part 18

87 5 0
                                    

Kita kembali lagi ke kampus. Ketika ingin pulang, Raga dan Jovan terkejut melihat motor crossnya tidak ada lagi di parkiran.
“lho kok nggak ada” ucap Raga panik.
“nyariin motornya ya mas?” tanya security kampus.
“iya motornya kemana pak? tadi saya parkirin disini” jawab Raga bingung.
“iya mas tadi diambil, katanya itu motornya yang di jadiin taruhan sama mas Rico” jelas security.
“tu kan, gue bilang juga apa pasti ada yang nggak beres, tu anak emang bener-bener ya, awas aja kalau ketemu” dengan geram Jovan kemudian mencari Rico.
“Van...” Raga mengejarnya.
Tanpa basa basi, Jovan langsung memukul Rico. Saat Rico hendak membalas, Raga datang melerai mereka, sehingga pukulan Rico tepat mengenai wajah Raga.
“kalian itu apa-apan sih” ucap Senja datang membantu Raga.
“urusan kita belum selesai” sahut Jovan, kemudian langsung menghampiri Raga yang sedang diobati oleh Senja, sedangkan Rico pergi dengan rasa tanpa berdosa.
“udah aku nggak apa-apa kok” Raga memegangi pipinya yang habis kena tonjok.
“kenapa sih kalian berantem kayak gini?” tanya Senja.
“Rico yang mulai duluan, dia udah ngebohongin gue sama Raga” jawab Jovan ngotot.
“maksudnya?” tanya Senja lagi.
“iya waktu itu dia ngajak taruhan balap motor, kalau aku yang menang berarti motor itu jadi punya aku, ternyata itu motor temennya” jawab Raga meringis.
“kenapa sih Rico masih nggak berubah” ucap Senja agak kecewa.

Dalam perjalanan, Nirwan membawa map menggunakan motor butut. Ia ingin mengantarkan surat kontrak yang diperintahkan bu Hani, namun tiba-tiba motornya macet.
“ya Allah mau buru-buru malah motornya mati” gerutunya  sambil menggaruk-garuk kepala.
Saat ia memeriksa mesin motor, map yang berisi surat kontrak itu terjatuh tepat dibawah oli motor yang sedang menetes.
“Astaghfirulllahaladzim kena oli lagi, pasti bu Hani marah besar, aduuh gimana ya” Nirwan kembali menggerutu karena panik.
Ia mencoba membersihkan map tersebut, tapi justru membuat map itu jadi semakin kotor. Setelah berpikir panjang ia memutuskan untuk kembali ke kantor.
       Masih di parkiran kampus, saat Nadira ingin pulang, ia terkejut melihat ada seseorang yang mirip dengannya. Seseorang itu adalah Senja. Dari kejauhan, Senja tampak mengenakan helm bersama Ica yang akan diboncengnya.
“apa aku nggak salah liat, masak iya ada yang mirip banget sama aku” pikir Nadira dalam hati sembari membalikkan badan, berharap kalau itu cuma halusinasi.
Setelah ia kembali membalikkan badan, ternyata Senja dan Ica sudah tidak ada lagi. Yang ada hanyalah orang-orang yang sibuk berkutat dengan urusannya masing-masing.
“bener kan ini cuma halu” Nadira menghela nafas dalam-dalam, ia merasa lega.
Saat Nadira berjalan, ia tak menyadari kalau gelang yang dipakainya terjatuh. gelang tersebut berinisial Purnama yang diberikan Ibunya waktu masih kecil, setelah beberapa saat berselang, Raga dan Jovan melalui jalan itu. Raga tak sengaja menginjak gelang tersebut. Raga lalu memungutnya.
“gelang siapa nih?” tanya Raga sembari mengamati gelang itu.
“ada namanya nggak?” tanya Jovan balik.
“Purnama...” Raga mengeja nama itu.
“berarti ini punya Senja, kan namanya Senja Purnama, bener nggak? bener dong gue! Seru Jovan bercanda.
“iya juga ya...” Raga berpikir dan mengingat.

Dipinggir jalan, Windi merasa kepalanya pusing, tapi ia tetap memaksakan diri untu pergi ke kantor Hani. Saat itu, Robby melintas menggunakan motor. Robby mengamati Windi dari kejauhan.
“itu kan Ibunya Senja, Senja atau Nadira ya, ah sama aja, Senja dan Nadira itu kan orang yang sama” pikirnya ngoceh sendiri, kemudian ia menghentikan motornya didekat Windi.
Saat Robby ingin menyapanya, saat itu juga Windi jatuh pingsan.
“bu..., Ibu...” panggil Robby membangunkannya.
Windi tidak juga bangun. Robby langsung menyetop taxi yang lewat, lalu memasukkan Windi kedalam taxi.
“ayo jalan pak” perintah Robby panik.
“Ibunya kenapa mas?” tanya supir sambil menyetir.
“saya juga nggak tau pak, tiba-tiba aja pingsan”
“terus kita mau kemana mas?” tanya supir.
“langsung ke Rumah Sakit aja pak” perintahnya.
Belum sampai ke rumah sakit, Windi tersadar dari pingsannya Ia masih memegangi kepala karena masih merasa pusing.
“pak Robby...” Windi terkejut melihat Robby yang berada disampingnya. “ini lagi dimana?”
“tadi Ibu pingsan dipinggir jalan, makanya mau Robby bawa ke rumah sakit” jawab Robby.
“nggak usah Ibu nggak apa-apa” tolak Windi halus.
“yakin nggak apa-apa bu! Muka Ibu keliatan pucet banget”
“iya Ibu nggak apa-apa, sudah Ibu turun disini aja”
“jangan bu, mendingan Ibu langsung pulang aja ya, biar bisa istirahat, kalau Ibu nggak pulang nanti Senja pasti tambah khawatir”
“Senja...” Windi terkejut mendengar kata-kata Senja. “apa maksud pak Robby barusan” batinnya bertanya.
Windi jadi teringat dengan Senja waktu masih bayi. Saat itu Anwar membawanya pergi, meskipun Senja terus menangis.

Antara Senja dan RagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang