"Apa itu?" Rafi mengernyitkan wajahnya melihat ransel besar Dara. Mereka baru saja tiba di bandara. Sebelumnya Dara memang meletakkan ranselnya di bagasi mobil, jadi Rafi tidak tahu.
"Ransel Pak."
"Ini business trip Dara, bukan mau ke mall."
Dara tersenyum. "Ransel ini bukan jenis yang bisa dipakai ke mall juga sih Pak sebenarnya. Tapi ini anti air."
Rafi menggelengkan kepalanya. "Ikut saya."
Setelah urusan dokumen terbang selesai, mereka tiba di travel shop dalam bandara yang menjual koper segala jenis ukuran.
"Cari apa Pak?" Pelayan toko wanita langsung menghampiri dengan sigap.
"Samsonite yang light. Cabin size, hitam." Rafi berujar cepat.
Sang wanita membawa dua pilihan lalu Rafi menunjuk salah satunya cepat dan segera pergi ke kasir untuk membayar. Dara hanya melihat saja tanpa bisa berbuat apa-apa.
Mereka sudah berada di pesawat jet pribadi keluarga Darusman. Dara benar-benar selalu harus mencubit dirinya sendiri untuk mengingatkan bahwa dia masih di bumi. Bagaimana tidak, lihat dimana dia sekarang. Pesawat jet pribadi. Dara bahkan tidak pernah bermimpi bisa naik pesawat kelas ekonomi. Dia hanya melihat hal-hal seperti ini dalam TV saja, ketika dia sedang bekerja paruh waktu. Salah satu artis ibukota yang cetar membahana itu yang sering naik pesawat macam begini.
Atau lihat bosnya itu. Seingat Dara, bosnya itu selalu terlihat sempurna. Tubuhnya tinggi atletis, kulit kecoklatan, rahang kuat dengan wajah aristokratnya. Setelan jasnya selalu licin, rapih tidak perduli jam berapapun itu. Juga rambutnya yang selalu on fleek. Atau wangi tubuhnya yang tidak berlebihan namun benar-benar maskulin, seolah menyempurnakan penampilan laki-laki itu. Semuanya sempurna dan itu berlebihan untuk seseorang seperti Dara.
Sebelumnya Dara percaya bahwa laki-laki dalam majalah atau iklan di TV atau papan iklan di jalan hanya ada disana saja. Tidak berwujud nyata. Apalagi dia bisa bekerja pada salah satunya. Sungguh itu sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Tapi saat ini, apa-apa yang dia lihat dengan mata kepalanya sendiri, di jarak sedekat ini benar-benar sering membuat nafasnya sesak. Sesak karena rasanya tidak nyata, sesak karena realita yang dia alami sendiri tentang betapa kejamnya hidup terkadang.
Bagaimana tidak, satu kali lunch meeting bisnis bosnya adalah setara dengan biaya hidupnya dua minggu. Dara kerap kali berdecak kesal melihat angka-angka itu didepan matanya. Apalagi melihat tagihan kartu kredit bosnya. Jangan ditanya apalagi dibayangkan. Jadi biasanya setelah selesai membayar semua tagihan bosnya Dara hanya bisa mengurut dada dan banyak-banyak beristigfar. Semoga bosnya itu tidak lupa bersedekah setiap bulan.
"Duduk Ra. Sampai kapan kamu mau berdiri?"
Dara tersadar dari lamunannya, kemudian mengangguk dan mengambil posisi duduk disebelah Rafi.
Tubuh gadis itu gelisah, Rafi tahu. Karena tangan Dara mulai meremas pinggiran roknya. Kebiasaan gadis itu ketika sedang resah. Pesawat memang sudah mulai bergerak dan sedang bersiap lepas landas.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Saya..." Dara menelan salivanya gugup. "Saya belum pernah naik pesawat terbang."
"Tarik nafas Dara, ini hanya sebentar saja. Setelah di udara, semua akan terasa sama."
"Kalau pesawatnya jatuh?"
"Ya kebawah." Rafi tersenyum berusaha menenangkan Dara.
Dara tertawa kecil. "Tumben Bapak ngelucu. Itu lebih ajaib dari naik pesawat."
![](https://img.wattpad.com/cover/208172134-288-k718409.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling for You - TERBIT
RomansaApa susahnya mencari pengganti? Apalagi ini hanya sekertaris pengganti. Bukan istri atau pacar pengganti kan? Lalu kenapa dia bisa berakhir disini? Bersama gadis konyol yang selalu mengganggunya setiap hari. Bukan hanya tatapan polos atau senyum jen...