18

3.3K 191 8
                                    

“Zeril”

Zeril yang baru saja pulang dan menaiki tangga menuju kamarnya di panggil dengan tiba-tiba membuat seketika langkahnya terhenti. Dia sangat tau suara siapa yang memanggilnya itu, suara yang niatnya tidak ingin dia dengar apalagi dengan bertemu dengan pemilik suara itu.

“Zeril sini” panggil Papahnya yang menyuruh Zeril untuk menghampiri.

“Zeril capek” ketusnya.

“Papah juga capek, tapi masih sempat nunggu buat ketemu sama kamu”

“Yaudah Papah tidur aja, nggak usah ketemu Zeril” ucapnya tanpa memalingkan wajahnya kepada Papahnya.

“Zerillll…..” panggil Papahnya lagi yang memaksa Zeril untuk sebentar saja untuk berbicara.

Zeril dengan malas menghampiri Papahnya yang sedang duduk sambil menonton tv di ruang keluarga. Tidak ada Zeris, tumben sekali. Zeril menyangka kalau akan ada Zeris yang sedang menemani Papahnya.

Zeril terpaksa mendudukan dirinya di sofa sebrang dimana Papahnya duduk. Masih dengan menunduk seperti enggan untuk melihat kearah Papahnya.

“Dari mana kamu baru pulang jam segini?” tanya Papahnya.

Zeril masih saja diam.

“— Wajah kamu juga kenapa? Habis berantem dimana? Kamu tawuran lagi hari ini? Udah di peringati berapa kali, jangan jadiin tawuran sebagai hobi” ucap Papahnya.

“Zeril nggak tawuran, Pah” ucap Zeril pelan.

“Terus wajah kamu? Emangnya Papah nggak tau kalo kamu sering tawuran, berantem sana sini cari musuh dimana-mana” ujar Papahnya yang membuat rahang Zeril mengeras.

Papahnya tak tau, Zeril beberapa minggu belakangan ini tidak melakukan hal-hal bodoh yang disebutkan Papahnya tadi. Papahnya hanya melihat luaran Zeril yang memang wajahnya terpampang memar, namun ini adalah ulah Zeris kemarin. Bagaimana jika Papahnya tau jika ini semua ulah Zeris, apa Papahnya akan percaya atau tidak? Jelas jawabannya tidak. Dimata Papahnya, Zeris ya Zeris yang tidak pernah melakukan hal-hal bodoh yang biasa di lakukan Zeril.

“Ini ulah temen Zeril”

“Ulah temen kamu, kalo kamu tidak memulai duluan dia nggak akan pukul kamu kayak gitu sampe memar gitu”

Zeril masih menahan semua perkataan yang keluar dari mulut Papahnya. Itu yang ingin Zeril tau; pandangan Papahnya tentang dirinya sekarang dan ternyata selalu seperti itu.

"Zeris juga memar, kenapa bisa samaan. Kamu ngajak Zeris ikutan seperti kamu?"

"Apasih nuduh aja, tanya aja sama anak kesayangan Papah dia kenapa" Zeril mulai jengah, raut wajahnya mulai menyiratkan ketidaksukaan berada lama-lama bersama Papahnya.

“—Terus kamu kenapa pulang jam segini? Kata Zeris kamu habis kerja kelompok” ucap Papahnya.

Kerja kelompok?, Zeril membatin.

“Dari rumah Farel”

"Memang nggak tau kalo Papah bakal pulang? Kamu nggak ikut sebentar aja ke bandara sama Zeris. Tadi Papah kira kamu akan ikut jemput Papah" ucap Papahnya memandang anaknya itu.

"Tapi nggak apa-apa kalo kamu nggak ikut Zeris tapi melakukan kegiatan baik. Bagus kalo kamu ada perkembangan buat belajar bareng sama temen kamu" sambung Papahnya lagi.

“Abis tawuran” ucap asal Zeril dengan nada pelan.

“Zeril—“

“Cukup ya Pah, Papah nggak usah nanya-nanya Zeril kayak gitu. Biasanya juga Papah nggak pernah yang namanya nanyain Zeril. Ngabarin Zeril aja nggak pernah. Jadi, biar kayak seperti biasa aja Pah. Zeril nggak terbiasa lagi di peduliin sama Papah”.

Twin BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang