Tari masih memikirkan perkataan Gavin semalam. Ia tak mengerti apa maksud dokter muda itu, sedangkan yang membuatnya terus berpikir hanya bersikap acuh saat dirinya menanyakan kembali maksud dari ucapan itu.
"Ibu, kapan kak Jo bangun. Matahalinya sudah tinggi sekali, belalti sudah siang, ya?"
Ibu empat anak itu menunduk, mengusap wajah sang putri yang berada di pangkuannya lalu kembali mengarahkan pandangannya pada tubuh sang anak lelaki yang masih asik terpejam di atas ranjang pesakitannya. Entah ia belum sadar atau melanjutkan istirahatnya bersama mimpi. Hari memang sudah pagi setengah siang, sudah jam sepuluh tapi keduanya belum memasukkan apapun ke dalam perut mereka.
"Kak Jo masih cepek, butuh istirahat. Ririn lapar tidak?" Anggukan ia terima dari bungsunya.
"Kalau begitu, ayo kita ke toko di depan. Untuk sementara makan roti dulu, Ririn mau?"
Lagi, si kecil hanya mengangguk. Sudah terbiasa baginya hanya memakan roti akhir-akhir ini. Keduanya pun akhirnya keluar untuk pergi ke toko terdekat guna membeli roti untuk pengganjal perut.
Sekembalinya Taru dan Ririn ke ruang rawat Joan, mereka berdua tersenyum senang mendapati Joan sudah bangun dan tengah menjalani pemeriksaan oleh sang dokter.
"Joan, mulai sekarang kau harus diet." Joan mengerutkan dahi, begitupun dengan sang ibu.
"Apa aku terlalu gemuk? Ku pikir berat badanku berkurang." Joan menelisik seluruh badannya, hingga ia menyingkap piyama rumah sakitnya guna melihat perutnya yang ternyata sangat rata. Tulang-tulang di dadanya itu bahkan nyaris menyembul di balik kulitnya yang artinya tubuhnya jauh dari kata gemuk.
Melihat hal itu membuat Gavin tersenyum seraya mengusak rambut sang adik gemas. Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada sang ibu.
"Begini, Bu. Joan harus melakukan diet garam, protein dan kalium. Mulai sekarang kurangi kandungan garam dalam makanan Joan. Sebisa mungkin hindari buah atau sayur yang mengandung banyak protein dan kalium seperti pisang, jeruk, kentang, bayam ataupun tomat. Nanti juga Joan akan mendapatkan vaksin flu dan pneumonia karena imunnya yang mulai menurun."
Mendengar hal itu, Joan merasa sedih. Ia mencengkram erat selimut yang membalut tubuhnya hingga pinggang. Ia merasa takut, merasa kecil hati dan merasa bahwa dirinya sungguh sudah merepotkan keluarganya.
"Jo," lirih Gavin tepat di samping telinga sang adik hingga membuat remaja itu mengalihkan pandangannya pada yang lebih tua dengan mata berkaca.
"Tak perlu takut, ingat janji Kakak."
Setelahnya, Gavin pamit undur diri, menyisakan Tari dengan kedua putra dan putrinya. Hening menguasai seluruh penjuru ruangan, baik Tari maupun Joan tak saling bicara entah karena apa. Sedangkan, si kecil hanya mampu memandang bergantian pada sosok sang ibu dan sang kakak.
Ririn melompat turun dari sofa di mana sebelumnya ia duduk bersama ibunya. Ia berjalan dan menaiki kursi dengan usahanya yang keras, karena kursi di samping ranjang itu cukup tinggi untuk anak seukuran Ririn tentunya.
"Kak Jo kenapa nangis?" tanyanya sembari mengusap lelehan bening pada pipi tirus sang kakak.
"Kak Jo tidak nangis kok, hanya kelilipan," jawabnya dengan senyum yang dipaksakan.
Gadis kecil itu kemudian berusaha berpindah ke atas ranjang dengan sedikit bantuan dari sang kakak.
"Mau tiup-tiup? Kemalin mata Lin lilip-lilip telus ditiup sama ayah."
Joan terkekeh melihat sang adik yang tepat berada di depan wajahnya. Mata sipitnya bisa ia lihat dengan jelas dan bibir mungil sang adik, mirip sekali dengan miliknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] J O A N D R A®
FanfictionRemaja tanggung tak tahu apa salahnya yang ia tahu ibunya berkata bahwa dia adalah harta keluarga. Mengapa ayahnya selalu bersikap kasar setelah kepergian sang kakak pun ia tak tahu apa sebabnya. Yang ia yakini hingga saat ini hanyalah ayahnya akan...