BAB 32 : PEDULI

317 39 0
                                    

AKBAR menatap Nila yang baru saja datang ke rumahnya. Gadis itu ke sini karena suruhan kedua orang tuanya.

Ia tersenyum hangat pada Ibu Akbar. Entah kenapa Akbar merasa emosi.

“Ibu buatin minum dulu ya, Nil,” Nila hanya mengangguk. Lalu, tatapannya tertuju pada Akbar. “Gue duduk situ boleh?”

“Boleh,” Ayah tiba-tiba datang dari lantai dua dengan membawa kopinya. Hal itu lantas membuat Nila tersenyum cengengesan.

“Makasih, Om..” sahutnya antusias. Tanpa basa-basi, ia langsung duduk disamping Akbar.

Lelaki itu semakin kesal. Ia merasa sangat risi.

“Bentar ya, Nil. Ibu lagi bikinin makanan sama minuman yang enak banget buat kamu,”

Nila tersenyum. “Nanti kapan-kapan Nila bikinin Ibu makanan enak deh, janji!”

Ibu mengacungkan jempol. Lalu, menarik tangan sang suami agar segera meninggalkan mereka berdua.

Orang-orang mungkin menganggap Nila adalah gadis yang menarik. Wajahnya bulat, hidungnya mancung dan alisnya tebal. Ibu Akbar saja tadi sempat mengatakan bahwasanya Nila makin hari makin terlihat cantik.

Namun sayangnya itu tidak berlaku bagi Akbar.

Ia memalingkan wajahnya lantaran gadis disampingnya ini terus memasang senyum.

Menyebalkan sekali, pikirnya.

“Eum—... Lo nggak ada niat—”

“Gue mau pergi,” perkataan singkat itu lantas membuat Nila menatapnya.

“Ke mana?”

Akbar berdecak. Lalu bangkit dari duduknya—diikuti oleh gadis disampingnya.

“Apa nggak kecepetan?”

Ia tidak menggubris perkataan Nila. Tidak peduli, Akbarpun langsung perhi meninggalkannya.

Hal itu lantas membuat Nila berdecak. “Gue cantik kali ini, apa lo enggak nyadar?” Teriaknya dengan lantang. Entahlah apakah kedua orang tua Akbar mendengar atau tidak.

Ia mengingat perkataan Akbar dahulu, saat di mana keduanya masih berpacaran.

Makin hari lo makin cantik. Gue suka,

Akbar berhenti. Ia memutar badan, lalu menatap Nila gusar. “Mau lo sebenernya apaan si?”

Belum sempat menjawab, Akbar kembali berbicara. “Nggak usah bertindak kayak gini. Lo mancing emosi gue terus,”

“Maaf,”

Akbar mendekat. Kedua matanya semakin menajam. “Gue muak,”

Setelah mengucapkan kalimat itu, Akbar benar-benar pergi dari hadapannya.

Pada saat itu juga, Nila langsung menghela napas lelah. Ia merasa kecewa—entah untuk yang keberapa kalinya.

Tak lama setelah itu, Ibu datang menghampiri Nila. “Lho, Akbar mana, Nil?”

“Pergi, Bu. Dia masih sensitif banget sama Nila,”

Ibu menggandeng tangan Nila, menyuruhnya untuk duduk. “Sabar, Nil. Ibu dukung kamu, kok,”

“Kayaknya Akbar udah enggak bisa nerima Nila lagi deh, Bu,”

Ibu menggelengkan kepalanya. “Enggak, enggak. Akbar cuma butuh waktu aja,”

Nila menutup wajahnya. Jika Akbar memang sudah tidak ada keinginan untuk bertemu dengannya, ia tidak tau harus melakukan apa.

Sekarang dirinya menyadari betul betapa pentingnya Akbar dikehidupannya. Menyesal. Nila benar-benar menyesal atas kebodohan yang ia perbuat dahulu.

RAYNZAL ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang