part 22

85 3 0
                                    

Dimeja makan, tampak keluarga Akbar sedang makan malam,  tapi Raga masih berdiam diri memikirkan kejadian tadi saat di cafe. Raga tak menyentuh makanannya sama sekali. Sementara Sekar dan Akbar sudah menyantap hidangan sedari tadi. Begitu juga dengan Jovan, ia sangat menikmati lauk pauk buatan Sekar. Akbar kemudian memperhatikan Raga, kemudian ia menyenggol tangan Sekar.
“Raga kenapa bu? Kok dari tadi Ayah perhatiin ngelamun terus” bisiknya.
“Raga...” panggil Sekar dengan lembut.
“iya kenapa bu?” panggilan Sekar mengangetkannya.
“kamu kenapa dari tadi ngelamun terus? Memangnya ada masalah apa? kamu kan bisa cerita sama Ibu!”
“masalahnya Raga lagi patah hati bude hehehee...” ledek Jovan dengan cepat.
“nggak lucu tau nggak” ucap Raga bernada marah, dengan geram ia pun beranjak dari tempat duduk dan pergi.
“duh..., kenapa jadi begini sih, gue kan jadi nggak enak sama bude sama om Akbar” batin Jovan berkata, lalu beranjak dari tempat duduk.
“mau kemana van?” tanya Akbar.
“Jovan mau nemuin Raga dulu om, pasti Raga tersinggung sama ucapan Jovan tadi” Jovan kemudian pergi menemui Raga yang tampak murung diatas balkon. “sorry kalau kata-kata gue nyinggung perasaan lo” celetuknya berdiri disamping Raga.
“tinggalin aku sendiri” sahut Raga ketus.
“nggak mau” ucap Jovan enggan.
“aku bilang tinggalin aku sendiri van” tegas Raga dengan nada rendah.
“gue bilang gue nggak mau”
“pergi...” Raga mengusirnya, tapi Jovan tetap tidak mau pergi juga.
“AKU BILANG TINGGALIN AKU SENDIRI” bentak Raga penuh emosi.
Perlahan-lahan Jovan meninggalkannya. Jauh dilubuk hatinya, ia menyesal sudah membuat Raga bertambah sedih. Dari dalam, Jovan masih memperhatikannya.
“gue harus bisa buat mereka jadian” semangatnya.

Paginya di kampus, semua mahasiswa disibukkan dengan kegiatannya masing-masing. Didalam kelas tinggalah Dinda seorang diri. Dinda memang sengaja menunggu teman-temannya keluar. Setelah itu ia membuka handphone melihat foto Senja yang bersama Windi.
“DUARRR...” Ica mengagetkannya dengan menepuk bahunya dari belakang.
Dinda kaget bukan kepalang. Handphonenya pun langsung terjatuh. untung saja Ica tidak melihat foto itu. Dinda cepat-cepat menyimpan handphonenya dalam tas.
“HAHAHAA...” gue pengen ketawa ngakak liat ekspresi lo barusan, lucu banget hahahaa...” Ica tertawa terpingkal-pingkal.
“bikin jantungan aja sih lo” cerca Dinda.
“abisnya lo ngapain bengong-bengong sendiri kayak mikirin utang aja” cerca Ica balik.
Sebenarnya Dinda ingin menyelidiki masalah ini sendirian, tapi setelah dipikir-pikir, ia tidak bisa.
“eh ca, lo tau mamanya Senja nggak sih?”
“haah..., mamanya Senja, kok tiba-tiba lo nanyain mamanya, kan ortu mereka itu udah cerai dari Senja masih bayi, memangnya kenapa sih?” tanya Ica kepo.
“coba deh lo liat ini” Dinda memperlihatkan foto Senja bersama Windi.
Mata Ica langsung terbelalak kaget, lalu ia benar-benar mengamati foto itu. “tapi selama ini Senja nggak pernah ngenalin mamanya sama kita”
“makanya itu, lo harus nyelidiki ini” pinta Dinda
“masak gue sih” gerutu Ica cemberut.
“ya iya lah lo, gue mah ogah lagi bete sama Senja” cerca Dinda kemudian meninggalkannya.
       Saat Nadira pulang, ia heran melihat motor baru ada didepan rumahnya.
“ini motor siapa ya...? bagus banget...” pikirnya sambil mengamati motor tersebut.
Windi yang sudah sengaja menunggunya membuka pintu.
“selamat ya nak ya, Ibu bangga sama kamu”
“maksud Ibu apa ya? Nadira nggak ngerti”
Windi memberikan kunci motor. ”motor ini hadiah dari siapa tadi ya namanya...Ibu lupa, tapi yang jelas katanya ini karena kamu selalu mendapatkan nilai-nilai terbaik”
Dari kejauhan, Anwar memperhatikan mereka.
“maafin papa nak..., papa  sudah ninggalin kalian, sebenarnya papa ingin memeluk kalian, tapi apa mungkin kalian bisa maafin papa” lirihnya meneteskan air mata.
Nadira masih meraba dan mengamati motor tersebut. Sementara dari kejauhan Anwar terus memperhatikan mereka dengan perasaan menyesal.
”mudah-mudahan kamu tidak kecewa kalau sebenarnya itu pemberian dari papa” batin Anwar berkata.

Saat Rico ingin memasuki gerbang kampus, tiba-tiba Dinda menarik tangannya ke taman.
“ikut gue penting”
“iya tapi nggak usah tarik-tarik kayak gini juga kali” Rico melepaskan tangannya.
“lo harus bantuin gue untuk ngedapetin Raga”
“APA..., jadi lo suka sama Raga” Rico kaget.
“berisik banget sih lo” Dinda kemudian membekap mulutnya. “lo juga suka kan sama Senja, kalau lo mau ngedapetin Senja lebih baik kita kerjasama”
“kata siapa gue suka sama Senja, biasa aja tuh, punya pacar mah ribet, udah ah gue nggak mau ikut campur urusan lo”
“kenapa?” tanya Dinda nggak percaya.
“lo masih tanya kenapa, Senja itu kan sahabat lo juga din, lo mikir nggak sih” cerca Rico, kemudian pergi meninggalkannya.
Dinda terlihat begitu kesal karena ucapan Rico.
       Didalam butik, Windi sedang mengajari Nadia cara memotong bahan. Tiba-tiba handphonenya berbunyi.
“Assalamuallaikum” jawab Windi ditelpon.
“waallaikumsalam, mmm apa betul ini butik Windi?” tanya Anwar.
“iya betul mas”
“mmm begini saya kan nggak bisa langsung kesana, gimana kalau nanti kita ketemu di restoran Permata.
Sekar terdiam. “kok suaranya mirip sekali sama mas Anwar ya..., tapi rasanya nggak mungkin” pikirnya dalam hati.
“ada apa win?” tanya Nadia.
“nggak, nggak ada apa-apa kok”
“hallo” sapa Anwar ditelpon.
“oo iya bisa mas bisa”
“makasih ya” Anwar kemudian menutup telponnya.
Belum sempat duduk, suster mengatakan kalau ada pasien yang harus segera ditangani karena habis kecelakaan. Anwar dan suster buru-buru menuju ruangan UGD menangani pasien itu, tapi pasien tersebut justru meninggal.
“ya Allah apa yang harus aku jelaskan kepada keluarganya” Anwar bingung sekaligus sedih, ia terdiam sejenak.
Dengan berat hati, Anwar keluar menghampiri keluarganya yang sedang menunggu.
“gimana dengan anak kami dok?” tanya si Ibu dengan cemas.
“maafkan kami, kami sudah berusaha semampu kami tapi Allah berkehendak lain” jawab Anwar.
“jadi maksud dokter anak kami meninggal”
“iya bu..., mungkin ini adalah kehendak Allah, Ibu harus ikhlas ya” dengan berat hati suster menyampaikan.
Sontak Ibunya menangis histeris. Anwar benar-benar merasa terpukul atas meninggalnya pasien tersebut. Ia segera mengambil wudhu untuk sholat. Setelah sholat, ia masih terbayang-bayang dengan seorang Ibu yang menangis histeris melihat anaknya meninggal.
“tujuanku menjadi dokter itu untuk menyelamatkan nyawa orang, tapi kenyataanya banyak yang tidak bisa aku selamatkan, jadi dokter apa sebenarnya aku ini” didalam doa ia memaki dirinya sendiri sambil bersedih.

Antara Senja dan RagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang