#33

1.2K 163 27
                                        

Gavin menerima sepucuk surat yang diberikan oleh seorang dokter yang menangani Ian kemarin.
Sampai sekarang Gavin masih belum menyangka jika adiknya kini telah tiada. Rasa bersalah semakin besar karena ia tak bisa menjaganya meski dirinya berada tak jauh dari sang adik.

"Sebelum meninggal, mendiang pasien Gavian menitipkan ini pada saya. Sebenarnya saya tidak tahu surat ini ditujukan untuk siapa, tapi karena anda yang membawanya kemari dan menjadi walinya, maka saya menyerahkan surat ini pada anda, Dokter Gavin."

Gavin bukan pemuda yang cengeng. Tapi, siapa kiranya yang mampu membendung tangis saat orang yang sangat ia sayangi pergi untuk selama-lamanya. Ia remat kasar ujung jas dokternya. Dadanya bergemuruh saat melihat kertas yang terlipat rapih di dalam amplop putih bersih yang kini berada di tangannya.

"Sebenarnya apa yang terjadi padanya? Kurasa ia sudah lebih baik saat aku meninggalkannya untuk terakhir kali?"

"Maaf, Dokter Gavin, perawat baru saja meninggalkan ruangan setelah mengganti cairan infus pasien, setelahnya kami tidak tahu apa yang terjadi. Saat kami pergi ke ruangan pasien karena tombol darurat yang ditekan, kami sudah melihatnya dalam kondisi kejang-kejang dan kami menemukan luka sayat di lengan pasien. Saya rasa pasien tengah mengalami sakaw yang hebat hingga kami tak bisa menyelamatkannya."

Gavin tak bisa menyalahkan siapapun. Meski ia tahu, seharusnya adiknya bisa diselamatkan jika tak terjadi keterlambatan penanganan. Tapi ia sadar, ia tak ada di sisi Ian pada saat itu. Adiknya sendirian, sedari kecil ia sendiri dan menurutnya yang harusnya disalahkan adalah dirinya.

Kertas yang terlipat itu mulai membuka diri dengan bantuan tangan bergetar milik dokter muda berkulit tan itu. Matanya mulai bergerak searah dengan jajaran aksara yang membentuk kata-kata.

Untuk : Kakakku yang kini telah kembali.

Hai, Kak Gavin. Entah kenapa aku hanya bisa menuliskan sapaan itu. Saat kau berada di hadapanku, lidahku benar-benar keluh meski hanya untuk mengucap kata 'Kakak'.

Mungkin ini terlambat, tapi jangan bersedih lagi, aku sudah memaafkanmu. Setiap orang punya kesalahan dan kau bukan satu-satunya orang yang memilikinya. Aku melakukan kesalahan, aku menirumu, bukankah aku adik yang selalu patuh terhadap kakaknya?

Kak, aku sudah mengecap rasanya jadi sulung berkat dirimu. Terimakasih, karena hal itu mengajariku banyak hal, meski lebih banyak pahitnya dibandingkan manisnya. Tapi, aku menikmatinya dalam topengku.

Tolong, sampaikan ini pada Joan. Aku, Kak Ian, sungguh sangat menyayanginya. Aku tak ingin dia melihat keburukanku dan menirunya seperti aku yang menirumu. Katakan juga bahwa di ulang tahunnya tahun depan aku tak lagi bisa memberinya hadiah seperti biasa yang aku letakkan di atas meja belajarnya.

Sampaikan juga pada Ririn bahwa aku tak bisa lagi menemaninya tidur saat aku pulang. Tak bisa memberinya permen dan kue manis saat aku punya uang lebih.

Sampaikan juga pada ayah dan ibu, aku sudah menjadi putra yang buruk selama sepuluh tahun ini. Mungkin benar kata ayah, aku hanya anak lelaki yang tak bisa diandalkan. Aku rusak, tak ada yang bisa dilihat dariku. Meski ini bukanlah keinginanku, tapi semuanya sudah terjadi. Aku yang terlalu lemah karena tak ingin melihat adik-adikku terluka, aku yang lemah karena rasa rinduku terhadap kakakku.

Tolong, lindungi keluarga kita. Seseorang ingin berbuat buruk pada mereka. Jagalah dan jangan membuat aku tak tenang dalam peristirahatanku.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang