#1

5K 306 85
                                    

Siang itu terik sekali, matahari seakan berusaha menunjukkan kuasanya dalam menyinari bumi, tak sejengkal tanah pun luput dari pancaran sinarnya, membuat segala makhluk yang mendeklarasikan diri sebagai penguasa bumi itu pun beramai-ramai menggerutu entah dalam hati ataupun ia ungkapkan dengan suara lantang.

Meski begitu, ada sebagian makhluk bumi yang menamai diri sebagai manusia justru bersyukur atas terik yang ia dapat hari ini. Dia salah satunya.

Wanita berusia nyaris kepala lima itu tersenyum di sela kegiatannya mengusap peluh yang kian membanjiri wajahnya. Beruntung hari ini matahari tersenyum dengan cerahnya, membuat pekerjaannya semakin cepat dan tidak mendapat cacian seperti saat mendung tiba.

"Ibu, di lual panas, ayo masuk Lin mau minum es jeluk." Wanita itu menoleh, mendapati malaikat kecilnya yang sedari tadi memandanginya, duduk di teras dengan boneka jerapah lusuh pemberian tetangganya tahun lalu yang selalu ia bawa kemana-mana.

Sang ibu yang bernama Lestari atau yang lebih akrab disapa Tari itu lantas dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya, memeras pakaian-pakaian basah itu untuk segera dijemur.

"Ririn masuk saja dulu, di dalam 'kan ada kak Jo." Si gadis cilik berusia 4 setengah tahun itu mengangguk, segera beranjak dari duduknya, tak perduli rok bagian bokong yang kotor karena debu dari teras rumahnya yang hanya berlapis ubin lusuh. Tak ada keramik dingin yang selalu ia inginkan seperti di rumah Manda, tetangganya.






"Kak Jo ... Kak Jo ... Lin mau es jeluk!" Ia berlari memasuki rumah sederhana itu, memanggil sang kakak yang sejak tadi di rumah tak masuk sekolah karena demam.

"Ririn jangan kesini-"

Brukk















"Ibu tolong! Ririn kambuh."


.
.
.






Ibunya menangis, Joan takut. Kini keduanya tengah berada di klinik dekat rumah. Mereka tak punya biaya jika harus membawa si kecil ke rumah sakit.

"Maafkan aku, Bu, aku sudah melarangnya tapi ... tapi dia terus berlari." Joan, pemuda berusia 15 tahun itu bukan hanya takut terjadi sesuatu pada sang adik, yang ia takutkan hanyalah--








Plakk

"Dasar kau anak tidak berguna, hanya menjaga adikmu saja kau tidak becus."

--pukulan dari sang ayah. Joan memegang pipinya yang terasa panas akibat tamparan tak main-main dari tangan besar sang ayah, Sigit Abdullah.

Joan menangis, memang, ini memang salahnya. Ia tak hati-hati saat minum di dapur. Karena kepalanya yang masih sedikit pusing, ia kehilangan kendali hingga gelas yang ia pegang terjatuh, hanya gelas plastik jadi tak ada pecahan gelas di sana. Meski begitu, nyatanya pengaruhnya bahkan lebih besar.

Air yang menggenang di lantai itu membuat sang adik yang tengah berlari terpeleset hingga terjatuh.

"Barapa kali ku bilang, jangan sampai adikmu terjatuh atau ini akibatnya." Telunjuknya yang tepat berada di depan wajah Joan serta suaranya yang lantang membuat remaja itu semakin ketakutan.

"Kau juga, bagaimana bisa Ririn lolos dari pengawasanmu?" Pandangannya beralih pada Tari hingga wanita itu hanya tergugu di tempatnya, ia tak pernah bisa menjawab apapun yang sang suami lontarkan ketika marah.

Ririn, gadis kecil itu mengidap penyakit epilepsi hasil komplikasi dari kerusakan sarafnya akibat trauma otak yang ia alami saat kecelakaan ketika berusia dua tahun. Ririn tak pernah normal sejak saat itu, dan Sigit sangat menjaga Ririn karena dia adalah putri satu-satunya dari keempat anaknya yang amat sangat ia harapkan kehadirannya.

