Pintu seng itu digedor dari luar dengan kejamnya. Ya kejam, karena apa salahnya benda itu kena amukan massa diluar yang sedang berdiri mengantri dengan handuk terlilit, rambut di rol dan gayung pada tangan mereka.
"Ra, buruan dong. Kebelet bok*r nih gue." Jerit Meri dari pintu
"Tahu lo Ra." Sahut Tina.
Dara yang keluar dari bilik mandi kecil dan sempit itu juga sama kesalnya. "Heh, gue baru aja masuk lima menit udah pada lo tereakin. Noh tuh si Mba Nani disebelah lo tereakin juga sana."
"Mana berani dia, cicilan dasternya belum lunas." Tina mendelik ke Meri yang tambah kesal.
"Misi, misi. Berisik lo semua." Meri langsung masuk dan menutup pintu.
Dara hanya menggelengkan kepalanya.
Ini adalah awal mula harinya. Bangun lebih pagi, sehingga dapat giliran pertama mandi di toilet yang dipakai bersama. Hanya tersedia dua bilik disana untuk melayani lima belas pintu kos-kosan satu kamar yang sebulan sewanya benar-benar mencekik leher.
Dalam satu kosan sempit itu bisa diisi oleh dua orang yang berprofesi berbeda. Misal Asep si tukang bubur tidak akan berada di kosan dari pagi sampai menjelang sore. Dia berbagi tempat dengan Maman si tukang nasi goreng yang akan keluar sore hingga subuh nanti. Dara cukup beruntung karena dia sendirian, sekalipun dia sudah mulai berpikir juga untuk berbagi.
Tapi dengan siapa? Meri si mulut comberan yang kerjaannya gossip sana-sini? Atau Nani si SPG kaleng dengan segudang barang di kamarnya untuk dijual dengan harga tidak masuk akal. Barang itu entah darimana asalnya. Tina sebenarnya baik, tapi pekerjaannya yang sering menerima laki-laki masuk kedalam kamar kos membuat Dara bergidik ngeri.
Dara sudah siap dengan kaus dan jinsnya. Ya sekalipun ini bukan pekerjaan dengan gaji besar, tapi ada uangnya. Tidak banyak, hanya cukup saja. Dan cukup itu baik. Ditambah lagi Dara senang melakukannya.
***
"Selamat pagi adik-adik semuaaaa." Sambut Dara dengan senyum sumringah.
"Hai Kakak Daraaaa."
"Hayok kita beresin bareng-bareng kamarnya dan langsung mandi yang belum mandi. Sarapan yang belum sarapan daaaan belajaaaaar."
Anak-anak panti itu tertawa melihat tingkah laku Dara. Ada yang berlari karena Dara kejar. Ada juga yang malah tambah tenggelam diselimutnya.
"Untung ada Dara ya Bu." Yani menoleh ke Ibu Sri si pengurus panti.
"Iya, anak itu baik dan nggak neko-neko. Tapi lihat deh diluar, sepatu Dara sudah robek." Ibu Sri mengernyit memikirkan itu. "Emang gajinya kemana ya?"
"Kemarin Dara beliin Yasa sepatu Bu. Karena sepatu Yasa rusak total dan nggak bisa dipakai lagi. Ibu mangkanya telpon Mba Aimi dong. Mba Aimi marah lho Bu kalau kita nggak bilang hal-hal begitu."
Ibu Sri menghela nafasnya. "Saya nggak mau merepotkan Mba Aimi yang sedang sibuk dengan persiapan nikahnya Yan. Nggak enak saya. Sudah terlalu banyak Mba Aimi bantu wujudkan mimpi saya Yan."
"Iya Bu, Yani paham, tapi tetap aja Ibu harus bilang. Soal Dara kerja disni juga Ibu belum bilang kan? Malah pakai uang Ibu sendiri buat gaji Dara. Ibu itu tinggal telpon Mba Aimi Bu. Dia pasti ngerti. Dana rutin yang dia kirim hanya cukup buat kegiatan operasional kan?"
"Assalamualaikum." Tangan Aimi mengetuk pintu lalu dia masuk.
"Wa'alaikum salam. Alhamdulillah yang dibicarakan datang." Wajah Yani tersenyum cerah. Lengannya langsung disikut oleh Ibu Sri.
"Ibu dan Mba Yani apa kabar? Maaf banget aku baru mampir ya." Aimi mencium tangan Ibu Sri dan menempelkan pipi dengan Yani.
"Baik. Kita baik Mba Aimi. Persiapannya bagaimana Mba? Kok Mas Prasetyo nggak diajak?"
"Baik, persiapannya lancar. Tio sedang diluar kota jadi titip salam saja."
Yani memutuskan untuk mengambil kesempatan ini. "Mba, saya mau laporan boleh?"
"Oh boleh. Justru itu saya kesini mau nengok dan sekalian cek."
Ibu Sri berbisik pada Yani. "Yan, nggak usah ngomong Yan. Nggak enak."
"Nggak enak dikasih kucing aja Bu."
***
Aimi sudah mendengarkan penuturan Yani tentang Dara. Gadis itu sudah berdiri dihadapannya di dalam kantor panti.
"Ada apa Bu? Ibu panggil saya?" Dara berujar pada Ibu Sri yang duduk diantara Yani dan Aimi. Dia pun juga duduk di bangku berhadapan dengan mereka.
"Ini Mba Aimi Ra, yang punya panti ini."
"Bukan, Ibu Sri yang punya panti dan saya hanya bantu saja." Aimi tersenyum.
"Hai Mba. Saya Dara."
Aimi tersenyum. Mata Dara yang berwarna coklat terlihat dari tempat Aimi duduk, indah sekali. Pakaian anak ini seadanya, rambut panjangnya dikuncir tinggi. Wajahnya menarik. Bukan wajah yang akan langsung membuat mata menoleh kagum, tapi wajah sederhana yang tidak membosankan. Dan senyumnya, lebar dan tulus. Aimi suka sekali.
Tiba-tiba ada ide dibenak Aimi. Ide bagus yang bisa membantu semua orang dan tidak menyinggung Ibu Sri. Lalu Aimi tersenyum dan mulai berbicara menjelaskan pada Yani, Ibu Sri dan Dara sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling for You - TERBIT
RomanceApa susahnya mencari pengganti? Apalagi ini hanya sekertaris pengganti. Bukan istri atau pacar pengganti kan? Lalu kenapa dia bisa berakhir disini? Bersama gadis konyol yang selalu mengganggunya setiap hari. Bukan hanya tatapan polos atau senyum jen...