BAB 42 : ROOFTOP

389 38 0
                                        

"KOK tempat ini sepi, Zal? Rachel takut jadinya,"

Raynzal menatap sosok kesayangannya seraya tersenyum. "Bersihin dulu itu pipinya. Ada coklat."

Rachel menatap kedua bola mata Raynzal. "Serius?"

Lelaki itu mengangguk. "Sini aku aja yang bersihin," satu jemarinya terulur membersihkan pipi Rachel yang kotor karena coklat yang sedang ia makan.

"Dah. Udah cantik lagi,"

"Terus tadi Rachel enggak cantik gitu?"

Raynzal tersenyum. "Rachel mah cantik terus, mau dibikin sebegila manapun juga tetep cantik,"

"Makanya kamu mau sama Rachel, 'kan?"

Raynzal memilih untuk tidak menjawab. Ia malah berbaring, menaruh kepalanya diatas paha Rachel. "Kalau ada orang gimana?"

"Kenapa emang? Palingan cuma karyawan Papa aku," Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Enggak mau,"

"Enggak papa,"

"Yaudah tapi Raynzal enggak usah ngelihatin Rachel terus," Rachel berdecak, menyadari bahwa Raynzal terus menatapnya tanpa henti.

"Emangnya enggak boleh ngelihatin pacar sendiri?"

"Ihs," Rachel membuang tatapannya, berusaha tenang sebisa mungkin. Kini satu tangannya menutup rapat kedua mata Raynzal agar anak tersebut tidak bisa melihat apapun.

Dan anehnya Raynzal hanya diam. Saat Rachel menyingkirkan tangannya, ternyata kedua bola mata Raynzal masih terbuka. Hal itu lantas membuat tatapannya langsung tertuju pada wajah cantik milik Rachel.

Dan Rachel kembali menutup mata Raynzal dengan tangannya.

Berakhir dengan kekehan yang terdengar dari mulut Raynzal.

"Mataharinya udah mau turun dikit lagi, Zal. Nanti kamu foto buat Rachel ya?" Raynzal hanya bergumam singkat. Ia menyingkirkan tangan Rachel dari wajahnya.

Hal itu lantas membuat Rachel menatapnya. "Kenapa?"

"Kamu cantik,"

"Zal, langitnya udah sedikit mendung!" Ujar Rachel excited. Tidak menggubris perkataan pacarnya barusan.

Memang, impian Rachel seumur hidupnya adalah duduk di roftoop sembari melihat matahari terbenam. Momen itulah yang paling mengesankan menurutnya.

"Foto, Zal," pinta Rachel yang langsung dituruti Raynzal. Ia langsung mengarahkan ponselnya ke arah yang ingin di foto.

Raynzal mengambil beberapa jepretan, lalu melihat satu persatu hasilnya.

"Nih, bagus," katanya seraya memberi ponselnya pada Rachel.

Rachel melihatnya. Ia pun tersenyum setelah itu. Senyum yang dapat ditangkap oleh kedua bola mata Raynzal—yang refleks membuatnya merasa candu.

Ia menghela napas, mengarahkan pandangannya ke depan—sehingga menyisakan beberapa detik yang sangat canggung baginya.

Memikirkan kata-kata yang pas untuk memulai obrolan yang dari malam sudah direncanakannya.

Dalam hati ia berkata, bilang gak ya? Bilang gak ya?

Raynzal tidak pernah setakut ini. Namun menyadari fakta bahwa Rachel bukan gadis biasa membuat dirinya bimbang setengah mati.

Ya, Rachel terlalu cantik untuknya. Sedangkan Raynzal tidak seberapa.

Pandangannya kembali beralih pada gadisnya. Belum sempat ia berbicara, suara tiba-tiba Rachel terdengar. “Nanti di lain waktu Rachel mau kesini lagi ya,”

RAYNZAL ANGKASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang