"Kak, Papa sama Mama udah dua hari gak pulang. Ngapain, sih mereka?" tanya Leo dengan nada sedikit kesal. Hito tak menyahut, entah, rasanya malas saja menyahuti adik laknatnya ini, dan itu membuat Leo bertambah kesal. Ia beranjak hendak pergi dari rumah Hito. Dia pulang-pergi dari rumah Hito menggunakan motor matic-nya. Meskipun Leo baru berumur 13 tahun, tetapi perawakannya yang tinggi membuat dia tidak lagi terlihat seperti bocah.
Selama perjalanan Leo menggerutu kesal. Dia meng-gas motornya dengan kecepatan penuh, tak peduli bahwa jalanan kini ramai kendaraan. Saat setelah sampai di rumah, Leo masih tidak mendapati tanda-tanda kehidupan di sana. Rumahnya masih sepi, hanya ada asisten rumah tangganya. Dia masuk ke dalam, membanting pintu kuat-kuat. Semakin besar, dia merasa bahwa perhatian orang tuanya semakin hilang. Tidak ada Leo yang selalu di perhatikan, tidak ada Leo yang selalu di manja. Sekarang Leo harus menjalani hidup sendiri, sebab Ana dan Adi sering meninggalkannya seorang diri di rumah.
Leo menggeram kesal saat sudah sampai di kamarnya. Dia menatap marah dirinya dari pantulan cermin. "Makin gede, makin kayak orang terlantar!" seru Leo.
Tiba-tiba ponsel di sakunya berdering, dengan malas-malas, Leo mengangkat sebuah telfon dari nomor yang tidak dikenal. Namun, saat orang di seberang sana berujar, Leo seketika memekik syok.
"Apa?!"
***
"Kak, Kakak! Kak Hito!" Leo menggedor pintu rumah Hito yang terkunci dengan keras, tak peduli lagi jika sang pemilik rumah akan memarahinya. Samar-samar Leo mendengar sahutan dari dalam. "Ada apa, Leo?" Muncullah Nayla dari balik pintu. Leo langsung memeluk Nayla sambil menangis, Nayla pun mengernyit bingung. Dia balas memeluk Leo. "Kenapa, Leo?"
"Papa sama Mama, Kak," lirih Leo dengan terisak. Bahunya terguncang hebat dalam pelukan Nayla. Karena ucapan Leo yang setengah-setengah, Nayla masih tak mengerti. "Kenapa, Leo? Ada apa?"
***
Di perjalanan, Nayla sibuk menenangkan Leo yang terus menangis, serta kedua anaknya yang tidak tahu apa-apa yang juga ikut menangis melihat Leo yang terus mengeluarkan air mata. Nayla menyuruh sopir taksi untuk menambah kecepatan menuju tempat tujuan.
Butuh waktu hampir satu jam, akhirnya Nayla telah sampai. Buru-buru ia berlari sembari memegangi anaknya, diikuti Leo yang berlari di belakang. Mereka berlari menuju ruangan yang ia cari. Saat setelah sampai di depan ruangan. Nayla melihat dokter yang baru saja ke luar.
"Dokter, gimana keadaan pasien kecelakaan tadi, Dok?" Nayla bertanya dengan napas memburu tak teratur. Dokter itu sempat menatap Nayla beberapa saat.
"Saya menantunya, Dok," jelas Nayla yang paham maksud tatapan yang diberikan dokter.
"Pasien kecelakaan tadi sudah meninggal. Mereka kehilangan banyak darah," ujar dokter dengan pelan. Sontak Nayla dan Leo pun menangis, Leo berhambur memeluk Nayla erat-erat. Bagai dihantam ribuan duri, ini rasanya sangat sakit. Leo menggeleng, belum mampu menerima takdir yang kini telah terjadi. Dia terisak keras, begitu pun Nayla. Andra dan Indri, kedua bocah itu ikut memeluk ibunya yang sedang menangis, tetapi belum mengerti apa maksud yang membuat mereka menangis.
"Papa ... Mama ...." Leo melirih lemah, seketika badannya meluruh, Nayla berusaha menopang tubuh Leo, tetapi tidak bisa. Keduanya ikut terduduk di dinginnya lantai rumah sakit.
***
"Pa, kira-kira Leo marah gak, ya kalo kita pergi gak bilang-bilang?" tanya Ana meminta pendapat. Dari dua hari yang lalu, mereka memang pergi ke luar kota untuk mengurus perusahaannya. Namun, mereka tidak memberitahukan kepergian mereka kepada Leo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Only One [SELESAI]
Teen FictionMencintai seorang yang tidak mencintai kita memanglah hal menyakitkan. Harus mempersiapkan diri dan hati untuk menelan pahitnya kenyataan. Jika berjuang sudah dilakukan. Namun, jika sang maha membolak-bolikkan hati tidak berkenan, semua yang pernah...