Seperti biasa, Rafi datang pukul 7.30 pagi. Sebenarnya ini kebiasaan barunya. Beberapa bulan yang lalu dia selalu tiba di kantor pukul 9 pagi, bertahun-tahun lamanya. Lalu kebiasaannya berubah. Kenapa? Dia tahu dan benci alasannya.
Setelah meletakkan tasnya di ruangan, dia melangkah ke kamar mandi. Lalu ingatan itu kembali. Tentang bagaimana mereka berdua terjebak disini. Hanya lima menit, tapi rasanya waktu seperti berhenti. Dan sialnya, ingatan itu akan datang berulang-ulang, terus berputar seperti kaset rusak. Mengganggu waktu tidurnya, atau muncul saat dia meeting pagi, dan ini semua membuat dia gerah, resah, marah. Sepertinya dia harus merombak ulang kamar mandi.
Sudah jam 8.30, Dara belum tiba juga. Kopinya juga tidak ada di meja. Rafi berkali-kali menghubungi ponselnya. Tapi tidak aktif. Lalu dia mengecek jadwalnya sendiri sambil bersungut kesal.
Jam 11.30. Dia baru saja menyelesaikan meeting pertamanya dan benar-benar kaget karena Dara masih tidak ada di meja. Tangannya sudah memijit ponsel kesal. Masih tidak aktif. Lalu dia beralih ke Nathalia.
"Nat, Dara kemana sih?"
"Ada apa nyariiin Dara? Bukannya lo yang bolak-balik pingin pecat dia and you did it yesterday? Congratulation Raf."
"Kapan?" Rafi mengernyitkan dahinya. 'Saya tidak butuh kamu lagi.' Itu kalimatnya. Dia ingat sekarang. Lalu bagaimana gadis itu mundur dan mengucapkan terimakasih padanya. 'Ya Tuhan.'
"Bawa dia balik."
"Kenapa?"
"Ya gue mau lo bawa dia balik."
"Ya alasannya apa?"
"Ya karena Martha belum balik ke gue. Gue butuh sekertaris. Jadi lo harus bawa dia balik."
"Kalau gue bisa hubungi dia ya. Karena sebelum kerja di kantor kita, dia bahkan nggak punya ponsel, ingat?"
"Cari dari alamat KTPnya dong Nat."
"Itu alamat lama dia di kampung. Bukan di Jakarta."
"Pergi ke panti, dia pasti ada disana."
"Belum tentu."
"Suruh Niko cari, sampai dapat. Susah amat sih?" Rafi mulai kesal.
"Mangkanya, jangan suka semena-mena sama Dara." Nat memutuskan hubungan ponselnya.
***
"Ibu Sri dan Mba Yani. Maafin Dara kalau Dara punya salah selama ini ya. Dara pamit dulu."
"Kamu mau kemana Ra?"
"Saya mau sekolah Bu. Biar jadi sarjana." Dara tersenyum gembira. "Insya allah, Dara balik lagi nanti kalau sudah lulus. Dara akan telpon Ibu ya sesekali. Ibu jaga kesehatan."
Ibu Sri menatap anak itu bangga. Bagaimana tidak, sekarang ini Dara sudah mempunyai cukup uang untuk mengejar mimpinya. Padahal dulu, jangankan mimpi, uang makan esok hari juga belum tentu dia punya.
"Kami terimakasih juga ya Dara. Kamu udah bantu-bantu banyak disini. Belum lagi bulan lalu kamu belikan perlengkapan sekolah buat anak-anak. Mereka semua pasti sedih kamu pergi." Yani berujar sambil menahan tangis.
Yani mengingat bahkan saat awal Dara membantu di panti dia tidak dibayar sepeserpun. Tapi setiap hari Dara pasti datang sebelum kerja serabutannya yang lain di siang hari. Gadis itu selalu gembira, tidak pernah mengeluh. Lihat dia sekarang, pakaiannya lebih bersih dan pantas. Sepatu kets usangnya sudah diganti. Wajahnya bersih dan sumringah sekali. Lalu Yani memeluk Dara erat.
"Sama-sama Mba Yani. Dulu-dulu, Dara dibolehin makan disini. Maaf ya kalau ngerepotin." Tangis Yani makin kencang.
"Tolong titip salam untuk Mba Aimi ya Bu. Maaf Dara nggak sempat pamit. Semoga acara pernikahannya lancar dan sukses."
Dara tersenyum pada dua orang yang sudah banyak membantunya ini di masa tersulitnya. Semua perlengkapan kantor sudah dia kembalikan ke Desi. Dara masih hafal benar jadwal meeting bosnya, jadi dia datang ke kantor saat Rafi sedang meeting tadi, lalu berpamitan ke panti. Setengah hatinya berat, tapi setengah hati lagi dia tidak sabar menunggu apa yang akan terjadi pada hidupnya nanti di tempat baru. Setelah melepaskan pelukan Yani, Dara berlalu.
***
Sorenya. Rafi tiba di panti.
"Assalamualaikum Bu."
"Wa'alaikum salam. Loh Pak Rafi tumben kesini. Mba Aimi mana?" Ibu Sri keluar dari arah dalam
"Oh Aimi dirumah Bu, nggak ikut. Apa Dara ada?" Rafi langsung to the point saja. Kepalanya sudah celingukan berusaha mencari sosok Dara didalam.
"Oh, Dara nggak pamit Pak? Tadi siang Dara datang dan pamit ke kita. Katanya dia mau lanjutkan sekolah. Duduk dulu Pak silahkan." Bu Sri sudah duduk di salah satu bangku teras.
Sesaat Rafi membeku. "Sekolah dimana Bu?" Lalu Rafi ikut duduk menghadap Ibu Sri.
"Oiya ya. Saya kok ya nggak nanya. Tapi kayaknya diluar kota Pak. Soalnya Dara bawa tas besar-besar begitu."
"Ibu yakin dia sudah berangkat?"
"Sudah Pak. Orang pakai ransel segala tadi pagi."
"Ibu tahu rumah Dara?"
Ibu Sri tersenyum miris. "Dara nggak punya rumah Pak Rafi. Dia tinggal dikosan gang sempit dua puluh menit dari sini. Baiknya, Pak Rafi suruh orang aja kesana. Jangan kesana sendiri. Apalagi berpakaian seperti itu. Ini saya saran saja." Ibu Sri menatap Rafi dengan setelan jasnya.
"Memangnya kenapa Bu?"
"Daerahnya berbahaya. Banyak preman disana."
"Kok bisa Dara tinggal ditempat begitu? Gajinya harusnya cukup."
Ibu Sri tersenyum lagi memaklumi. "Nggak semua orang itu beruntung Pak. Apalagi Dara. Dari kecil sudah nggak punya orangtua. Alhamdulillah dia masih bisa sekolah sampai SMA karena dibiayai salah satu gurunya. Habis itu dia kerja serabutan buat sambung hidup. Kerja apa saja. Sampai ketemu saya dan saya minta dia bantu-bantu di panti. Mimpinya itu mau jadi sarjana. Karena itu permintaan orangtuanya. Tiap hari kerjaannya baca buku saja. Kadang sampai malam sekali. Ya mungkin, dia tabung itu semua gajinya jadi dia bisa sekolah lagi. Jadi dia nggak pindah dari situ."
"Apa Ibu benar-benar nggak tahu Dara kemana?"
Ibu Sri menggeleng sambil menatap mata Rafi yang menerawang jauh.
***
Keesokan harinya didalam ruangan kantor. Harusnya Niko sudah punya kabar untuknya.
"Gimana dengan Imran?" Laki-laki itu."
"Dia sudah pergi ke Lampung seminggu sebelum Dara pergi.
"Cek universitas disana."
"Oke."
Hubungan disudahi. Tubuhnya dia senderkan ke kursi. Matanya terpejam, berusaha mengusir wajah gadis itu. Bagaimana dia tertawa, senyum konyolnya, lalu wajah pucatnya, lalu matanya itu. Dia bahkan tidak mau melihat sosok gadis itu ketika pergi. Dari seluruh wanita yang ada di dunia, kenapa dia.
***
Yak silahkan, kalau ada yang mau nyorakin Bapak El Rafi, diperkenankan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling for You - TERBIT
RomanceApa susahnya mencari pengganti? Apalagi ini hanya sekertaris pengganti. Bukan istri atau pacar pengganti kan? Lalu kenapa dia bisa berakhir disini? Bersama gadis konyol yang selalu mengganggunya setiap hari. Bukan hanya tatapan polos atau senyum jen...