Gantung

1.3K 128 12
                                    

Jungkook pov..


**

Aku terbangun di pagi harinya dan dia sudah tidak ada. Disisi kananku.. dia pergi dengan meninggalkan map biru itu. Ku raih benda itu perlahan dan membacanya. Tanda tangannya sudah dibubuhi disana, dengan nama lengkapnya yang cantik. Tidak ada margaku lagi disana. Benar kan Jungkook, semua ini yang kau inginkan. Tapi kenapa rasanya sakit? Seperti sesuatu yang dicabut dari bagian dari dadaku. Aku merasa hatiku kosong. Kenapa?

Aku berusaha melupakannya dan segera bersiap untuk ke kantorku.

**

"Jimin-ah, kau dimana?" Tanyku sambil menelpon Jimin, sahabatku.

"Ke pub?"


**


Jimin pov..


Bodoh. Bodoh. Jeon Jungkook. Kalau bukan bodoh, kata kasar apa lagi yang pantas untuk dirinya? Brengsek? Ya, mungkin itu paling cocok. Bagaimana tidak aku menamainya seperti itu. Lihat saja kelakuannya, setelah istrinya menandatangani surat perceraian, dia memilih mabuk.

"Jihyo-yaa.. apa kau tidak sayang padaku, eoh? Kenapa kau dengan mudahnya menandatangani itu dan pergi? Kau tidak lihat dadaku terasa sakit sekali seperti ada yang mencabutnya."

Racauan si bodoh itu. Padahal dia yang meminta Jihyo untuk menandatanganinya. Dan dia sendiri yang curhat padaku kalau selama sebulan ini dia tidak nyaman dengan istrinya yang bisa melakukan segala hal seolah dirinya tidak berguna. Dan juga entah kenapa dia lebih tertarik dengan sekertarisnya. Ku akui sekertaris itu memiliki bokong yang besar, dan juga dia lebih muda. Namun, menurutku jika dibandingkan dengan istrinya, jelas kalah telak.

"Park Jihyoooo.. ani, Jeon Jihyo.. kenapa tega sekali padaku."

"Heh bodoh, yang ada dirimulah yang tega. Lalu sekarang kau mau apa hah?" Tanyaku yang masih waras ini.

"Park Jihyo, sayangkuu."

Dia masih memukul-mukul meja dengan keningnya. Sudahku bilang kan kalau dia ini bodoh.


**

Jihyo pov..

Hari dimana sidang dilaksanakan. Ketukan palu hakim akhirnya mengesahkan kalau kami bukan sepasang suami istri lagi. Jujur, selama dipersidangan inginku menangis seperti orang tuaku juga orang tuanya. Tapi itu tidak boleh terjadi, aku harus kuat. Sekuat tenaga aku menahan rasa kesedihanku.

Ketika kami kelur dari ruang persidangan. Ibunya tidak henti memelukku sambil menangis sesengukan, yang mau tak mau aku tidak bisa menahan rasa sedihku yang sudahku tahan sejak persidangan dimulai. Ibunya tidak henti mengeluarkan kata maaf untuk anak nakal laki-lakinya itu.

"Maafkan aku Jihyo-ya. Aku yang tidak becus mendidik anak nakal itu. Sesungguhnya, aku tidak rela kalian seperti ini. Aku tidak rela kau pergi, sayang." Ucapan ibunya membuatku selalu menggeleng

"Tidak ibu. Mungkin aku yang salah disini, aku tidak becus menjadi istri yang baik. Tidak becus merawat hubungan kami. Ibu tenang saja aku akan mengunjungi ibu jika ibu minta." Balasku sambil menangis juga.

Aku tidak sengaja melihat ayahnya yang mana mencoba untuk kuat. Beliau menahan tangisnya lalu membalikkan badan agar aku tidak melihat. Tangisku pecah melihat mantan ayah mertuaku. Seumur hidupku, aku tidak pernah melihatnya sedih seperti ini, apalagi sampai menitikkan airmata. Maafkan aku ayah yang telah mengecewakanmu..

**

Rumah yang kami tinggali dulu. Kami jual sesuai kesepakatan sidang. Jujur aku tidak mau menerima hasilnya karena rumah itu adalah hasil jerih payahnya sendiri. Aku tinggal dengan kakak dan adikku yang masih tinggal dikorea. Orang tuaku tinggal di uk. Sebelum mereka kembali, mereka menawariku untuk tinggal bersama mereka dan menjadi kewarganegaraan disana. Tapi, aku masih memikirkannya. Aku juga sudah memberitahu keluargaku kalau aku tengah mengandung, tidak untuk keluarganya dan dia. Karena semua ini adalah keinginannya, berpisah. Ku pikir jika aku jujur dan memberitahunya, aku akan menjadi beban dirinya lagi dan aku tidak mau hal itu terjadi.

cupcakes [Full, Pindah Ke Cupcakes 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang