part 27

70 2 0
                                    

Keesokan harinya, Anwar berniat masuk ke kamar Senja ingin menjelaskan semuanya, tapi ternyata Senja sudah tidak ada lagi, padahal jam masih menunjukkan pukul 6 pagi.
“Senja mana bik?” tanya Anwar kepada bik Minah yang sedang membersihkan kursi tamu dengan kemoceng.
“tadi sih non Senja perginya pagi-pagi banget gan, tapi nggak tau kemana” jawab bik Minah menghentikan pekerjaan.
Anwar menghela nafas dalam-dalam, kemudian keluar menggunakan mobil.
       Sementara didepan rumah Windi, Nadira menghampiri Windi yang ingin keluar.
“apa Ayah pernah nemuin Ibu? jawab jujur bu” tegas Nadira bertanya.
Sekar hanya terdiam.
“jawab bu” ucap Nadira sedikit keras.
“iya, Ayah kamu memang pernah datang kesini, kamu boleh marah sama Ibu, tapi kamu jangan pernah membenci Ayah kamu ya” sahut Windi penuh harap.
“sekarang Nadira harus temuin Ayah” Nadira kemudian  pergi meninggalkan Windi, tapi Windi juga buru-buru menyusulnya. Sampai ditepi jalan, Nadira melihat Anwar yang berada diseberang jalan. Wajah Anwar begitu melekat didalam ingatannya pada saat ia pernah melihat foto yang disimpan Ibunya didalam laci.
“NADIRAA...” Anwar berteriak memanggilnya, kemudian ia berlari menyeberang tanpa melihat kekanan dan kekiri terlebih dahulu.
“GUBRAAK...” tiba-tiba mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya, tubuhnya tergeletak ditengah jalan, sedangkan mobil yang menabraknya melarikan diri.
”AYAAH...” teriak Nadira sambil berlari menghampirinya.
Orang-orang yang melihat kejadian itu langsung mengerumuni Anwar. Ada juga yang mengejar mobil tersebut.
“bangun yah...” ucap Nadira sambil menangis melihat darah mengalir dari balik kepalanya.
Diwaktu yang bersamaan Windi datang. ”mas Anwar...” ucapnya lirih, ia kemudian menangis sambil memeluknya.
Untung mobil ambulance cepat datang, dan mereka membawanya ke Rumah Sakit. Sesampainya di Rumah Sakit, Windi dan Nadira ikut mengantar Anwar ke ruang IGD bersama suster.
“Sus dokternya mana sus?” teriak Nadira panik. Dr. Fahri yang baru muncul segera menangani kondisi Anwar.
“dok tolong selamatkan Ayah saya dok saya mohon” ucap Nadira penuh harap dan panik.
“saya akan berusaha semampu saya, tolong kalian tunggu diluar ya” perintahnya.
Nadira dan Windi menahan kesedihan yang mendalam. Sudah 1 jam berlalu tapi Dokter belum juga keluar.
“Ya Allah tolong selamatkan Ayahku ya Allah aku mohon...” batin Nadira memohon.

Di kampus, Senja melamun dikursi taman. Meskipun disekelilingnya ada Dinda dan Ica yang menemani, tapi tetap saja ada kesedihan didalam hatinya. Berkali-kali handphonenya berdering, tapi ia tak bergeming. Dinda dan Ica saling melirik satu sama lain melihat keanehan Senja yang tak biasanya murung seperti ini. Handphone Senja kembali berbunyi, tapi tidak lama, dan sepertinya itu hanya sebuah pesan.
“Senja..., hp lo dari tadi bunyi mulu tuh, siapa tau penting” ucap Dinda membaca buku.
Senja terkejut setelah melihat pesan dari bik Minah kalau papanya lagi di Rumah Sakit karena kecelakaan.
“HAAH...KECELAKAAN...” Senja benar-benar syok.
“siapa yang kecelakaan?” tanya Dinda menahan tubuh Senja yang hampir terjatuh.
“papa, ya udah gue duluan ya” Senja kemudian buru-buru pergi.
“kita harus kasih tau Raga sama yang lainnya” ucap Ica serius.
Dari pinggir lapangan futsal, Dinda dan Ica berteriak memanggil-manggil Raga yang sedang memberi semangat anak-anak berlatih futsal. Raga hanya bengong menatap mereka dari tengah lapangan.
“RAGAA...” panggil Ica lagi.
Raga menunjuk dirinya sendiri sambil menatap Ica.
“IYA ELO...” teriak Ica sembari mengangguk.
Raga berlari menghampiri mereka. “ada apa?” tanya Raga.
“Senja lagi di Rumah Sakit” jawab Ica.
“APAA...” Raga terkejut. “Senja masuk Rumah Sakit”
“udah lo tenang dulu, bukan Senja tapi papanya” sahut Dinda.
       Sementara di Rumah Sakit, Anwar masih belum sadar. Ia masih tergeletak tak berdaya dengan kepala dan kaki diperban. Windi terlihat sedang sholat diruangan tersebut.
”sadarkanlah mas Anwar ya Allah..., selamatkanlah dia” batinnya berdoa sambil menengadahkan kedua tangan meminta kepada Allah swt.
Nadira hanya tertunduk sambil melihat Ayahnya dari balik kaca. Tiba-tiba Senja datang nyelonong masuk melihat keadaan Anwar.
“pa..., maafin Senja pa, jujur Senja kecewa sama papa, tapi Senja juga sayang sama papa...” Senja menangis tersedu-sedu meratapi keadaannya.
Perlahan-lahan Windi medekati Senja dan mengusap bahunya. “Senja..., ini Ibu nak” ucap Windi menahan kerinduan.
Senja menghapus air matanya sambil menatap Windi.
“jadi ini adalah Ibunya Senja?” tanya Senja.
Windi mengangguk, kemudian memeluknya erat-erat. Raga, Dinda dan Ica benar-benar terharu melihatnya. Begitu juga dengan Jovan. Didekat pintu, Nadira hanya terpaku melihat apa yang sudah terjadi. Ia juga bingung apakah harus bahagia atau justru sebaliknya. Karena kata-kata Senja mengingatkannya pada Robby yang sudah membuatnya kecewa.
“HAAH..., Senjanya ada dua” ucap Jovan kaget melihat Senja dan Nadira.
“sebaiknya kalian menunggu diluar, karena pasien harus banyak istirahat” ucap suster yang baru datang.
Setelah berada diluar, Senja kembali memeluk Windi. Senja seperti lupa akan segalanya, sedangkan Nadira hanya murung menatap kebahagiaan mereka.
“Nadira..., sini” panggil Windi dengan lembut.
Perlahan-lahan Nadira mendekat, Windi lalu memeluk keduanya.
“jadi mereka benar-benar kembar?” ucap Robby perlahan-lahan mendekati rombongan Raga.
Tampak Galang dan Dion juga baru datang.
“iya kamu bener” sahut Raga sambil duduk.
“berarti Senja pacar gue dong” celetuk Robby.
“apa kamu bilang, pacar kamu” ucap Raga langsung berdiri. “Senja itu pacaran sama aku bukan sama kamu” tegasnya.
“kali ini gue nggak bakal ngalah lagi dari lo, karena Senja itu udah milih gue sebagai pacarnya” Robby berlagak ngotot.
“kamu apa-apaan sih rob, jelas-jelas Senja itu pacar aku, kenapa kamu jadi ngaku-ngaku” balas Raga ngotot juga.
“apa-apaan sih kalian ini, ini Rumah Sakit ngerti nggak sih” cerca Dinda memarahi mereka.
“Senja..., pliss tolong jelasin sama mereka kalau kita ini udah pacaran” ucap Robby mendekati Senja, Windi, dan Nadira.
“kamu apa-apaan sih rob, aku memang Senja, tapi aku nggak pernah jadian sama kamu” tegas Senja.
“aku pikir kamu tulus sama aku, tapi ternyata perasaan kamu cuma buat Senja” ucap Nadira menahan kesedihan yang mendalam, ia pergi sambil menahan air matanya yang akan tumpah.
Senja ingin mengejar Nadira, tapi Robby menahannya. “ini salah paham, biar gue aja yang ngejar Nadira” Robby menyusul Nadira yang entah pergi kemana.

Antara Senja dan RagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang