Suara dedaunan yang saling bergesekan satu sama lain tertiup angin mulai terdengar pagi itu. Pagi yang cukup sunyi bagi Seongwoo. Seharusnya ia bertemu dengan Daniel hari ini, seharusnya. Tetapi yang ia lakukan saat ini malah duduk di ayunan yang berada di pekarangan belakang rumahnya.
Dengan airpod di kedua telinganya, pagi itu ia habiskan dengan melamun. Perkataan Chungha hari itu masih terngiang dalam pikirannya. Terlepas dari nada bicaranya yang sedikit tak sopan, ucapan itu memang benar adanya. Suatu fakta menyakitkan bagi Seongwoo.
Menikah berarti bersatu dalam ikatan suci. Menyatukan 2 manusia yang memiliki pemikiran berbeda. Tujuan lain dari menikah juga tentu saja memperoleh keturunan kan? Apalagi bagi keluarga Kang yang harus memiliki penerus bagi perusahaan mereka.
Hal itu jelas tak bisa di dapatkan dari Seongwoo. Seongwoo masih seorang lelaki. Sempat dulu ia membaca sebuah artikel tentang male pregnant. Namun rasanya mustahil. Lelaki di ciptakan oleh Tuhan tanpa rahim, berbeda dengan wanita.
"Di sini rupanya baby ku." gumam Sungjae yang sedang berdiri di ambang pintu.
Statusnya yang sudah memiliki seorang istri membuatnya hidup terpisah dengan orang tuanya. Yang berarti juga terpisah dari adik kesayangannya itu. Seongwoo yang sedang mengambil cuti juga membuatnya harus bekerja 2 kali lipat. Membuatnya jarang memiliki waktu untuk berkunjung ke rumah itu.
Hari ini, sudah terhitung 2 hari semenjak kejadian Seongwoo datang ke Celesta sembari menangis. Jujur, Sungjae sedikit sakit melihat Seongwoo kembali menangis karena Daniel. Tapi ia harus bisa bersikap dewasa, harus bisa melihat masalah tersebut dari sisi Daniel pula. Lagi pula kata orang, calon pengantin itu memang akan menghadapi banyak masalah dan cobaan jelang hari pernikahan.
"Baby?" panggilnya pelan sembari memegang pundak Seongwoo. Membuat Seongwoo sedikit berjengit.
"Jae? Kenapa kau ada di sini?"
"Apa maksudmu by? Apa aku tidak boleh berkunjung ke rumah ku sendiri?"
"Bukan begitu. Hanya saja, ini kan masih waktu bekerja. Bagaimana jika ada pasien yang datang?"
"Tenang saja. Hari ini tidak ada pasien yang berkunjung jadi aku bisa menemui mu."
"Ah begitu..."
Sungjae tersenyum tipis. Ia memilih untuk duduk di sebelah Seongwoo. Tangan kanannya tergerak untuk menggenggam sebelah tangan Seongwoo. Tak ada yang ia ucapkan setelahnya. Hanya elusan lembut pada punggung tangan Seongwoo, berusaha memberi kekuatan baginya.
"Hiks."
"Tidak apa-apa. Aku sudah pernah bilang bahwa kau bisa menangis sepuasnya kan jika sedang bersama ku?"
"Hiks Hyung."
Sungjae merapatkan tubuhnya pada Seongwoo lalu merengkuhnya dari samping. Seongwoo menangis. Ia memang tak bisa menyembunyikan perasannya dari Sungjae.
"It's okay, it's okay..."
"Dia benar Hyung. Aku tidak bisa memberikan hiks memberikan keturunan untuk Daniel. Aku tak bi-bisa hiks Hyung."
"Don't worry. Everything is gonna be fine. Trust me, okay?"
"Biar aku lihat wajahmu-" perlahan Sungjae menuntun wajah Seongwoo untuk menatapnya lalu menghapus air mata yang membasahi wajahnya. "wajah ini, mata ini, aku tidak suka melihatnya menangis. Baby ku itu kuat, baby ku itu selalu berpikir positif. Bukan seperti ini.""Ta-tapi aku-"
"Masalah tidak akan selesai jika kalian seperti ini. Aku tidak membela Daniel dan aku juga tidak membelamu. Tetapi kalian berdua sudah sama-sama dewasa. Terlebih baby ku ini adalah seorang psikolog jadi ku rasa kau tahu apa yang harus kau lakukan sekarang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary - Ongniel [END]
FanficCerita antara Seongwoo, Daniel dan buku hariannya. Start : 28 Juni 2019 End : 09 Februari 2020 Bahasa : Baku