#30

1.2K 179 36
                                    

Kakinya terus dipaksakan untuk melangkah dengan sedikit cepat. Berkali-kali ia mengusap air mata yang terus meleleh di atas pipi kemerahannya. Kakinya pegal, tapi tekadnya untuk sampai ke tempat tujuan yang sebenarnya masih lumayan jauh itu terlalu besar.

"Aku benci ayah, ayah jahat." Rapalan dari bibirnya yang diiringi isakan itu terus menemani langkahnya yang kian lama kian memelan. Sudah setengah perjalanan dan ia terus saja menggumamkan kalimat yang sama.

Kali ini tubuhnya benar-benar kepayahan, meski tak sepenuhnya berlari namun jarak yang ia tempuh sudah cukup untuk menghabiskan nyaris seluruh tenaganya. Ia berhenti sejenak, tepat di seberang jalan itu terdapat halte bus yang cukup ramai.

Ingin sekali ia pergi ke sana, menunggu kedatangan bus dan mengistirahatkan sejenak kedua kaki rampingnya dengan berselonjor kaki di deretan bangku itu. Tapi, ia baru ingat satu hal. Karena terburu-buru dan tak pikir panjang saat ia melompat keluar dari jendela kamarnya, ia tak sempat membawa uang yang mungkin ada beberapa di dalam kotak pensilnya.

"Kakak, hahh aku lelah," lirihnya dengan air mata yang kembali menetes hingga menimbulkan jejak yang sama pada pipinya.

Joan duduk di pinggir trotoar di bawah semak-semak, kedua kakinya menekuk dan kepala menelusup di antaranya. Beberapa kali ia mengernyit, pinggangnya sakit dan kepalanya mulai pusing. Keringat sebesar biji jagung mulai menghiasi area wajah dan lehernya.

"Aku harus ke rumah sakit, Kakak mungkin berada di sana." Lagi, karena tekadnya yang sudah membulat, ia memaksakan diri untuk kembali berdiri.

Bertumpu tangan pada kedua lututnya untuk sekedar menetralkan napasnya yang mulai pendek. Sesekali ia menggeleng saat pandangannya masih terasa memburam. Kakinya sudah nyaris beranjak ketika tiba-tiba tubuhnya terhuyung nyaris terjatuh.


















"Joan!"





.
.
.













Sedangkan tak jauh dari tempat itu kini ada seorang pemuda yang tengah dilanda ketakutan. Ia segera mencabut sesuatu yang masih menancap pada lengan pemuda lainnya yang kini tengah menggelepar di atas lantai dengan mulut berbusa.

"Apa yang kau lakukan, Gavian? Kau ini KENAPA, HAH?!" Gavin sudah tak bisa berpikir jernih.

Kini ia dengan susah payah menyelimuti tubuh Ian yang hanya memakai kaos singlet dengan selimut tipis yang ia ambil dari atas kasur di dalam flat kecil milik adiknya itu.

Tadi, setelah ia diusir oleh sang ayah, Gavin berniat untuk menemui Ian dan menjelaskan semuanya. Walaupun masalahnya dengan sang ayah belum selesai, ia juga harus menyelesaikan masalahnya dengan sang adik. Gavin pergi ke tempat di mana ia biasa menemui anak-anak jalanan yang tentunya juga kenal baik dengan Ian.

Gavin meminta alamat flat Ian dan berakhirlah dengan ia yang terkejut saat melihat adiknya terkapar di atas lantai flat dengan tubuh kejang dan mulut berbusa. Jarum suntik juga masih menempel pada lengan kurus pemuda itu, membuat Gavin mengumpat berkali-kali sembari membawa sang adik dalam gendongannya menuju mobil.

"Kumohon bertahanlah, Dek. Aku harus menebus semua kesalahanku padamu. Kumohon beri aku kesempatan."

Berkali-kali ia melirik dari spion yang ada di atasnya untuk melihat tubuh Ian yang mulai tenang di jok belakang. Hal itu justru membuat Gavin semakin kalut karena ia tahu sejak tadi denyut nadi Ian mulai melemah.











.
.
.












"Permisi, Paman." Gadis itu berdiri di depan Sigit yang nampak kacau di teras rumahnya. Itu sangat terlihat dari raut wajahnya dan rambutnya yang acak-acakan.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang