8 - Payung dan Hujan

565 79 18
                                    

"Pengkhianatan yang benar-benar adalah ketika hatimu menginginkan sesuatu, namun ragamu tak melakukan sesuai keinginan hatimu"

---------------------
Suara senja dari ufuk barat di langit Seoul juga suara burung yang terburu memanggil pasangan mereka. Diantaranya di dalam suara yang lumayan sepi Khadijah dengan kedua sahabatnya tengah bersujud mencurahkan kecintaan kepada sang pencipta.

Salam terakhir diucapkan Khadijah yang kebetulan menjadi imam, menjadi pertanda bahwa kewajiban mereka sudah selesai untuk saat ini. Khadijah diikuti kedua sahabatnya menggulung sajadah dan melipat mukena mereka kemudian menaruh rapih di dalam tas.

"Neng, Lee Jeno tadi gak masuk ya?"

Seberkas perasaan sedih tiba-tiba saja muncul menyapa setelah pertanyaan Zayla tadi. "Iya, Mba. Kayaknya dia lagi sibuk," sahut Khadijah seadanya.

Kemudian Husnah ikut menanggapi perasaan kecewanya. "Iya nih! Rugi deh kuliah pagi kalo tetep ga ketemu Lee Jeno di kampus," katanya dengan penuh dengusan kekecewaan.

"Husnah ... kita disini itu niatnya menuntut ilmu. Kok malah jadi neko-neko?" nasihat Khadijah pada Husnah.

"Neng, dengerin Mba ya. Kita berdua itu datang kesini tujuannya ya biar bisa menghirup oksigen yang sama setidaknya dengan Lee Jeno. Masalah ilmu atau apalah itu cuman bonus aja. Coba pikir, bahkan Allah kasih kita jackpot bisa satu kampus sama Lee Jeno, coba kurang gimana Allah ngatur perjodohan ini?" kata Zayla sangat lugas dan jujur serta percaya diri.

Jika dipikir-pikir lagi. Niat kedua temannya itu datang kesini memang benar sekali untuk bisa satu tempat dan lebih dekat dengan Lee Jeno. Berbeda dengannya yang memang benar ingin mempelajari sesuatu dari kehidupan di negeri ginseng ini.

"Ya sudah, tapi Neng ingatkan lagi. Jangan terlalu berharap pada hamba Allah, nanti Allah cemburu."

"Baik bos! Sudah tercatat!" sahut Husnah dan Zayla memasang empat jemari di dahi kanan mereka.

Perpaduan langkah kaki sepatu kets putih dan pink itu sangat sempurna. Setara kanan dengan kanan dan kiri dengan kiri. Khadijah dan Husnah sedia berjalan kaki pada malam yang masih sangat ramai di kota Seoul demi menghemat biaya hidup mereka.

"Dijah, maaf ya, karena aku dan Zayla nonton konser kemarin kita harus jalan kaki tiap hari kayak gini," kata Husnah merasa tak enak.

Wanita yang diturunkan dari syurga itu tersenyum. "Gapapa kali, Nah. Lagian enak juga kok jalan kaki, bisa bebas gak terburu-buru kejer bus."

"Utututu totuit, maaciw, Dijah," kata Husnah dengan logat bayi yang sudah terbiasa di rekaman pendengaran Khadijah.

"Mulai deh, kumat."

Tawa dari sahabatnya itu saja sudah cukup jadi obat lelahnya menapak bumi dari kampus hingga tempat tinggal mereka.

"Ini hari terakhir jadwal kuliah malam Mba Zayla, kan?"

Husnah mengangguk membenarkan.

Gerbang kecil sebuah rumah di kota Seoul sudah terlihat. Rumah sederhana yang memiliki dua bilik kamar. Husnah memasuki rumah terlebih dahulu.

"Nah, kamu duluan deh. Aku mau ke minimart dulu," ijin Khadijah yang direspon anggukan oleh Husnah.

Dengan pakaian lengkap syar'inya, Khadijah melangkah ringan sambil sesekali menatap beberapa bintang yang muncul setelah hujan pagi tadi. Hingga sampai ia di minimart yang berlokasi dekat dengan tempat tinggalnya.

Khadijah dengan keranjang di tangannya memiliki beberapa barang yang dibutuhkan dan segera pergi ke kasir untuk membayar.

Saat ia hendak keluar pintu minimart, tak sengaja ia menabrak seseorang di depannya. "Jwoesonghamnida," katanya meminta maaf kepada seseorang yang ia tabrak. Ia mendongak kemudian menatap sosok berbalut topi dan masker yang tampak tak asing. Keduanya saling bertatap heran.

"Khadijah?"
"Jeno-ssi?"

Ucap mereka bersamaan membuat mereka tersenyum tak percaya pada situasi yang disuguhkan kepada mereka.

"Sedang apa?" tanya Lee Jeno dengan bodohnya.

Khadijah tertawa tanpa suara dari balik cadarnya. "Kenapa bertanya hal yang sudah pasti?"

"Ohh jadi jika kau menutup seperti ini, artinya kau sedang tertawa."

"Maksudmu?"

"Seperti ini." Jeno meletakan dua tangannya di depan mulutnya, menirukan gerakan Khadijah semenit yang lalu. Dan Khadijah baru menyadari juga bahwa tangannya akan otomatis menutup mulut saat dia tertawa.

"Heii Lee Jeno!"

Segerombolan orang datang dengan gaya berpakaian yang sama dengan Lee Jeno. Sekitar enam orang datang mendekat kepada mereka berdua.

"Khadijah! Bagaimana hukum lari dalam agamamu?"
"Hah? B-Boleh saja," sahut Khadijah tanpa curiga.
"Lalu bagaimana hukumnya memegang payung ini?" tanya Lee Jeno lagi sambil menunjuk payung yang ada disampingnya.
"Bo-Boleh juga," sahutnya bingung.
"Kalau begitu, pegang payung ini sambil berlari!"

Sekali lagi Lee Jeno memeriksa sosok - sosok yang hampir sampai kepada mereka.

"Larilah! Tidak ada waktu lagi!" kata Lee Jeno menyuruh Khadijah untuk segera pergi meninggalkannya.

"T-Tapi--"

"Aishhh!"

Payung hitam yang sudah dipegang Khadijah dipegang oleh Lee Jeno dibagian sisi ujungnya. "Jangan lepaskan. Pegang yang erat!"

Dalam sekejap tubuh Khadijah tertarik oleh langkah kaki Lee Jeno. Secara terpaksa ia mengikuti arah tubuhnya ditarik walaupun ia tak tahu kenapa ia harus menuruti perkataan lelaki yang belum genap sebulan dikenalnya itu.

Nafas mereka tersengal setelah mereka berada jauh dari kelompok yang menjadi alasan mereka kabur. "Kenapa kita lari?" tanya Khadijah kemudian setelah nafasnya hampir berjalan normal.

Mata bulan sabit Lee Jeno menatap separuh wajah Khadijah dengan dekat untuk kali pertama. Sudah ia perintah hatinya untuk tidak berdegup kencang, namun gagal. Jantungnya menggila saat ini.

"Suatu saat nanti aku akan mengelap keringat di wajahmu dengan tanganku."

Dua insan dengan dua jantung dan dua hati yang berbeda namun keduanya merasakan perasaan yang sama.

"Tolong tunggu aku, sampai aku siap mencintaimu dengan sempurna." Sepasang mata Lee Jeno menatap tanpa ragu manik mata bulat milik Khadijah yang sepertinya sudah biasa saja dengan balik menatap matanya

"Apa yang kau bilang? Kau berbicara dengan *aksen (bahasa daerah). Aku tak mengerti," kata Khadijah heran.

Lee Jeno kembali tersenyum kepada gadis polos bersuara madu itu. "Tapi tuhanmu mengerti semua bahasa, kan? Karena tuhanmu maha tau jadi tak masalah kau tak mengerti ucapanku."

"Ya sudah, terserah kau saja. Tapi lelaki tadi, siapa mereka?"

"Ohh mereka itu ... Ehh jika kau bertemu mereka di jalan nanti kau harus lari. Mereka orang terkenal seantero Korea Selatan. Mereka berbahaya," kata Lee Jeno dengan suara berbisik dan memasang wajah serius menatap Khadijah yang juga serius mendengarkan.

Setelahnya, kini Khadijah berjalan sendirian dibawah langit malam Seoul yang pada malam ini tidak begitu menyeramkan. Hatinya terasa gembira entah apa penyebabnya. Mungkin karena Lee Jeno yang selalu tersenyum seperti orang bodoh di depannya itu. Atau mungkin karena...

"Astagfirullah!"

Tiba-tiba saja rentetan air bening yang cukup banyak turun dari langit gelap. Khadijah menatap payung ditangannya, namun tidak segera ia melebarkan payung untuk melindungi diri. Dengan aneh ia memutar balik langkah kakinya dari arah seharusnya. Deras hujan ia tembus tanpa perlindungan.

"Lee Jeno!"

.
.
.
.
.
.
.

Assalamualaikum, Chinguya~~
Cerita ini di part selanjutnya akan di unpublish ya, tetapi jangan khawatir, kalian bisa baca di Fizzo kok dengan judul berbeda yaitu "Nikah Yuk, Neng!"
Jangan khawatir juga, karena baca ceritanya gratis tis cuman modal kuota aja, nggak perlu pake koin buat kunci bab.
Terima kasih~~

Syahadat & Seoul | Lee Jeno ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang