[24] Rumit

890 54 4
                                    

"Baiklah, akan aku ceritakan semuanya, jadi-"

Krek.

Pintu UKS terbuka menampakkan sosok santri yang tak asing bagi mereka. Hafidz. Hafidz yang membuka pintu. Melihat itu, amarah Azmi langsung naik, dan ia berjalan mendekati santri itu.

"MAU APA KAKAK KESINI? MAU CARI NISA? APA BELUM PUAS KAKAK PELUK-PELUK DIA, SENTUH BADAN DIA? KAKAK TAU GA SIH KALO ITU DOSA? HAH?"

"Mi, tenang dulu mi. Aku bisa jelasin semuanya." Ujar Hafidz berusaha menenangkan Azmi.

"Jelasin apa? Bukannya udah jelas semuanya?"

"Mi aku mohon, tolong dengarkan dulu penjelasan kak Hafidz, biar ga salah paham. Semua ini tidak seperti yang kamu bayangkan mi." Sahut Nisa.

"Hhhhh. Penjelasan katanya. Penjelasan apanya." Ucapan Azmi disertai senyuman sinis.

Suasana menjadi hening seketika.

"Daripada aku disini menjadi pengganggu antara kalian berdua, lebih baik aku pergi saja." Tegasnya melangkahkan kakinya.

Nisa, Adel, dan Hafidz hanya bisa diam menatap kepergian Azmi begitu saja, tanpa berniat ingin mencegahnya.

Air mata Nisa langsung jatuh ketika Azmi pergi. Hatinya panas, dan dadanya sesak. Rasanya ia sudah tak kuat menjalani ini.

Dalam hati kecilnya ia berdoa, semoga Azmi segera menyadari bahwa ini semua tidak seperti yang ia pikirkan.

Adel menyadari Nisa tengah menunduk dan menangis, segera ia mengambil air minum hangat untuk Nisa agar ia bisa merasa lebih baik.

"Sabar ya Nis, ini semua ga akan lama kok. Kamu kuat. Ada aku sama Fina yang jagain kamu." Kata Adel menyemangati Nisa.

Nisa hanya menoleh dan mengangguk, mengiyakan perkataan Adel. Ia senang, mempunyai sahabat seperti Adel sama Fina. Dalam benaknya, ia masih bersyukur akan hal itu.

Sedangkan Hafidz yang menyaksikan drama itu, tersenyum licik. Akhirnya rencananya dengan Safira berjalan seperti yang mereka rencanakan.

Melihat keadaan Nisa yang sudah lebih tenang, Hafidz memilih pergi dari UKS.

"Del, aku pergi dulu ya. Jagain Nisa. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam kak."

💚💚💚

Taman menjadi tempat favorit untuk Azmi kunjungi jika suasana hatinya sedang buruk seperti saat ini.

Ada bangku berwarna putih yang menjadi langganannya tiap kali datang ke sini. Tempatnya yang berada di bawah pohon, membuat Azmi nyaman duduk di kursi itu.

"Arghh. Kenapa ini harus terjadi sih? Kenapa harus kak Hafidz yang ada diposisi itu? Kenapa? Kenapa harus kak Hafidz yang dipilih Nisa untuk jadi sandaran disaat aku sedang berusaha mendekati Nisa ya Allah? Kenapa?" Azmi mengacak-acak rambutnya gusar.

Azmi dibuat bingung dengan semua ini. Disatu sisi, ia percaya Nisa tidak akan seperti itu, tapi disisi lain, kenapa malah kak Hafidz yang ada diposisi itu.

Entahlah, saat ini fikirannya sedang buruk. Sampai-sampai ia tak bisa berfikir secara jernih. Hati dan pikirannya sedang bertolak belakang.

Azmi mencoba menghirup udara dan memejamkan matanya agar hatinya sedikit lebih tenang. 1 detik, 2 detik, Azmi masih dalam posisi seperti itu.

Hingga pada akhirnya hujan turun. Tetesan air mulai menetes membasahi tubuhnya secara perlahan. Tapi ia tak berpindah tempat untuk sekedar mencari tempat berteduh.

Azmi masih duduk di bangku itu tanpa bergeser sedikit pun.

💚💚💚

Kini Aban dan Fina telah membeli obat. Mereka ingin kembali ke pondok, tapi sayang, hujan melarang mereka untuk kembali sekarang juga.

Terpaksa, mereka memutuskan untuk menunggu hujan reda di apotik. Sambil menunggu, Aban membeli beberapa makanan ringan yang kebetulan juga disediakan di apotik itu.

Dengan sigap, ia membeli makanan kesukaan Fina. Lantas, ia segera membayarnya dan pergi menemui Fina.

"Nih Fin, buat kamu!"

"Coklat? Wihhhh. Makasih ya ban! Tau aja aku suka coklat." Fina langsung membuka bungkus coklat itu dan memakannya.

"Tapi es krimnya mana? Kan biasanya kalo ada coklat pasti ada es krim?"

"Ga ada es krim. Ini lagi hujan, ga boleh makan es krim. Kalo kamu makan es krim, nanti kamu sakit. Kalo kamu sakit, nanti aku jadi ikutan sakit." Kata Aban.

"Lah kok kamu ikutan sakit? Kok bisa?" Tanya Fina yang masih memakan coklat kesukaannya.

"Iya dong. Kamu kan tulang rusukku, jadi kalo kamu sakit, otomatis aku juga sakit dong. Haha."

"Mulai deh."

"Emang bener kok."

"Ya udah deh iya. Terserah. Kamu kamu ga nyobain cokelatnya?" Tawar Fina.

"Gamau. Udah bekas kamu."

"Dih kok gamau, bukannya kata kamu aku itu calon ibu dari anak-anak kamu, itu artinya, gapapa dong kamu makan bekas aku."

"Gamau. Nanti aku sakit Corona kalo makan bekas kamu."

"Kok ngomongnya gitu? Nih aku kasih tahu, virus Corona itu ga ada hubungannya sama bekas makanan aku ya. Lagian kamu tu, virus Corona itu penyakit. Bukan bahan untuk becandaan Aban. Ga baik dibecandain. Ishh."

"Iya iya maaf."

"Ya udah nih, mah coklat apa enggak? Serius nih."

"Ga usah Fina. Aku ga suka coklat, takut sakit diabetes."

"Ini tu cuma coklat, lagian cuma sekali. Ga akan bikin sakit diabetes."

"Gamau pokoknya. Cukup liatin kamu yang manis aja aku udah suka. Ga usah pake makan coklat segala."

"Ga boleh liatin aku. Aku belum sah jadi istri kamu."

"Iya nanti segera disahkan kok. Tunggu ya!"

"Masih lama kali ban."

Aban tersenyum. Dalam hatinya ia berdoa dan berharap, semoga keinginannya untuk bisa mengkhitbah Fina suatu saat nanti bisa diizinkan oleh Allah. Aamiin.







Jangan lupa divote ya, walaupun masih suka typo. Hehe. Happy reading 💚

The Power of SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang