#20

1.5K 192 65
                                    

Tari berjalan diiringi langkah lamban kedua kaki jenjang Gavin. Dokter muda itu dengan telaten menuntun langkah sang ibu yang nampak masih lemas.

"Emm, Dokter, aku mau ke ruang administrasi dulu. Jika Dokter ingin pergi dulu, silahkan."

Dokter tampan itu menggeleng lembut, tangannya masih betah menempel pada pundak ringkih sang ibu. Ia tersenyum lembut saat mendapati ibunya memandangnya dari balik kelopak lelahnya.

"Biar kuantar."

Tari tak menolak, ia hanya mengangguk sekilas dan berbelok ke kiri saat di persimpangan.













"Tagihan atas nama Joandra Rival Abdullah sudah dilunasi."

Dengan satu kalimat jawaban dari staf rumah sakit itu ketika Tari menanyakan jumlah tagihan yang harus ia bayar itu membuat keningnya mengerut dalam.

Dalam benaknya hanya ada satu nama kemungkinan siapa yang sudah membayar seluruh biaya rumah sakit sang putra.

"Aku tidak melakukannya, Bu"

Seakan tahu apa yang ada dalam pikiran sang ibu, Gavin buru-buru menjawab ketika pandangannya bertemu dengan tatapan Tari yang seolah bertanya kau kah yang melakukannya?

"Kalau boleh tahu, siapa yang sudah membayar biaya rumah sakit putra saya?"

"Maaf, Bu, beliau tidak ingin identitasnya disebutkan. Beliau hanya berpesan agar anda tidak perlu memikirkannya."

Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Tari mengucap terimakasih pada staf wanita itu dah segera beranjak dari sana. Dalam hati ia terus berujar terimakasih entah pada siapa saja yang sudah berbaik hati membantunya dalam keadaan susah seperti ini.




















"Ibuuuu ...," teriak Ririn yang ternyata sudah berada di ruang rawat Joan bersama dengan Ian.

Ririm yang sebelumnya duduk di samping Joan di atas ranjang segera  mencoba melompat turun. Beruntung Ian yang berdiri di hadapan keduanya dengan sigap menangkap tubuh sang adik.

"Lain kali jangan lompat, kalau jatuh terus sakit, Kak Ian tidak mau tolong."

Si gadis kecil hanya memajukan bibirnya sebelum kembali melanjutkan rencananya untuk berlari dan memeluk kaki sang ibu.

"Lin kangen sekali dengan Ibu. Eh, ada Kakak doktel tampan," lirihnya malu-malu.

Ia bahkan menyembunyikan wajahnya di antara kaki sang ibu. Gavin yang mendengar pun menjadi tergelak. Ia lantas mengangkat Ririn dalam gendongan. Gadis kecil itu memekik girang begitupun dengan Gavin yang kian menampakkan senyum kotaknya.

Sekilas, Gavin bisa merasakan ada tatapan membunuh dari adik pertamanya, Ian. Anak itu masih tak suka dengan Gavin.

Setelah ia mengambil perhatian adik lelakinya, kini adik perempuannya pun berusaha untuk ia ambil juga. Ian sungguh tidak suka dokter tampan itu.

"Ririm juga cantik sekali pakai bandana ini."

Ririn semakin malu-malu, wajah putihnya kini merona alami di bagian pipi, persis Joan sekali. Ia juga suka dipuji, apalagi semenjak rambutnya dipangkas habis. Ririn sering murung karena sudah tidak bisa bersisir lagi. Ia sangat senang saat Ian pulang dengan satu bungkus plastik di tangan.

Matanya kian berbinar saat mendapati bandana rajut berwarna pink dengan aksen tiga kupu-kupu kecil di atasnya. Tangannya bertepuk riang saat sang kakak memasang bandana tersebut pada kepalanya, semakin bertambah senang saat kini penampilannya dipuji oleh dokter tampan pujaannya.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang