Apa susahnya mencari pengganti? Apalagi ini hanya sekertaris pengganti. Bukan istri atau pacar pengganti kan? Lalu kenapa dia bisa berakhir disini? Bersama gadis konyol yang selalu mengganggunya setiap hari. Bukan hanya tatapan polos atau senyum jen...
Seseorang menyentuh pundaknya lembut. Wangi ini, wangi yang dia suka.
"Mikirin apa sih Bang?"
Rafi merangkul adiknya mendekat. Mereka berdua sedang berada di balkon tempat tinggal Rafi di salah satu hotelnya.
"Aku masih nggak paham, soal Reyna dan Yuda."
Aimi tersenyum. "Don't ever try to explain your heart in a logical way. It will fail."
"Akal dan logika adalah sesuatu yang jelas dan lebih pasti. Sedangkan teori soal cinta, itu absurd."
"Buat kamu aneh, karena kamu berusaha mengkorelasikan cinta dengan logika. Cinta itu pakai hati Bang, disini tempatnya." Aimi memegang dada Rafi. "Bukan disini." Aimi menyentuh kepalanya sendiri.
"Kadang, memang kita juga harus pakai sedikit akal, biar nggak cinta buta. Tapi pada saat jatuh, banyak orang yang jatuh saja. Lupa dengan teori akal dan logika." Aimi menatap abangnya dari samping.
"Lagian kamu ngapain pusing-pusing Bang. Kan itu urusannya Yuda dan Reyna. Mereka happy aja sekarang." Aimi berujar lagi.
'Ini juga soal aku Yi, sepertinya ini juga soal aku. Alasan-alasan kenapa aku berubah dan banyak melakukan hal-hal diluar logika. Apalagi setelah kejadian di pantai, atau di kamar mandi sialan itu. Atau bagaimana aku selalu marah sama Dara, padahal sebenarnya aku marah dengan diriku sendiri. Sial!!'
"Gimana kabar Dara?" Aimi membuka pembicaraan yang lain yang Rafi tidak suka.
"Menurut kamu?"
"Aku denger dari Nat Dara masih survive sampai sekarang. Aku kaget juga, sekalipun dari awal aku sudah tahu dia strong woman."
"Kamu tahu asal-usulnya?"
Aimi tertawa. "Aku bukan tipe orang paranoid yang suka back ground check Bang. Tapi...waktu aku lihat matanya. Aku tahu dia jujur, baik, kuat, percaya diri. Dia hidup dibawah garis kemiskinan Bang, dari kecil. Tapi masih bisa senyum dan gembira begitu. Berbaik hatilah sama dia Bang. Nat telpon aku kemarin, katanya kamu keras banget sama Dara."
"I do what I need to do, not what I want to do." Rafi sudah ingin beranjak pergi.
"You are too hard to yourself Bang. You always like that. Let loose...give yourself a break. Aku sudah punya Tio, Yuda sudah ada Reyna. Istirahat Bang, kamu nggak perlu selalu jadi penjaga kita semua. Do what you want, not what you need. Enjoy it and be happy Bang."
"Nice talk. Istirahat Yi, sudah malam." Rafi mencium kening Aimi lalu pergi meninggalkannya. Sebelum dia mulai tenggelam lagi dalam perasaannya yang absurd ini.
Ini kalau ada yang lupa Aimi kayak apa ya atau kalau ada yang belum baca a hundred rumors, inilah penampakan Aimi adik nya Rafi kembarannya Cynthia.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
***
"Kopi saya mana?" Dara masuk keruangan dan itu pertanyaan pertama dari atasannya.
"Oh, saya pikir Bapak nggak mau karena nggak enak."
"Jadi kalau nggak enak, kamu berhenti bikin? Kalau saya bilang laporan yang kamu buat salah, kamu nggak betulin laporan itu? Kamu nyerah?"
Dara menghela nafasnya. "Iya Pak, saya buatkan." Dara beranjak keluar ruangan.
"Ingat, bos kamu itu saya. Bukan Hilman atau Nathalia."
***
"Saya perlu tiket ke Medan PP a.s.a.p."
"Iya Pak." Dara segera menghubungi travel langganan kantor mengurus tiket bosnya.
Beberapa jam kemudian Dara sudah mengirimkan tiket itu via email ke ponsel Rafi. Lalu telpon dimejanya berdering.
"Kenapa baliknya ke Jakarta? Saya ada meeting di Singapore setelah itu. Apa kamu nggak lihat jadwal saya?"
"Bapak bilang pulang pergi tadi."
"Saya tahu apa yang saya bilang Ra. Nggak perlu ngajarin saya, memangnya kamu siapa?"
Ya, Dara selalu salah. Jika Dara benar, kembali ke pasal pertama. Semua deraan itu Dara abaikan, toh yang dia dengar pernikahan Mba Aimi sudah makin dekat. Jadi dia hanya perlu bertahan sebentar lagi setelah itu semua kembali normal.
Uang gajinya beberapa bulan ini sudah dia tabung dan lebih dari cukup untuk melanjutkan sekolah. Dia ingin menjadi sarjana, mewujudkan impian almarhum ayah ibunya. Memang dia sudah tidak muda, tapi belajar itu tidak mengenal batas usia kan? Jadi dia sudah mendaftar ke salah satu universitas jalur beasiswa. Mungkin dia bisa kuliah sambil bekerja lagi nanti. Bekerja apa saja, seperti dulu lagi. Ya, karena rasanya pekerjaan mahal seperti ini menyesakkan, karena dia berulang kali disepelekan dan dihina.