Awalnya, baik Tari maupun Sigit tak mempermasalahkan jenis kelamin anak-anaknya, mereka sangat menyayangi ketiga putra pertama mereka hingga satu kejadian terjadi dan disitulah semua bermula. Hal yang kini seakan menjadi beban tersendiri bagi Joan. Ia tak tahu apa-apa, bahkan ia belum mengerti apapun saat itu, tapi dampaknya sungguh luar biasa bagi Joan, ia merasa tak diharapkan.

Dulu, pasangan Sigit dan Tari itu mempunyai tiga putra dengan usia masing-masing 8 tahun, 5 tahun dan 1 tahun yang bernama Gavin Rasean Abdullah, Gavian Rafka Abdullah dan tentunya Joandra Rival Abdullah. Gavin, anak pertama mereka awalnya hanya bocah kecil biasa yang senang bermain bersama kawan sepantarannya.

Bukan salah Gavij, bukan salah kedua orang tuanya ataupun teman-temannya, tapi semua karena takdir yang harus mereka lalui. Karena keterbatasan ekonomi, Gavin mulai merasa tersisihkan di antara teman-temannya. Mereka semua punya mainan bagus, baju bagus juga uang saku yang banyak saat sekolah. Tapi, apa yang ayah dan ibunya berikan? Uang sakunya bahkan tak lebih dari setengah uang saku teman-temannya.

Mainan, Gavin hanya punya satu mainan mobil-mobilan yang diberi oleh seorang kakek tetangga mereka yang saat itu sudah tua renta yang hanya tinggal sendiri karena anak dan cucunya pergi merantau dan tak pernah pulang hingga si kakek meninggal.

Gavin juga ingin, dan impiannya nyaris terwujud saat ia melintas di depan sebuah toko mainan. Tempat itu ramai sekali, jelas karena toko itu adalah yang terbesar di sekitar tempat tinggalnya. Dengan wajah berbinar, Gavin berjalan memasuki toko. Mulutnya tak berhenti membulat, bergumam berkali-kali betapa bagusnya mainan-mainan itu hingga satu mainan berbentuk robot yang bisa bergerak dan mengeluarkan suara itu menarik atensinya.

.
.
.

Sigit berjalan tergopoh-gopoh, baru saja ia mendapat panggilan dari kantor polisi dan mengatakan jika putranya berada di sana.





"Belajar dari mana kau, hah?! Dasar anak tak tahu diuntung."

Ctakk

Ctakk

Sabuk itu terus mengayun, mencumbu dengan sekilas rasa getir yang membekas perih pada punggung bocah berusia 8 tahun itu.

"Kau memalukan, kau bukan anakku, kau pencuri." Sabuk itu terus mengayun hingga sepuluh ayunan. Gavin yang semula menangis seketika menghentikan tangisnya kala ucapan tajam itu terdengar membelai gendang telinganya.

Gavin terengah-engah, Gavin yang masih telungkup di atas sofa lusuhnya hanya terdiam sesekali mengusap ingusnya yang terus keluar. Ia hanya sedang ... memikirkan sesuatu, hingga sesuatu terjadi dan kisah pahit itu bermula.







.
.
.

Sigit, Tari dan Joan segera berlari menghampiri dokter yang baru saja menangani Ririn. Dari wajahnya, Tari sudah mengira sesuatu yang tak baik tengah terjadi pada putri kecilnya.

"Putri anda harus segera dirujuk ke rumah sakit dan melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Semoga apa yang saya pikirkan ini salah, tapi saya rasa ada sesuatu di kepala putri ibu dan bapak." Tari menangis, Joan menangis, Sigit mengusap rambutnya kasar.

"Segera selesaikan administrasi dan saya akan buatkan surat rujukan." Dokter itu berlalu, meninggalkan ketiga manusia yang seakan kehilangan nyawa itu.

Rumah sakit? Dari mana mereka mendapatkan biaya untuk putrinya pergi berobat ke rumah sakit? Epilepsi tak bisa disembuhkan, selama ini mereka hanya membeli obat untuk mengontrolnya saja. Itu pun tak bisa mereka beli secara rutin atau hanya saat Tari mendapat banyak pelanggan yang bersedia ia cuci pakaiannya. Sigit hanya bekerja menjadi seorang cleaning service di sebuah rumah sakit yang gajinya hanya cukup untuk makan sehari-hari, biaya sekolah Joan dan uang sewa rumah yang mereka tempati.
















"Putri anda menderita tumor otak stadium 2."








Tbc

Akhirnya bisa kepublish juga ini chapter. Semoga suka ...

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang