan ajang ini. Mereka agak kaget ketika mendapati Nadira tengah mendampingi Akbar dalam memulai acara tersebut. Ajang tersebut tidak hanya memamerkan jenis modifikasi saja, tapi harus bisa menunjukkan skill ngedrift dihadapan semua juri. Akbar mendekati Robby dan memintanya untuk lebih dulu menunjukkan aksinya. Sekilas Robby melirik Raga, namun tiba-tiba matanya tertuju pada Nadira yang tampak tersenyum menatap Raga tanpa sepengetahuan Raga.
“tunjukkin kemampuan kamu robb, aku yakin kamu pasti bisa” bisik Raga penuh semangat.
“gue harus bisa” ucap Robby mengangguk dengan semangat.
Dengan santai, Robby masuk kedalam mobilnya, kemudian ia menatap Nadira sejenak.
“andai saja, lo bisa membaca isi hati gue, pasti lo akan tau bagaimana perasaan gue sebenarnya” lirih Robby.
Setelah membaca bismillah, Robby mulai ngedrift. Berkali-kali ia berputar-putar menunjukkan skillnya. Seruan Raga dan para penonton bergemuruh menyemangatinya. Ada juga yang bertepuk tangan terpukau dengan aksinya, begitu juga dengan para juri. Setelah itu, Robby keluar dari mobil mendekati Raga. Dengan semangat mereka sama-sama mengangkat tangan tos bersama. Tampak peserta kedua memasuki mobilnya dengan penuh percaya diri. Terlebih dahulu, ia memainkan gas untuk pemanasan.

Antara Senja dan RagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang