"Hai Nat. Sorry aku baru bisa telpon. Gimana Dara?"
"Beres. Nomor ponselnya aku udah kirim ya. Dia juga udah pegang nomor ponsel kamu.
"Bener bisa beres?"
"Besok aja kamu lihat." Nat diam sejenak. Dia ingat bagaimana tidak nyamannya Dara diajak berbelanja tadi, atau saat memilih ponsel Dara malah pilih yang paling murah yang ada. Sekalipun anak itu akhirnya mengalah karena Nat tidak mau kalah.
"Tapi Raf, Dara itu memang bukan dari kalangan menengah. Ini aku bilang menengah aja nggak ya. Aku nggak mau bikin dia nggak nyaman dan dia nggak jadi dirinya sendiri. Jadi kamu mesti lebih sabar Raf dan banyak maklum."
"Aku nggak punya waktu Nat, kamu tahu kan?"
"Kalau kamu punya waktu kamu udah punya istri sekarang Raf."
Rafi tertawa diujung sana. "You really sound like my mother. Okey thanks Nat. I know I can always count on you."
Ponselnya berkedip.
0811223***: Malam Pak. Ini nomor saya Dara. Hanya mengingatkan, Bapak ada dinner di hotel Marriot jam 7 malam ini. Terimakasih.
Rafi tersenyum. El Rafi: Ok.
Lalu dia menyimpan nomor itu. Daranindra.
***
Keesokkan paginya. Rafi masuk ke ruangan dan dengan segera mencium bau kopi favoritnya. Hmm...surga. Sejak Martha diculik oleh Aimi, Rafi sudah tidak pernah lagi menikmati kopi di pagi hari. Mungkin itu juga yang menyebabkan dia sangat temperamental terkadang.
Tubuhnya berbalik ke pintu dan memanggil Dara yang sudah duduk didepan ruangannya untuk masuk ke dalam.
Dia duduk di meja kerja dan tersenyum melihat kopi itu bertengger dimejanya.
"Bapak panggil saya?" Dara berdiri dihadapannya dengan tablet ditangan.
Wajah Rafi menatap Dara sejenak lalu dia memiringkan kepalanya sedikit. Harusnya ini Dara kan? Apa dia salah lihat? Mata Rafi memindai tubuh Dara.
Kepala Dara juga ikutan miring. "Ada apa sih Pak miring begini? Nggak pusing?"
Rafi berdehem canggung. "Nggak ada apa-apa."
'Kok perasaan kemarin dia nggak setinggi ini ya. Terus badannya bagus ternyata. Dia pakai rok selutut dan kemeja pas badannya jadi beda banget begini. Ya wanginya masih berdak bayi sih. Tapi postur badannya bagus, tingginya pas. Wajahnya terlihat lebih dewasa dengan setelan kerja. Jenis perempuan yang sekali dipandang mungkin biasa saja, tapi setelah diamati ternyata lama-lama menarik juga.' Ketika tersadar mata Rafi kembali ke laptopnya.
"Ini kamu yang bikin?" Rafi mulai menyeruput kopinya dan langsung menyadari ada yang berbeda. Kopinya pagi ini lebih enak rasanya. Apa karena dia sudah lama tidak minum kopi?
"Iya Pak. Semuanya ada di buku catatan Ibu Martha. Saya baca-baca semalam. Itu takaran gulanya saya kurangi sedikit Pak. Enak nggak?"
"Cuma gula yang kamu rubah?"
Dara mengangguk.
"Tangan kamu kenapa?" Rafi melihat salah satu jari Dara yang di plester.
"Oh ini." Dara menyembunyikan jarinya yang terluka pagi tadi karena terkena teko panas. "Nggak kenapa-napa Pak."
"Kalau saya tanya kenapa kamu nggak boleh bilang nggak kenapa-kenapa. Paham? Semua hal harus kamu bilang ke saya. Tidak boleh ada rahasia."
Dara mengangguk. Matanya berputar bingung.
"Jadi itu kenapa?"
"Itu, kena teko panas waktu bikin kopi."
"Teko panas? Urusannya apa sama teko panas?"
"Saya rebus air dibawah buat bikin kopi Bapak, terus tangan saya kena sedikit."
"Kan ada mesin kopi Ra. Ngapain rebus air segala."
"Saya belum belajar Pak. Nanti saya belajar dulu. Tapi harusnya kopi itu paling enak ya pakai air rebusan mendidih begitu. Jadi kopinya matang benar."
Dahi Rafi mengernyit. Mungkin itu ada benarnya, mangkanya rasa kopinya pagi ini lebih enak.
"Jadwal saya."
Dara mulai menjabarkan jadwal Rafi hari ini. Dari mulai berbagai macam jenis meeting, visit ke beberapa tempat dan lain sebagainya. Lalu dia mulai menjabarkan jadwal Rafi besok dan keesokannya lagi. Itu semua dilakukan oleh Dara tanpa sedikitpun membuka tablet yang dia genggam.
"Stop. Saya hanya tanya yang hari ini. Kamu hafal sampai berapa lama?"
"Satu minggu Pak."
"Pindahin yang jam 1 jadi jam 2.30. Saya jam 1 masih ada diluar makan siang dengan orang pemerintah. Mereka nggak suka diburu-buru. Mulai sekarang kamu harus ikutin saya kemanapun saya pergi. Selalu bawa ponsel, ipad dan buku kecil. Dengarkan dan perhatikan sementara ini. Kalau saya nggak tanya nggak perlu ngomong. Tidak ada telpon pribadi selama bekerja. Paham?"
"Iya Pak paham."
"Ya udah balik dulu ke meja, tolong panggilkan Hilman sekarang. Semua nama karyawan dan extention-nya ada di meja kamu."
Tubuh Dara berbalik terlalu cepat, lalu dia jatuh.
"Dara, pelan-pelan bisa? Kaki kamu kenapa?"
Dara meringis. "Belum biasa Pak pakai sepatu model begini." Tubuh Dara sudah berdiri lagi.
Rafi baru menyadari kaki Dara yang mengenakan sepatu high heel.
"Biasakan. Mulai besok setiap pagi naik lift dan berhenti 3 lantai dibawah lantai ini, lalu naik tangga dengan heels."
Mata Dara membelalak. "Ada peraturannya ya Pak?"
"Saya bos kamu. Saya yang bikin peraturan ini."
Dara mencebik sebal. 'Kejam.'
"Don't give me that look, dan kamu bilang apa tadi?"
Ups. Dara langsung cepat-cepat pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling for You - TERBIT
Lãng mạnApa susahnya mencari pengganti? Apalagi ini hanya sekertaris pengganti. Bukan istri atau pacar pengganti kan? Lalu kenapa dia bisa berakhir disini? Bersama gadis konyol yang selalu mengganggunya setiap hari. Bukan hanya tatapan polos atau senyum jen...