"Da, lo balik kampung berapa lama sih? Jangan lama-lama dong." Dara membantu Ida melipat pakaiannya dan memasukkannya ke tas. Dia mulai diserang rasa cemas karena Ida akan pergi dan dia akan sendiri. Ketika dia sendiri, maka semua bayang-bayang atau ingatan tidak pantas dengan mantan bosnya itu akan kembali menyiksanya lagi.
"Kan mumpung liburan semester Ra dan baru dapet bonus. Jarang banget tuh dua kebahagiaan jadi satu. Lagian Mas Don setuju gue cuti kok. Lo ikut aja gimana?"
Dara menggeleng perlahan.
"Kan udah dapet beasiswa penuh Ra. Lo nggak perlu lagi cari kerja tambahan liburan gini. Nikmatilah hidup sekali-kali. Liburan Ra. Katanya lo pingin ke pantai?"
Dara tersenyum. "Gue tetep mau kerja lah Da. Satu, gue pasti bosan banget kalau nggak ngapa-ngapain, dua, uang itu bukan buat dihamburkan. Tapi disimpan buat masa depan. Roda gue kan banyakan dibawahnya daripada diatas kayak sekarang. Jadi uang tabungan gue buat menjaga rodanya nggak dibawah banget, disamping lah paling nggak."
Ida tertawa mendengar analogi Dara. "Iya juga sih. Terus lo gimana? Jadi ambil tawaran Pak Andre di kantor pusat kemarin?"
Dara diam sejenak. "Menggoda banget sih sebenernya. Mba Kemala sekertarisnya emang baru aja cuti hamil, jadi dia butuh sekertaris sementara. Mas Don lagi pake bilang-bilang soal pengalaman kerja sekertaris gue di kantor lama, jadi deh si Bos tambah sumringah. Padahal nggak tahu deh gue masih bisa apa nggak jadi sekertaris."
"Lo itu ya, udah lebih tua dari gue, tapi masih aja pikirannya begitu. Pengalaman ada, surat rekomendasi ada, kesempatan ada, kebutuhan lo juga ada, masih aja nggak PD. Aneh."
"Ambil aja Ra. Gajinya dua kali dari jadi kasir. Lagi liburan gini. Bagus-bagus kalau tu kerjaan bisa disambi kuliah nanti. Jadi tabungan lo makin banyak. Cuti hamil itu 3 bulan kan? Nah siapa tahu Pak Andre mau perpanjang sampe Mba Kemala masuk, jadi nggak cuma liburan semester doang."
Dara menghela nafasnya. "Iya deh. Lo ada benernya juga. Tapi lo cepetan pulang ya. Gue nggak enak sendirian di kamar kos begini."
"Iya iya."
***
Ini sudah hari ketiga, dan semuanya baik-baik saja. Baik dalam arti sebenarnya. Bosnya, Pak Andre adalah laki-laki yang berusia hampir akhir 40. Perutnya tambun, lucu. Beliau juga senang sekali tertawa. Hobi lainnya adalah makan. Ya Tuhan, sepertinya kapasitas perutnya itu besar sekali.
Kantor pusat yang dimaksud disini adalah bukan gedung tinggi yang mewah seperti di Jakarta dulu. Hanya gedung yang sudah agak tua, tiga lantai tanpa lift pastinya. Mas Don pun sangat mengerti dengan keputusan Dara dan ini yang meminta adalah Pak Andre, atasannya. Jadi sampai Kemala masuk, Dara yang akan menggantikan.
"Bapak manggil?" Dara sudah ada di ruangan Andre.
"Ra, saya harus meeting di Jakarta. Jadi...." Pintu diketuk, Ibu Winda istri Pak Andre dan seorang pemuda masuk.
"Assalamualaikum. Sedang apa suamiku?" Senyum Ibu Winda terkembang. Sedikitnya Dara penasaran juga, kenapa wanita cantik seperti Ibu Winda bisa bersuamikan seseorang seperti Pak Andre yang gempal ini. Sekalipun wajah Pak Andre memang kebapakan sekali dan hatinya baik. Oh, atau itu mungkin itu alasannya.
"Sayang, masuk. Ya, sudah datang kamu?"
Pemuda itu hanya tersenyum. "Wa'alaikum salam. Dijawab dong Yah salamnya Bunda." Dia lalu duduk di salah satu bangku.
Pak Andre terkekeh ringan sambil mengangguk. "Wa'alaikum salam sayang."
"Maaf Pak, saya permisi dulu."
"Eh jangan Ra. Sini aja. Sayang, ini Dara pengganti Kemala sementara." Kepala Andre menengok ke Winda istrinya. "Dara, ini istri saya yang paling cantik seluruh dunia dan juga anak saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling for You - TERBIT
RomansApa susahnya mencari pengganti? Apalagi ini hanya sekertaris pengganti. Bukan istri atau pacar pengganti kan? Lalu kenapa dia bisa berakhir disini? Bersama gadis konyol yang selalu mengganggunya setiap hari. Bukan hanya tatapan polos atau senyum jen...