7 - Senyum Candu Lee Jeno

588 87 8
                                    

Jam di dinding sudah mengarah kepada angka sepuluh malam. Harap cemas Khadijah duduk di sofa di depan televisi yang menyala tanpa mendapat penonton.

Sesekali Khadijah mengecek ponsel merah maroonnya. Berharap lampu disana menyala menyampaikan notifikasi pesan dari salah satu sahabatnya yang sedang ada kuliah malam.

"Kenapa sampai larut sekali," ocehnya ringan pada ponsel yang ditatapnya tanpa harapan itu.

Kemudian kakinya segera berdiri dengan sedikit terlonjak ketika ponselnya berdering, menandakan ada panggilan masuk.

Namun, panggilan itu bukan panggilan dari orang yang ia harapkan datang memberi notifikasi pada ponselnya.

Ia biarkan ponsel itu berdering. Lee Jeno. Sedang apa dia menelpon malam - malam. Ia takut akan terjadi fitnah jika sering ia biarkan lelaki itu terus menelponnya.

Layar ponselnya mati kemudian. Barulah perasaan bersalah muncul sedikit di hatinya. Ia merasa bersalah pada lelaki itu.

"Kenapa, Jen?" balasnya singkat pada pesan Lee Jeno yang bertanya mengapa ia tak mengangkat panggilan.

Lama tak mendapat balasan, akhirnya Khadijah menekan tombol dial hingga tersambung tanpa hitungan detik kepada lelaki itu.

"Kau menelpon juga, sudah kutebak." Senyum disana bisa dirasakan oleh Khadijah dari nada bicara lelaki ini.

"Kau sengaja ya?"

Lee Jeno tersenyum geli, merebahkan tubuh di kasur miliknya. Sedang temannya menatap dirinya bisu.

"Aku tahu kau pasti merasa tak enak hati karena tak mengangkat panggilanku."

"Ada apa memangnya?" tanya Khadijah dengan suara lembut khas miliknya.

"Aku habis latihan, jadi aku lelah," sahut Lee Jeno. "Butuh vitamin," sambungnya sambil terkekeh.

"Bicaramu meracau, kututup ya?"

Tanpa persetujuan dari Lee Jeno, panggilan itu berakhir secara sebelah pihak.

Walau begitu tubuh Lee Jeno terasa segar sekali mendengar suara lembut wanita yang sudah berhasil membuatnya jatuh cinta.

"Siapa sih?" tanya temannya yang sedari tadi menyimak percakapannya. "Tumben kulihat kau berbicara pada seorang lewat telpon," sambungnya heran.

Lee Jeno mengabaikan pertanyaan itu. Ia segera meninggalkan kamar dan keluar mencari udara segar.

"Aneh!" kata temannya sambil menggeleng.

Dengan pakaian santai, celana jins dan kaos oblong Lee Jeno memasuki pintu minimarket yang bertuliskan dorong.

Ia memilih menu yang biasa memang sudah disantapnya. Tangannya sudah hafal pada letak posisi benda - benda yang dibutuhkannya.

Kemudian ia mendekat kearah kaca besar yang berisikan kursi panjang dan meja panjang. Ia duduk dengan manis kemudian membuka segera mencampurkan bahan - bahan makanan instan yang memang sesuai dengan seleranya.

Ia makan dengan lahapnya, hingga tak menyisakan sebutir pun nasi instan yang dibelinya. Sampai matanya menangkap sosok bayangan yang baru saja turun dari bus.

"Khadijah?" katanya sambil menyipitkan matanya.

Segera mungkin ia keluar dari minimarket. Menghalau jaraknya kepada Khadijah yang lumayan jauh dengan berlari.

"Kenapa aku mengejarnya?" kata Jeno tiba - tiba berjalan pelan menghentikan kakinya yang berlari.

Terlihat di sana Khadijah hendak menyebrang. Menunggu hingga lampu pejalan kaki berubah menjadi hijau. Hal itu membantu Lee Jeno untuk bergerak lebih mendekat kepada Khadijah.

Bunyi lampu pejalan kaki yang sudah berubah menjadi hijau dan memerintahkan para pejalan kaki untuk melangkah cepat tak mengalahkan lantunan merdu surah al-mulk dari ponsel Khadijah menandakan ada sebuah panggilan masuk ke ponselnya.

"Jeno?"

"Berisik sekali kau ada dimana?"

"Aku sedang menyebrang, kututup ya?"

"Dijah!"

Panggilan itu sukses membuat Khadijah menghentikan jemarinya untuk menutup telpon.

"Hati - hati," sambungnya.

"Terima kasih,"

Khadijah mempercepat langkahnya yang belum juga tiba di ujung penyebrangan, saat lampu sudah hampir berganti warna barulah ia sampai di ujung jalan itu.

Kemudian matanya bingung, menatap kesegala arah yang memang sangat asing baginya itu.

"Dijah sudah selesai menyebrang?"
Sms itu membantu dirinya berpikir dengan jernih.

"Alhamdulillah sudah. Lee Jeno, kau tahu dimana toko roti Jane?"

Syukurlah ada Lee Jeno malam ini yang ia harap bisa membantunya.

Sekali lagi lantunan surah al-mulk menyejukkan suasana di langit korea.

"Sekarang kau berjalan lurus saja."
Khadijah mengikuti arahan suara dari ponsel yang ia percaya bisa membantunya itu.

"Belok ke kiri sekarang."

"Hati - hati di bawahmu ada jalanan menurun."

"Di kirimu! Lihat itu tulisan berwarna hijau."

Khadijah tersenyum setelah menemukan tulisan berwarna hijau yang disebutkan Lee Jeno di panggilan itu.

Di panggilan? Bagaimana dia tahu?

Khadijah yang baru saja sadar itu secara cepat menoleh ke belakang. Dan benar saja, sosok tinggi yang melebihi dirinya 10 centimeter itu sudah berdiri dengan senyum manis yang menjadi candu.

"Kau?"

"Tugasku sudah selesai. Kau sudah sampai dengan selamat. Annyeong!"

Satu ...

Dua ...

Ti--

"Jeno-ssi!"

Kim Jeno sudah menebak bahwa gadis itu akan memanggil namanya dalam hitungan ketiga. Bahkan belum habis hitungan ketiga.

"Belilah roti untuk teman - temanmu," kata Khadijah sambil menunduk malu.

"Jika kau yang meminta akan kulakukan. Sebenarnya aku malas sekali mau memberi mereka makan," kata Jeno yang membuat Khadijah sedikit geli.

"Aku dapat poin tambahan, kan? Karena membuatmu tertawa?"

Khadijah sedikit lupa bahwa ia bisa ketahuan dengan mudah karena matanya yang juga ikut tersenyum seperti bulan sabit. Serupa dengan milik Lee Jeno.

---------
Assalamualaikum, Chingu~~
Gimana kesan kalian baca part ini? Aku berusaha bikin part ini sepenuh hati hehe biar para pembaca bisa ngerasain tulusnya aku nulis ini wkwk

Okee jangan lupa like dan komennya ya ~~

Have a nice day,
Erluthh

Syahadat & Seoul | Lee Jeno ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang