#8

1.7K 190 53
                                        

"ini, ambil semua dan cepat lakukan operasi untuk putriku." Seseorang yang menjabat sebagai pegawai administrasi rumah sakit itupun menerima uang yang Sigit berikan padanya dan menghitungnya.

"Maaf, tapi ini tidak ada 30% dari biaya operasi, anda bisa saja hanya memberi uang muka untuk melakukan operasi tapi syarat minimal adalah 30% dari biaya operasi itu sendiri."

Sigit semakin frustasi dibuatnya. Sebesar itukah biaya operasi untuk putrinya? Uang itu bahkan sudah mencakup gajinya bulan ini dan juga uang hasil 'menjual' darah Joan.

"Ini Tuan uang anda, anda bisa kembali nanti jika sudah memenuhi syarat."

Sigit mengerang dalam tangisnya, ia seorang ayah dari seorang gadis kecil yang tengah menanggung kesakitan meski di usia yang begitu muda.

Ia teringat sesuatu lantas mengusap kasar wajahnya dari jejak air mata, memacu langkah yang kian lebar dan cepat seiring keyakinannya untuk melakukan hal yang sudah ia mulai hari ini dan ia sangat berharap hal itu akan menjadi titik terang bagi permasalahannya kini.



"Dokter, bagaimana hasilnya? Cocok, pasti cocok 'kan?" Ia bahkan sangat menggebu dalam melempar pertanyaan tersebut.

Sedangkan dokter cantik yang menjabat sebagai penanggung jawab pada bagian radiologi itu tersenyum dan mencoba bersikap tenang.

"Maaf, hasilnya baru keluar besok. Putra anda baru melakukan pemeriksaan fisik beberapa jam yang lalu."

"Apa tidak bisa dipercepat? Aku membutuhkan hasilnya hari ini." Lagi-lagi dokter cantik itu menampakkan senyum manisnya, susah sekali jika berhadapan dengan orang ngeyel macam ini.

"Maaf, Tuan, tentu masih butuh proses lebih lanjut, apa putra anda juga sudah melakukan tes darah?" Ia mengangguk cepat berharap hasil tes juga akan keluar secepat anggukan kepalanya.

"Kalau begitu, mungkin besok pagi hasil CT-Scan sudah bisa keluar. Anda bisa mengambilnya besok pagi."

Dengan itu Sigit kembali berjalan gontai menyusuri lorong rumah sakit. Ia seakan tak ingin untuk kembali melihat putrinya yang tengah terlelap damai di atas ranjang pesakitan. Ia malu, malu pada dirinya sendiri karena tak mampu berbuat yang terbaik bagi putrinya meski dengan caranya yang salah.














Ririn sudah bangun dari tidurnya beberapa waktu yang lalu. Kini gadis ceria itu hanya mampu tersenyum di balik selimut tebalnya, tubuhnya yang biasanya aktif kini terpaksa hanya dibaringkan begitu saja, tergolek tak berdaya.

Meski begitu, ia tak ingin senyumnya luntur, ia masih punya ibu dan ayah, masih punya kak Jo dan kak Ian yang selalu bilang bahwa senyumnya manis dan mampu menjadi obat ketika mereka sedih. Jadi, dengan keyakinan yang ia pegang ia berjanji bahwa apapun yang terjadi ia akan tetap tersenyum.

"Kenapa Ririn tersenyum terus?" Sang ibu yang sedari tadi belum juga mengistirahatkan tubuh bertanya dengan penuh kelembutan, meski suaranya terdengar sedikit bergetar karena tubuhnya dan hatinya yang lelah dan juga pikiran yang kacau.

"Ibu menangis tadi, jadi Lin telsenyum bial ibu gak sedih lagi." Tari mengecup dahi hangat itu berkali-kali.

Benar, jika putrinya yang sekecil itu dan yang menanggung sakit saja mampu tersenyum, lalu kenapa ia malah menangis dan membuat semuanya menjadi semakin berat?

"Ibu, kak Jo mana?"

"Itu, sedang tidur." Ririn sedikit kesusahan saat hendak mengangkat kepalanya guna memastikan apa yang ibunya katakan itu benar, dan memang sang kakak tengah tidur bersandar di atas kursi di depan ranjangnya.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang