26 - Perpisahan

321 56 13
                                    

Perasaan apa ini. Rasanya mereka tak ikhlas untuk pergi.

Sebelum mereka datang kesini, sepertinya mereka berjanji akan membuat kenangan indah disini, tapi nyatanya rasa sakit lebih membekas daripada kebahagiaan.

Hari ini sudah tiba. Hari dimana perpisahan itu menjadi nyata. Sejak awal, mereka seharusnya sadar, perjalanan ini akan sangat singkat.

"Neng?" Lagi-lagi Zayla membuyarkan lamunan Khadijah. Akhir-akhir ini Khadijah sering kali kalut dalam pikirannya sendiri. Tidak seperti Khadijah yang dulu.

"Iya, Mba. Ayo." Dengan berat hati Khadijah meninggalkan rumah yang selama enam bulan menjadi tempat berlindung baginya.

Husnah sudah meletakkan semua barang mereka di taksi, kemudian mereka nak taksi yang berbeda dari barang mereka.

Soekarno-Hatta Airport

Bahkan sampai akhir, tuhan tak mengijinkan untuk mengatakan selamat tinggal, padahal kami ditakdirkan bertemu.

"Assalamualaikum." Senyum hangat dari lelaki yang sangat merindukan mereka menyapa sejak matahari kota Jakarta menyinari tubuh mereka.

"Walaikumsalam," sahut ketiganya berbarang. Khadijah langsung mencium bolak-balik telapak tangan Mas-nya, Rayhan.

Ada yang menarik perhatian Rayhan dari kembalinya mereka bertiga. Rayhan tersenyum karenanya.

"Memang warna hijau cocok untuk Husnah, dan warna putih cocok untuk Zayla."

Keduanya tersenyum puas sambil tersipu malu mendengar pujian Rayhan. Mereka tahu apa yang dipuji Rayhan.

Sejak kejadian itu, kejadian yang mengharu biru, tentang hidup mati di negeri orang asing, Zayla dan Husnah sepakat dan yakin untuk memantaskan dirinya.

Seperti inilah mereka sekarang, meski jilbab yang membungkus aurat mereka tak sepanjang Khadijah, tapi sudah cukup baik untuk dikatakan perubahan yang lebih baik.

"Alhamdulillah, Mas. Sepertinya banyak kejadian yang bikin kita sadar," jelas Zayla. Sedang Husnah memang selalu salah tingkah jika ada Rayhan, secara gadis ini memang jatuh hati pada Rayhan. Namun, hanya jatuh hati layaknya anak SD, tidak lebih sampai ingin memiliki.

"Alhamdulillah," sahut Rayhan tidak lupa dengan tersenyum. Lalu matanya menatap sepasang manik yang terlihat kosong.

"Neng?"

"Iya, Mas?!" Khadijah sedikit terkejut. Sebab sedari tadi pikirannya masih jauh di negeri seberang.

"Kita pulang ke Bandung ya? Minggu depan baru kembali ke Jakarta," ajak Rayhan.

Sebenarnya Khadijah mau di Jakarta saja, seminggu lagi mereka harus wisuda. Rasanya tak etis sekali jika pulang sebelum wisuda, tapi ummi bilang ummi rindu Dijah, jadi setidaknya ia pulang.

Anggukan Khadijah menjadi perpisahan bagi keempatnya. Tepatnya setelah berpelukan dan berpamit Khadijah masuk ke dalam mobil milik Rayhan. Kemudian mobil itu melaju di jalanan.

***

"Neng Dijah?"

Khadijah otomatis duduk segera setelah ummi masuk ke kamarnya. Bersyukur Khadijah ia dituruni suara lembut yang persis seperti suara umminya.

"Iya, Mi."

Baik umminya dan dirinya, keduanya masih dijaga dengan selembar kain yang menutup separuh wajah mereka. Keduanya mulai berbincang setelah tadi sore melepas rindu.

"Bagaimana?"

Pertanyaan umminya sangat sederhana, tapi Khadijah tau apa yang ummi maksud.

"Alhamdulillah semuanya berjalan sesuai harapan, Mi. Walaupun tidak selalu lurus, hehe."

Khadijah memang tidak biasa menceritakan semua hal kepadanya umminya, bukan sebab ia tak dekat, ia hanya tidak ingin umminya yang sudah semakin tua khawatir pada dirinya. Sebab itulah Rayhan yang selalu menjadi sosok ummi sekaligus abah bagi Khadijah.

Umminya tersenyum. "Syukurlah, Ummi selalu berdoa agar imanmu dilindungi oleh Allah, dan Ummi lega jika memang benar demikian."

Rasanya Khadijah sudah melakukan dosa besar. Air matanya ingin jatuh tapi ia tahan semampunya.

"Tidurlah, sudah malam. Neng juga pasti capek." Setelah mencium kening putri bungsunya, umminya keluar membiarkan Khadijah untuk istirahat.

Selepas kepergian ummi. Khadijah menarik nafas panjang dan berat, matanya kembali tertuju pada tas cokelat yang menemani hari-harinya selama di negeri ginseng itu.

Secarik amplop berwarna merah ada di tangannya. Ia rindu. Wangi amplop ini berasal dari wangi farfum orang yang tengah menguasai pikirannya sekarang.

Perlahan, ia buka kembali amplop yang sudah ia baca berulang-ulang.

Lagi-lagi, air matanya membulir membasahi kain cadar birunya. Ia tak sanggup dengan cobaan cinta beda agama ini. Sungguh.

Jika ini misi, maka Allah salah orang. Khadijah tak seharusnya mendapat misi seberat ini, jika ini bukan misi mengapa Allah jadikan Jeno satu-satunya yang berhasil menjajah hatinya.

.
.
.
.

Gimana-gimana, ini part gak sad tapi kok aku nangis yakk :)

Ngebayangin aku sebagai Khadijah wkwk :'v
Terima kasih atas antusias kalain yeoreobeun, saranghae kalian banyak-banyak❤️

Syahadat & Seoul | Lee Jeno ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang