Pejuang

3.8K 656 296
                                    

Cerita ini hanya fiksi, tetapi sedang mengangkat isu-isu sensitif di masyarakat. Semua tokoh yang ada hanya fiksi, dan tidak dibuat untuk menyinggung dan menyudutkan pihak mana pun. Apa yang diangkat bukan menjadi fokus utama, melainkan sebagai salah satu penyampaian pesan dalam kacamata saya melihat banyaknya kejadian belakangan ini.

Dimohon untuk bijak dalam menangkap maksud yang ada di sini.

Terima kasih, salam Keluarga Nakamoto ^^

Terima kasih, salam Keluarga Nakamoto ^^

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
























"Punggungnya Yuma luka parah. Bahkan tadi Yuma sempet muntah darah."

Suara Marsha terdengar bergetar, sampai Yuta hampir tidak sanggup mendengarnya. Sampai rasanya Yuta ingin menyusul Marsha dan Yuma sekarang.

"Dari pemeriksaan dokter, katanya punggung Yuma udah ... sebenernya udah sering dipukulin." Suara Marsha hilang sejenak karena wanita itu hampir tidak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya. "Hampir setiap hari."

Yuta mengepalkan tinjunya dan menggigit bibirnya karena berusaha menahan amarahnya sendiri. Tadi Yuta tidak sempat melihat separah apa punggung Yuma, tetapi dari cerita Marsha dan tangisan putrinya sudah cukup menjelaskan separah apa luka yang dialami Yuma.

"Yuma ... Yuma nangis terus, Yuta. Aku nggak tega."

Ya, Yuta mendengarnya dengan jelas. Tadi saat Marsha menjawab teleponnya, hal pertama yang Yuta dengar adalah suara Yuma yang sedang menangis. Sampai akhirnya suara itu hilang karena Marsha keluar dari kamar untuk bicara dengan Yuta.

"Kamu sabar di sana, ya. Enggak sendirian, 'kan?"

"Di sini ada Tama samaThalia."

Yuta mengangguk. Sedikit lega karena setidaknya Marsha tidak benar-benar seorang diri ketika menjaga Yuma.

"Aku pasti ke sana. Pokoknya siapin aja ruangan yang paling nyaman dan aman. Aku ke sana kalau urusan di sini udah selesai."

Marsha hanya merespon seadanya karena dia masih harus menjaga Yuma yang belum berhenti menangis. Setelah percakapan mereka terasa cukup, Yuta pun memutuskan sambungan telepon dan memberikan ponselnya pada Haris.

Ya, kali ini Yuta tidak sendirian. Ada Haris yang akan mendampinginya melawan orang-orang jahat di ruang kepala sekolah, yang masih belum mau mengakui kejahatan mereka. Yuta sengaja memanggil Haris ke sekolah karena sekretarisnya itu sudah pasti paling bisa diandalkan di saat seperti ini.

"Kalian denger sendiri, 'kan? Kalian denger gimana pas awal tadi Yuma nangis?"

Ya, Yuta sengaja memasang loud speaker ketika menghubungi Marsha agar seisi ruangan bisa mendengarnya langsung. Yuta menatap satu per satu orang yang ada di ruangan. Ada Bu Yeti, yang terus menganggap kalau musibah yang dialami Yuma hanya sebuah candaan.

ReturnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang