34 - Kebenaran Yang Menyakitkan

302 52 5
                                    

🚫Warning! Dua part selanjutnya mengandung banyak bawang, jangan membaca di muka umum.

Ttd.
Author.

.
.
.
.

Mata wanita itu menggeledah seluruh isi ruangan tempatnya duduk sekarang. Tidak banyak barang, hanya ada beberapa benda yang nampaknya penting bagi seorang lelaki yang tinggal sendiri.

"Kau tinggal sendiri?"

Lee Jeno mengangguk canggung. "Maaf sebelumnya ... Ummi, saya tidak punya apapun untuk dihidangkan karena Ummi datang tanpa mengabari terlebih dahulu."

Lee Jeno merasa tidak enak, selama ia datang ke rumah wanita itu sebelum fakta terbongkar selalu ada makanan mewah yang menyambutnya.

"Ummi akan bicara sebentar saja kemudian pergi."

Mata Lee Jeno gugup, untung saja Rayhan mengangguk memantapkan hati Lee Jeno untuk mendengar kalimat ummi.

"Katakan Ummi, saya akan mendengarkan."

Ummi memgambil nafas sebelum berbicara. "Selesaikan semuanya."

"Ummi!" Rayhan terkejut. Bukan ini yang ia maksud.

"Diam dulu. Ummi belum selesai."

Ummi akan melanjutkan, ia menatap mata Jeno yang ramah itu.

"Selesaikan dulu semuanya di sana, jangan kabur tapi pergi dengan baik-baik. Saat ini orangtuamu pasti khawatir mendengar kabar bahwa kau hilang."

Jangan kabur, setidaknya kisah kita tidak akan sama jika kau tidak kabur ...

Nampaknya pagi tadi ummi sempat membaca berita tentang lelaki ini.

"Ummi ..." Jeno terharu. Ia memang tak terlalu mengerti dengan bahasa indonesia yang ia pelajari lebih dari tiga tahun belakangan ini, tapi ekspresi ummi membantunya memahami.

"Saat semua sudah selesai. Kau harus datang, jangan membiarkan putriku menunggu terlalu lama."

"Sudah cukup rasa sakit yang ia dapat. Penantiannya harus segera terbayarkan."

Ummi bangun, ia rasa semua yang ingin ia katakan sudah semua ia katakan. Entah kenapa seperti sebuah batu besar yang mengganjal di hatinya telah hilang.

"Ummi!" panggil Lee Jeno membuat kaki ummi terhenti dan berbalik lagi.

"Ahmad!" kata Lee Jeno. "Aku ingin nama Ahmad. Jika Nabi Muhammad mencintai Siti Khadijah hingga akhir hayatnya, maka Ahmad akan mencintai Khadijah Amayyah hingga akhir hayat juga."

***
"Ummi jahat!"

Air mata langsung mengalir deras dari wajah pucat ummi. Baru saja ia akan mengucap salam, tapi tak ia sangka kalimat yang tidak sama sekali pernah ia kira akan dikatakan oleh seorang Khadijah ia dengar hari ini.

"Neng? Ada apa dengan kamu?" Rayhan mencoba menenangkan.

Mata Khadijah dan mata umminya saling bertatapan. Masing-masing mata mereka mengalirkan air bening.

"Ummi bahkan lebih jahat dari Neng," ucapnya dengan hati sakit. "Ummi ... Ummi bahkan meninggalkan orangtua Ummi demi cinta abah yang saat itu ... juga beda agama."

Blarr!!!

Dunia ummi runtuh. Khadijah sudah tahu. Entah darimana gadis itu tahu, jawabannya hanya satu. Buku yang berisi catatan-catatan kehidupannya selama ini.

"Apa Neng harus lakukan hal yang sama?!"

"Neeeng..."

Khadijah menangkis tangan Rayhan. Selama 26 tahun hidupnya, baru kali ini Khadijah memberontak.

Gadis berjubah kuning itu berderap keluar dari rumahnya. Ia tak tahu akan kemana, tapi ia ingin saja keluar dari sini.

"Neng?!!" panggilam Rayhan tak juga berhasil menghentikan Khadijah.

Sedang Umminya hanya mematung, mencerna semua kalimat putrinya.

"Mi, biar Rayhan yang kejer Neng."

Langkah kakinya sengaja ia besar-besarkan agar cepat menjauh. Sedang Rayhan sudah hampir berhasil mengejar di belakangnya.

Air matanya tak mau berhenti, jadi tanganya juga tak berhenti untuk menghapusi air mata yang menganggu penglihatannya.

"Neng!!!"
"Neng!!"

Kali ini Khadijah berlari. Ia tidak ingin ditangkap. Ia tak ingin pulang untuk sekarang. Ia ingin pergi. Jauh.

"Neng!!"

Tapi, Khadijah adalah Khadijah. Wanita yang dirindukan oleh syurga. Wanita cantik berhati malaikat.

Khadijah berhenti di tempatnya. Ia menutup matanya dan menangis sejadi-jadinya.

Saat itu Rayhan datang langsung memberikan pelukan pada adik satu-satunya.

"Maafin, Mas ya?"

"Maafin Mas, Neng, hm?"

Khadijah menangis sejadi-jadinya, seperti orang gila. Ia tidak ingat pernah menangis sebanyak ini.

Rayhan mengelus kepala adiknya. Setelah Khadijah sudah agak tenang, barulah ia mengajak adiknya itu pulang.

"Ayo pulang, Neng. Minta maaf ke ummi, sebelum terlambat. Ayo Neng."

Khadijah diam sebentar. "Mas duluan aja, sebentar lagi Neng bakal susul."

Rayhan mengangguk setuju. Sepertinya adiknya memang butuh menenangkan diri. Jadi ia memutuskan kembali lebih dulu, tak enak meninggalkan umminya yang sedang sakit di rumah sendiri.

Selepas kepergian Rayhan, Khadijah masih merenung duduk di kursi panjang di pinggir jalan satu arah ke rumahnya ini.

Niiiiiuuuu!! Niiiuuuuu! Niiiiiuuuuuu!!

Suara ambulan menarik perhatian Khadijah. Seperti ada sesuatu yang membisiki di telinganya. Ia langsung berdiri.

"Ummi!!!" 

.
.
.
.
.

Tidak akam kubiarkan bawang menguasai kalian :)
Jadi aku buat part yang tidak mengandung bawanh :)
Bonus up hari ini double up!!!!!

Jangan lupa komen dan votenya ya supaya author tambah semangat❤️❤️

Syahadat & Seoul | Lee Jeno ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang