27 - Amplop Merah

308 56 12
                                    

Annyeong! :)
Dijah-ssi, boleh aku minta tolong padamu? Aku akan pergi menemui tuhanku saat surat ini sampai padamu, jadi kau juga pergilah bertemu dengan tuhanmu

Akhir-akhir ini aku jarang melihatmu di masjid, aku jadi sedih tak bisa menemuimu lagi.

Hehe :) maaf, sekarang aku akan jujur. Aku memang sering pergi kesana, tapi suatu hari aku tak sengaja melihatmu disana, dan semakin sering aku kesana aku setiap kalinya melihatmu seorang diri.

Dijah-ssi, makanlah dengan baik. Saat kau menerima surat ini setelah bertemu dengan tuhanmu, pergilah ke dapur dan makan sesuatu dari sana, aku juga akan melakukan hal yang sama.

Dijah-ssi, untuk semua luka yang aku berikan kepadamu, aku minta maaf.

Salahku sebab menyukaimu, salahku sebab menyalahi kodrat dan melangkah terlalu jauh menyebrangi laut dua agama.

Tapi sungguh, bertemu denganmu bagiku adalah sebuah alasan bahwa aku menjadi dekat dengan tuhanmu, tuhan yang sudah berhasil mencuri hatiku juga hingga aku menyukai-Nya meski belum terlalu mengenal-Nya.

Aku yang tak beruntung ini akan mencari keberuntungan sendiri.

Tunggulah aku, jika tuhan mengijinkan, aku akan datang.

Sebelum amplop biru datang kepadamu, Lee Jeno akan lebih dulu datang kepadamu.

Saranghae, Dijah-ssi.

Sekuat tenaga Khadijah memeluk selembar kertas tulisan tangan Lee Jeno yang rapih itu. Air matanya masih mengalir deras tanpa suara.

Semakin ia dekatkan surat itu ke jantungnya, jantungnya semakin sakit, tapi ketika ia jauhkan otomatis ia akan mencarinya.

Sepertinya hari-hari Khadijah akan ia isi penuh dengan menunggu amplop itu datang.

***
Semua itu tidak mungkin.

Seharusnya Khadijah tidak percaya pada kalimat yang diucapkan oleh hamba.

Hari-hari ia isi untuk menunggu, sehingga hari-hari itu menjadi berat untuk dihabiskan. Setelah bangun dari tidur, selalu ia mengecek ponselnya. Selalu ia mengecek kotak suratnya. Ia berharap keajaiban akan datang.

Pada saat yang tepat setelah salam terakir sholat subuh pagi ini, ponselnya berdering.

"Halo?" ucapnya tanpa salam sebab nomor itu tidak dikenal. Kemungkinan ini adalah seorang yang tengah ditunggunya.

Namun, bahunya jatuh seketika setelah mendengar siapa yang ada di ujung sana. "Iya, Nah? Kenapa?" Nada suaranya kecewa.

"Ya, alhamdulillah semua lancar, promosi aku juga udah berhasil."

Husnah girang di seberang sana. Mendengar kabar bahwa Khadijah sekarang adalah seorang manajer di perusahaan aplikasi.

Setelah wisuda, mereka memang memilih jalan yang berbeda satu sama lain. Zayla yang menjadi guide, kemungkinan besar sulit untuk ditemui saat ini. Husnah yang bekerja sebagai guru bahasa di SMA terkenal dan Khadijah yang memilih mengabdi di perusahaan aplikasi milik teman mendiang abahnya, kebetulan Rayhan juga bekerja disana.

Sudah tiga tahun sejak perpisahan mereka saat wisuda itu, sejak itu juga mereka hanya berkomunikasi via telpon. Rindu memang ada, tapi waktu belum mengijinkan untuk bertemu.

"Kamu masih nungguin?"

Suara Husnah diseberang sana membangunkan Khadijah.

Jika pertanyaan itu harus ia jawab, maka jawabannya adalah "tentu"

Tapi Khadijah tidak berniat untuk bersedih di pagi hari. "Nah, Mba Zayla kapan ke Indonesia?" Khadijah sengaja mengalihkan pembicaraan.

Husnah yang ada diseberang sana melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Ia juga kesal kenapa bocah itu tidak kembali ke Indonesia dan memilih menetap di negeri orang.

"Entahlah, Dijah. Kayaknya dia lupa jalan pulang, tapi jangan khawatir aku sudah kirimin dia peta Indonesia."

Otomatis Khadijah menutup mulutnya dan tertawa dengan lembut. Ada-ada saja Husnah ini.

"Ya sudah, Nah. Aku mau bersiap dulu berangkat ke kantor ya, nanti yang ada calon suami kamu itu ngambek karena aku terlambat."

Sangat lucu untuk diceritakan. Kisah Husnah dan Rayhan yang entah bagaimana memilih jalan ta'aruf tidak lama ini. Bahkan Husnah sendiri sangat bingung Rayhan tiba-tiba menelponnya dalam empat tahun tidak saling berkabar dan berkata akan datang dalam sebulan untuk melamar.

Hanya Khadijah yang tidak terkejut, sebab dari awal ia tahu bahwa masnya itu memang menyimpan rasa. Husnah juga demikian, sejak SMA Husnah selalu mengatakan suka dengan Rayhan, meski terdengar bercanda tapi yaa takdir allah akan indah pada akhirnya.

Sungguh cerita Allah tidak bisa ditebak sama sekali.

"Iii Dijah!! Sukanya godain aja!"

"Hahahaha, yasudah, Nah. Aku tutup ya."

Panggilan itu berakhir. Senyum Khadijah masih terlukis indah, wajahnya tanpa cadar ia tatap di pantulan cermin. Ia akan mempercayai sekali lagi, bahwa takdir allah akan sangat indah.

Dengan begitu, ia akan berhasil melewati sehari lagi dalam masa penantiannya.

Lee Jeno, semua orang nampaknya sudah semakin baik-baik saja, aku pun begitu, semoga kau juga.

.
.
.
.



Ini gak mengandung bawang, kan? Baik berarti emang authornya yang cengeng kali ini :)

Syahadat & Seoul | Lee Jeno ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang