#48 : Pisah Ranjang ✔

90 9 1
                                    

Seorang yang tengah bertugas menjaga bayi Nayla tersentak sat mendengar suara pintu dibanting yang terdengar sangat keras. Seorang itu menghampiri Nayla yang tengah menangis terisak.

"Nayla, kamu kenapa?" Seorang itu merengkuh bahu Nayla ke dalam dekapannya sembari mengusapnya perlahan. Namun, itu tidak membuat isak tangis Nayla mereda.

"Mit, gue gak nyangka," ujar Nayla menumpahkan segala keluh kesahnya. Air matanya sudah tak terbendung lagi. Mita membawa Nayla duduk, mengusap beberapa kali bahu Nayla yang bergetar.

Mita tidak tahu apa yang terjadi. Yang ia tahu, dia hanya ditugaskan oleh Nayla untuk menjaga Andra dan Indri. Namun, dia juga ikut syok melihat Nayla yang pulang dengan keadaan seperti ini.

Tak berselang lama, pintu terbuka menampilkan sosok Hito. Dia berlari menghampiri Nayla yang berada dalam pelukan sahabatnya. Dia sangat menyumpah serapahi dirinya sendiri, sebab telah melanggar janjinya. Hito membuat Nayla menangis lagi.

"Mita suruh dia pergi," ujar Nayla dengan suara parau, wajahnya ia sembunyikan di ceruk leher Mita, enggan menatap kedatangan Hito.

Mita yang disuruh Nayla seperti itu pun mengernyit bingung. Dia menatap Hito seakan meminta penjelasan.

"Ayo, Mit. Suruh dia pergi!" Isak tangis Nayla semakin menjadi. Hatinya benar-benar hancur sekarang.

"Nayla, kamu salah paham." Hito mencoba membuat Nayla meluluh. Namun, terlambat. Nayla sudah terlanjur makan hati. Salah Nayla sendiri karena terlalu percaya. Deengan wajah sembab dan memerah, Nayla beranjak berdiri menuju kamar. Dia membanting pintu kamar dengan keras, membuat dua manusia yang berada di lantai bawah terperanjat kaget. Tak hanya itu, bebarengan dengan Nayla menutupu pintu, kedua bayi yang berada di kamar pun seketika ikut menangis keras. Hito tak tega melihat keadaan istrinya. Dia sangat ingin membantu, tetapi dia tidak bisa apa-apa sekarang. Mita yang sudah sejak tadi penasaran, dia menarik jas Hito membuat lelaki itu seketika terduduk di kursi.

"Lo apain dia, Hito?" Mita bertanya gemas, antara kesal dan ingin marah.

Hito tertunduk. "Dia salah paham, Mit," ujar Hito mendongak. Tak sadar bahwa air mata Hito sudah menggenang di pelupuk mata, dimana air mata itu siap turun kapan saja. Hito berusaha menahan suara isakannya. Dia hanya bisa tertunduk lemah.

"Ya elo emang habis ngapain?" Mita memukul pundak Hito beberapa kali. Di sini dia ikut senam jantung melihat pertengkaran Hito dan Nayla.

Hito pun mulai menceritakan semua kejadian dari awal. Di mana saat dia tak sengaja bertemu Sarah di mall, pertemuan keduanya dengan Sarah di apotek, serta saat dirinya mendatangi rumah Sarah.

"Emang bener-bener tuh orang." Mita menggertak marah. Di sini yang menjadi sumber masalah bagi rumah tangga Hito adalah Sarah. Sejak kehadirannya, ada saja hal-hal yang membuat Nayla dan Hito bertengkar.

"Gue bakal bantuin elo. Tenang aja," ucap Mita menenangkan Hito.

***

Pukul lima sore, Mita meminta izin untuk pulang. Dia seharian sudah menemani Nayla. Wanita itu hanya berdiam diri di kamar. Dia hanya menenangkan kedua anaknya saat mereka rewel.

Hito masih tak berani melangkahkan kakinya untuk menemui Nayla. Dia sudah merasa sangat malu. Tetapi jika ini dibiarkan saja, masalah kesalahpahaman ini tidak akan selesai.

Hito kini sudah berada di depan pintu kamarnya. Sedikit lagi untuk segera membuka pintu itu. Namun, tubuhnya seakan terpaku dan tangannya sangat sulit digerakkan, karena Hito memang sangat gugup.

Sedangkan di dalam kamar, Nayla masih terus menangis tetapi kali ini dia berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Dia menatap kosong ke arah dua bayi yang tengah tertidur pulas. Sesekali dia tersenyum saat mengingat kenangan manisnya selama berumah tangga dan dikaruniai dua buah hati kembar. Namun, semakin Nayla mengingat memori indahnya bersama Hito, rasa sakit hatinya bertambah berkali-kali lipat, dan itu tidak bisa membuat dirinya berhenti menangis.

Di luar kamar, Hito masih saja bimbang, antara ingin masuk atau tidak. Dia meyakinkan diri sendiri dan harus segera menyelesaikan masalah ini. Dengan tekad kuat, Hito mencoba membuka pintu. Namun, pintu tak kunjung terbuka. Sudah pasti jika Nayla menguncinya dari dalam.

"Nayla, bukain pintunya. Aku mau jelasin semuanya," Hito menggedor pelan pintu kamar. Tetapi seperti tidak ada kehidupan, Hito tak mendapat sahutan dari dalam.

"Sayang, plis, aku mohon." Hito memelas dia terus mencoba membuka pintu kamar. Karena sudah tidak sabar, akhirnya Hito memutuskan untul mendobrak sendiri pintu kamarnya.

Berkali-kali mencoba akhirnya pintu terbuka. Napas Hito naik turun tak teratur. Dilihatnya Nayla dengan wajah sembab yang sibuk menemani dua buah hatinya. Hati Hito seakan teriris melihat pemandangan di depannya. Ingin sekali dia menyembunyikan diri sendiri karena rasa bersalahnya pada Nayla yang sudah menggunung. Namun, Hito berusaha kuat untuk membuat Nayla percaya padanya. Dia berjalan menghampiri Nayla. Saat jarak keduanya sudah dekat dengan posisi Nayla yang membelakangi Hito, Nayla berucap, "mau apa kamu?" Suara Nayla terdengar sangat ketus dan menusuk.

"Sayang, dengerin penjelasan aku dulu."

Nayla beranjak berdiri dan menatap Hito dengan sorot pandangan tajam.

"Aku gak butuh penjelasan dari kamu." Nayla menghela napas kasar. "Seharusnya emang dari awal aku gak percaya sama kamu." Nayla tertawa miring. Jiwa Hito seakan menciut, sebenarnya dalam hati dia ingin sekali memeluk istrinya, dan menjelaskan semuanya. Tetapi melihat keadaan Nayla yang sudah diselimuti rasa kesal dan marah, Hito sudah tak bisa berbuat apa-apa.

"Sayang, kamu jangan ngomong gitu."

"Fakta, 'kan? Semakin aku percaya, maka luka yang aku dapat semakin banyak," ujar Nayla dengan satu tetes air mata yang meluncur deras dari matanya.

"Maka dari itu aku mau ngejelasin semuanya. Kamu salah paham, Sayang."

Nayla menggeleng tak percaya, dia tersenyum miring menatap Hito. "Semua udah jelas. Jadi, aku minta kamu pergi dari sini!" Nayla menunjuk pintu kamar dan menyuruh Hito segera pergi. Namun, Hito tetap bersikeras untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya terjadi.

"Aku bakal pergi. Tapi, plis. Dengerin aku dulu."

"Pergi atau aku yang pergi!" Emosi Nayla sudah berada di puncak, dia bahkan melupakan dia baru saja berteriak dan membuat kedua anaknya kembali menangis. Suasana dibuat semakin tidak mendukung. Karena sudah kehabisan akal, Hito mengalah dan akhirnya memutuskan untuk ke luar dari kamar. Sedetik saat tubuh Hito menghilang dari pandangannya, tubuh Nayla meluruh ke lantai. Dia duduk meringkuk sembari memegangi kedua lututnya. Suara isak tangisnya beradu dengan kedua anaknya yang ikut menangis.

"Aku emang istri gak berguna."

***

Only One [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang