"Benarkah Dokter adalah kakak kami?"
Gavin yang tengah bergurau dengan si bungsu seketika menoleh ke arah sumber suara di mana Joan tengah berdiri dengan mata berkacanya.
Gavin melirik ke arah samping di mana sang ayah terduduk. Namun, kendati Sigit juga membalas lirikannya, pria paruh baya itu tampaknya tak berniat untuk membantu dirinya menjawab pertanyaan dari sang adik.
"Kau? Untuk apa kau kemari?" Semua yang berada di ruang tamu itupun menoleh. Ian dengan mata dan hidung memerahnya kini seketika mengusak kasar kedua pipinya yang masih kentara jejak air mata di sana.
"Kak Ian, tolong beri tahu aku, apa benar yang Kakak dan ibu bicarakan di dalam? Apa benar kalau dokter Gavin adalah kakak kita?"
Tampaknya ada yang harus membangunkan Ian dari keterkejutannya. Bukan terkejut akan kedatangan sang kakak lagi, tapi terkejut karena selama ini Joan tak pernah berkata sepanjang itu padanya. Dan kini, anak itu berani mempertanyakan hal seperti itu pada dirinya? Sebesar apa pengaruh Gavin pada hidup Joan, itu membuat Ian semakin sakit.
"Selesaikan urusan kalian." Ucapan singkat sang kepala rumah tangga yang seketika membuat dada Gavin serasa teremas.
Pria itu pergi dan masuk ke dalam kamar setelah mengambil Ririm dalam gendongan si sulung. Dengan Sigit yang menghindar seperti itu sudah membuat Gavin sedikit mengerti jika sang ayah belumlah bisa menerima kehadirannya.
"Joan," lirih Gavin. Pria itu kemudian bangkit dan beranjak untuk mendekati kedua adiknya yang juga masih betah berdiri.
"Duduklah, Kakak akan jelaskan semuanya." Gavin menggiring Joan yang nampak sedikit lemas untuk didudukkan di atas sofa.
"Ian, kemarilah." Ian memalingkan wajahnya yang terasa panas, bulir-bulir air mata seakan berusaha mendobrak pertahanannya hingga sesaat kemudian ia merasa lengannya tertarik dan tubuhnya dihempas pelan ke atas sofa.
"Maafkan Kakak, Jo. Maaf karena tak jujur padamu dan yang lainnya. Ya, aku adalah Kakakmu, Kakak kalian--" Belum selesai ucapan Gavin, Ian dengan segera menyela dengan nada yang tak bersahabat. Menunjukkan jika hatinya tengah terluka dengan berbagai kata yang sang kakak rangkai tersebut.
"Mimpi saja kau. Kau bisa menganggap Joan dan Ririn sebagai adikmu. Tapi, jangan harap kau untuk bisa menjadi apa yang dulu pernah kau tinggalkan."
"Ian--"
"Kau tak tahu betapa sulitnya aku menggantikan posisimu setelah kepergianmu, kau tak tahu apapun, Vin!" sentak Ian di akhir kalimat dan setelahnya ia pergi begitu saja meninggalkan rumah.
"Kakak," lirih Joan di tengah isakannya. Ia menghamburkan diri dalam pelukan yang lebih tua.
"Maafkan Kakak, Jo. Kau mungkin baru tahu jika kakakmu bukan hanya Ian saja. Kakak harus pergi karena suatu hal saat kau masih berusia satu tahun, maaf jika itu membuat hidup kalian hancur."
"Aku tak tahu, tapi ayah selalu marah-marah, apalagi setelah kepergian kak Ian. Ayah mungkin membenciku, dia bilang kalau aku anak laki-laki yang tak berguna, menyusahkan dan--" ucapannya terhenti kala satu jari telunjuk menempel rapat pada bibir tipisnya.
"Semuanya salah Kakak, aku yang sudah merubah ayah, sekarang, bisakah kau bantu Kakak?" Joan mendongakkan kepalanya yang semula menelusup pada dada sang kakak. Kedua mata kucingnya berkedip-kedip lucu dengan bulu mata lentik dan juga mata memerahnya membuat Gavin ingin memekik saja.
"Membantu?" tanyanya dengan nada yang mencicit.
"Tak perlu kau lakukan apapun Dokter Gavin, kau bisa pulang sekarang."

KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] J O A N D R A®
FanfictionRemaja tanggung tak tahu apa salahnya yang ia tahu ibunya berkata bahwa dia adalah harta keluarga. Mengapa ayahnya selalu bersikap kasar setelah kepergian sang kakak pun ia tak tahu apa sebabnya. Yang ia yakini hingga saat ini hanyalah ayahnya akan...