BAB 34 : SERBA PINK

313 37 1
                                    

RACHEL terus meringis saat tengah diobati Raynzal. Perban yang dikenakan sudah tak layak pakai dan harus di ganti. Maka dari itu kini Raynzal tengah membantu kekasihnya untuk mengganti perban lama ke perban yang baru.

Sekarang, tangan Rachel yang tertusuk paku tengah diobati oleh lelaki itu. Ia membuka perbannya secara perlahan karena lukanya belum sepenuhnya kering.

Gerakan yang Raynzal berikan terbilang lembut dan sangat hati-hati, namun entah kenapa Rachel masih tidak bisa percaya dengannya. "Demi apapun kalau Raynzal salah obatin, Rachel ngambek!!"

"Salah gimana," singkat Raynzal dengan kedua mata fokus pada luka Rachel. Kini ia mengambil perban yang baru, lalu mengira-ngira berapa ukuran yang cukup untuk menutupi luka Rachel. Setelah perkiraannya tepat, Raynzal memotong bagian tersebut.

"Salah sendiri kenapa tadi mandi. Udah tau kata dokter nggak usah mandi dulu. Kalaupun mandi setidaknya lukanya jangan kena air. Jadi basah lagi, 'kan," seusai memlester telapak tangan, Raynzal langsung fokus pada dahi Rachel. Cukup parah luka yang ia dapat pada bagian itu. Robeknya cukup besar. Bahkan kemarin saat diobati dokter saja, darah tidak mau berhenti.

"Habisnya badan Rachel lengket banget. Enggak betah tau," Raynzal membuka perban dengan pelan-pelan, namun gerakannya itu masih saja mendapat ringisan dari Rachel. Setelah perbannya terbuka, Raynzal langsung memasukkannya ke dalam plastik sampah. Ia kembali memberikan perban yang baru untuk gadisnya.

Beberapa menit berlalu, akhirnya Raynzal selesai melaksanakan tugasnya. Luka pada bagian mulut tidak perlu di perban karena itu adalah luka dalam. Rachel hanya perlu mendapat obat tetes agar lukanya segera mengering.

"Masih pusing nggak?" tanya Raynzal.

"Enggak,"

"Bagus kalau gitu," Raynzal bangkit dari kasur lalu mengambil makanan yang tergeletak diatas nakas.

"Makan dulu yuk," ia membuka bungkusan makanan yang berisi bubur. "Doyan bubur, 'kan?" Rachel mengangguk dengan semangat.

"Doyan banget!" Raynzal tersenyum. Ia menyendok suapan pertama, lalu menyodorkannya kearah Rachel. Gadis itu pun menerimanya dengan semangat. Namun, apalah daya. Gerakannya langsung terhenti lantaran ia menyadari bahwa mulutnya masih terasa sakit.

"Pelan-pelan aja sayang, enggak akan sakit," ujar Ragil mengerti situasi. Rachel pun mengangguk lalu menerima suapan pertama dengan hati-hati. Mulutnya sudah tidak terlalu sakit apabila berbicara, namun masih sakit apabila menelan makanan.

By the way, ini adalah hari kedua Rachel tidak masuk sekolah. Seharusnya ia pulang ke rumah kemarin, namun ia tidak bisa menepati janji dengan Omanya lantaran luka yang di dapat masih berbekas.

Ia tidak jadi pulang lantaran takut ada banyak pertanyaan yang terlontar dari mulut Oma. Lagipun Rachel tidak mau membuat perempuan paruh baya itu khawatir ketika melihat lukanya.

Tadi Raynzal kembali mengunjungi Omanya dengan alasan Rachel masih belum bisa pulang sampai waktu yang tidak ditentukan-lantaran ia harus menemani Jesika di rumahnya karena kedua orang tuanya tengah menginap di luar kota. Awalnya perempuan paruh baya itu tidak percaya, namun lelaki dengan sejuta kecerdikannya itu menunjukkan foto lama yang menampilkan wajah Rachel bersama Jesika.

Kemudian Raynzal menyogok Oma dengan makanan dan pakaian baru, sehingga membuat nenek tua itu gampang mempercayainya. Mungkin karena faktor umur pula yang membuat Oma bisa dengan mudah mempercayainya.

Huh, mau gimana lagi? Daripada Omanya kepikiran dan malah membuat penyakitnya kumat, lebih baik ia berbohong saja, 'kan?

"Mau minum, Zal," Raynzal langsung mengambil segelas air dengan sedotan di dalamnya. "Mau es teh padahal,"

RAYNZAL ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang