Rafi kembali ke hotel dengan celana masih setengah basah dan hati yang resah. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam saja. Ya, Rafi berhenti bicara. Karena sungguh, jantungnya bertalu-talu tidak mau diam.
Dara juga diam saja, merasakan kecanggungan yang sama. Sekalipun Dara tidak paham bahwa Rafi sedang gugup sekali. Dara berpikir, Rafi tiba-tiba memiliki suatu hal yang penting dan dia baru ingat saat di pantai tadi. Tidak ada dalam pikirannya bahwa sesungguhnya bosnya itu sedang memikirkan dirinya, tawanya, dan apa yang hampir terjadi di pantai tadi.
"Bapak mau saya pesankan makanan?" Dara berujar pada Rafi sebelum mereka berpisah menuju kamar masing-masing.
"Nggak perlu." Wajah Rafi datar sekali. Dia berusaha tidak menatap Dara.
"Celana Bapak basah, jangan lupa diganti nanti bisa masuk angin." Dara memperhatikan celana Rafi.
Rafi diam saja lalu beranjak lebih dulu, dia tidak mau merasakan apa yang dia rasa sekarang. Tidak mau.
Malamnya di kamar.
Matanya masih menatap layar laptop. Sudah pukul 10 malam dan perutnya belum diisi kecuali dengan secangkir kopi. Dia belum sempat membaca pesan-pesan yang masuk di ponselnya. Karena setibanya di kamar, dia langsung duduk bekerja. Berusaha melupakan apa yang terjadi tadi.
Lalu dia mengambil ponsel itu. Ada kiriman foto dari tim di Yogyakarta. Foto kunjungannya beberapa hari yang lalu. Sosok itu ada disana. Daranindra, sekertarisnya. Tersenyum manis dengan setelan kerja, berdiri persis disebelahnya. Tangannya sudah memperbesar foto itu, agar dia bisa melihat lebih dekat, menyentuh wajahnya sekalipun hanya di foto saja.
Kenapa dia jadi begini? Sejak kapan dia begini? Bagaimana bisa dan kenapa Dara? Dia juga banyak sekali menghabiskan waktu dengan Martha, atau Nathalia. Lebih banyak bahkan, hampir seperti seumur hidupnya dia bersama dua wanita itu. Tapi kenapa tidak terjadi apa-apa?
Pikirannya sudah melayang pergi, tidak perduli dengan angka-angka yang masih menyala di layar laptop. Punggungnya sudah dia senderkan ke kursi kerja. Kata-kata Mamanya dulu berputar lagi. Martha atau Nathalia, nikahi salah satunya.
Martha. Wanita itu memang kaku sekali, mungkin sama seperti dirinya sendiri. Jadi sungguh tidak mungkin dia menjalin hubungan selain pekerjaan dengan Martha. Sekalipun Martha sudah bekerja dengannya belasan tahun lamanya. Tapi itu tidak menumbuhkan apapun kecuali rasa percaya dan hormat. Titik. Hanya sebatas itu.
Lalu apa kurangnya Nathalia? Wanita itu sempurna. Cantik, sopan, pintar, elegan, datang dari keluarga baik-baik. Ayahnya bahkan menyukai Nathalia sejak dulu. Tapi Rafi tidak merindukannya jika Nat tidak ada, Nat juga tidak bisa membuat dia tertawa seperti Dara, atau membuat dia gugup seperti tadi.
Tangannya mengangkat ponsel. Mungkin ini harus dicoba.
"Hai Nat."
"Hai Raf. Ada apa? Tumben kamu telpon jam segini."
"Kamu lagi apa?"
"Hm? Maksudnya?" Sahut Nat bingung.
"Ya kamu lagi apa sekarang?"
"Nggak lagi sibuk kok. Mau discuss Mandalika lagi?"
Rafi tertawa tiba-tiba. 'Lihat kan? Nathalia juga tidak merasakan apa-apa? Pikiran wanita itu sama dengannya. Pekerjaan atau paling jauh hubungan pertemanan. Tapi mungkin, dia akan menanyakannya nanti pada Nat.'
Rafi menghela nafasnya. "Good night Nat. Besok saja kita discuss lagi. Aku tiba-tiba harus telpon yang lain."
"Oke."
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling for You - TERBIT
RomanceApa susahnya mencari pengganti? Apalagi ini hanya sekertaris pengganti. Bukan istri atau pacar pengganti kan? Lalu kenapa dia bisa berakhir disini? Bersama gadis konyol yang selalu mengganggunya setiap hari. Bukan hanya tatapan polos atau senyum jen...