Dara bangun lebih pagi lalu segera mandi dan berpakaian. Pakaian? Duh dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Membuka isi kardus tempat dia menyimpan pakaian yang sudah dia gosok dan lipat rapi.
Hanya ada lima helai atasan dan dua buah celana. Tiga atasan adalah baju yang biasa dia gunakan ke panti. Kaus yang kondisinya masih lumayan. Sedangkan dua lainnya adalah baju yang lebih tidak layak lagi, baju tidurnya. Lagi-lagi kaus dengan robek sana-sini.
'Okey, kayaknya mesti ke Mba Nani nih.'
Dara sudah sampai didepan pintu kos Nani yang jaraknya hanya beberapa langkah dari kamarnya sendiri. Tangannya mengetuk tidak sabar.
"Apa sik? Pagi-pagi buta gangguin aja!!" Nani membuka pintu sambil marah-marah. Persis seperti Ibu Surti ketika menagih uang kosan.
"Mba, punya kemeja nggak?"
Wajah Nani langsung berubah drastis. Senyumnya sumringah karena tahu Dara akan jadi pembeli. "Oh, kamu mau beli Ra? Tumben. Biasanya kamu paling nggak demen kalau saya dagang." Nani berujar sambil mempersilahkan Dara masuk.
"Mba, saya mah demen-demen aja. Tapi kalau nggak butuh gimana?" Dara melangkahkan kakinya ke dalam kamar Nani.
"Nih, seratus rebu kalau sekali bayar. Dua ratus rebu cicil dua kali. Tiga ratus rebu cicil empat kali." Nani sudah menjejerkan beberapa pilihan kemeja di kasur bawah lantai.
"Haah? Mahal amat Mba."
"Yee, kalau nggak mau ya udah."
Dara duduk di lantai sambil mengamati beberapa pilihan kemeja dihadapannya.
'Hitam itu aman, professional. Tapi bahannya panas, gerah. Kuning? Ih norak. Putih? Cepet kotor. Merah? Ya ampun, ada tulisan dibelakangnya. Ogah.'
"Yang ini Mba." Dara langsung membayar kontan. Ya, itu uang terakhirnya. Minggu ini. Sepertinya celengan darurat harus dibongkar lagi untuk ongkos.
"Ra, nyicil aja, emang kamu nggak butuh buat yang lain?"
'Yeee, dasar rentenir. Cicil terus bayar empat kali lipet. Ogah.'
"Masih cukup kok Mba. Tenang aja." Dara tersenyum dan langsung kabur dari kamar Nani.
***
Nathalia suka sekali datang pagi. Dia sudah terbiasa. Sebelumnya pasti dia mampir ke kedai kopi langganan dan membawa kopinya itu di kantor untuk dia nikmati sambil membaca email-email penting dan menyusun jadwal. Dia sudah cukup lama bekerja untuk Darusman grup dan hubungannya dengan Rafi baik sekali. Dia benar-benar kagum dengan bagaimana Sanjaya Darusman memimpin perusahaan ini, juga Rafi. Bos-bosnya itu sangat menghargai karyawan-karyawan yang ada. Nathalia tidak pernah kesulitan untuk mengajukan ide-ide baru untuk lebih mensejahterakan karyawan.
Biasanya hanya akan ada beberapa office boy dan cleaning service yang sudah datang. Tapi pemandangan pagi ini sungguh membuatnya geli.
"Dara?"
"Eh, pagi Mba." Yang dipanggil menengok sambil tersenyum.
"Kamu ngapain?" Nat tersenyum geli melihat Dara yang masih memegang kain pel.
"Oh ini, namanya Siti Mba. Dia orang baru jadi masih belum tahu cara peras kain pel pakai alat ini. Jadi saya bantu dan ajarkan."
"Emang kamu bisa?"
"Emang mba nggak bisa? Ini gampang lho Mba dan lebih praktis. Jadi tangan kita juga nggak kotor."
Nat tertawa terbahak-bahak melihat tingkah Dara dan ekspresi wajahnya. "Siti, kamu cari Pak Tino ya. Minta dia yang ajarkan. Dara, kamu ikut saya."
***
Diruangan Nathalia. Nat sudah duduk berhadapan dengan Dara.
"Dara, kamu tahu nggak tugas kamu apa?"
"Bantu Pak Rafi."
"Kamu tahu Rafi siapa?"
"Kakaknya Mba Aimi pengurus panti tempat saya bekerja sebelumnya." Sahut Dara, karena dia memang tidak tahu apa posisi Rafi.
Nat tersenyum. Nada suara Dara yang polos dan jujur sungguh enak didengar. Dia jarang sekali menemukan hal-hal seperti ini. Mungkin Rafi benar, Dara tidak akan bertahan lama.
"Nama bos kamu Muhammad El Rafi Darusman. Panggilannya memang Rafi. Dia itu pemilik perusahaan ini Ra."
Dara menelan salivanya sendiri. "Maksudnya dia manager ya Mba?"
"Dara, Rafi itu presiden direktur." Nat sengaja tidak membahasakan sebagai CEO. Mana Dara tahu nanti.
Dara hanya diam, mengerti bahwa dia benar-benar akan berada di dunia yang sama sekali berbeda dari dunianya sendiri.
"Kamu itu sekertarisnya dia. Kemarin saya sudah jelaskan ya tugas sekertaris itu apa."
Dara masih diam, mencoba berpikir logis. Sungguh dia sangat membutuhkan pekerjaan ini. Uangnya bisa dia gunakan untuk membantu adik-adik panti atau dia bisa tabung hingga dia bisa bersekolah lagi. Tapi saat ini ada perasaan ragu yang kuat didalam hatinya. Ini bukan dunianya.
"Mba Nat, maaf. Tapi apa saya cocok dipekerjaan ini? Maksud saya, saya terimakasih sekali dengan semua orang yang ingin bantu saya. Tapi saya mengerti mungkin ini bukan tempat saya Mba."
Nat baru sadar bahwa warna mata Dara indah sekali. "Ra, dulu saya juga merasa seperti itu. Ketika lihat orang yang lebih tinggi, lebih kaya, lebih cantik. Saya minder dan merasa tidak bisa apa-apa." Nat memberi jeda. "Tapi tahu nggak? Mama saya bilang, segala sesuatu yang terlihat mata itu bisa dikerjakan. Kalau mereka bisa, saya juga bisa."
Binaran mata Dara makin berkilau. Sungguh dia ingin menangis. Apa yang Nathalia katakan persis seperti apa yang diajarkan ayahnya dulu. Persis sekali.
"Ra, kamu nggak apa-apa?"
Dara tersenyum. "Eh iya Mba, nggak apa-apa." Dara menggelengkan kepalanya mengusir titik bening itu.
"Dara, tenang aja. Ada saya dan dua kali dalam seminggu Martha akan datang untuk mengajarkan kamu sementara ini. Martha itu bosnya sekertaris disini. Tapi dia baik, cuma memang orangnya tegas. Jadi kami juga akan bantu. Tapi kamu harus tahu posisi kamu dan tugas-tugas utama kamu. Okey?"
Mata Dara terpejam sejenak, dia seperti sedang memantapkan keputusannya dalam hati. "Okey Mba. Saya coba dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling for You - TERBIT
RomansaApa susahnya mencari pengganti? Apalagi ini hanya sekertaris pengganti. Bukan istri atau pacar pengganti kan? Lalu kenapa dia bisa berakhir disini? Bersama gadis konyol yang selalu mengganggunya setiap hari. Bukan hanya tatapan polos atau senyum jen...