#22

1.4K 188 51
                                    

"Kenapa Kakak sangat mirip dengan ayah?"

Gavin nyaris terjengkang dari duduknya kala ia mendengar cicitan tersebut, ditambah lagi dengan mata kecil yang mengerjap pelan di hadapannya. Gavin seakan terseret masuk dalam jeratan pesona sang adik. Ia tak kuasa, tak kuasa jika bibirnya harus mengeluarkan bualan untuk sang adik. Adiknya terlalu polos, adiknya tak pantas menerima omong kosong jika ia kembali harus berbohong.

"A-apa maksudmu?" Gavin tak jadi terjengkang karena ia yang menahan diri dari keterkejutannya. Ia hanya sedikit mundur untuk lebih leluasa melihat ekspresi sang adik.

"Maaf, maksudku ... mata Kakak, indah sekali, seperti punya ayah."

Remaja itu lantas menundukkan wajah. Tak ada yang kembali bersuara, bahkan Ian lebih memilih keluar dari kamar itu dengan Ririn dalam gendongan.

"Oh!"

Ian sedikit terkejut, pasalnya saat tubuhnya keluar dari ruangan penuh rasa canggung itu, ia di hadapkan dengan tubuh lemah sang ayah yang tengah bersandar pada dinding kamar Joan.

"Ayah mau kemana? Tidak putal putal lagi kepalanya?"

Sigit tersenyum menanggapi si bungsu, ia lantas mengusap lembut pipi sang anak.

"Ayah hanya ingin ambil minum."

Ian membiarkan sang ayah berjalan tertatih dengan tubuh lemasnya menuju dapur. Tak ingin terlarut dalam suasana, pemuda itu lantas mengajak sang adik untuk bermain di teras rumah.









"Ada apa ini? Kenapa rasanya sesak sekali?"

Sigit meremat sisi dadanya, matanya tiba-tiba memanas. Tubuhnya yang bertumpu pada meja dapur seakan kian memberat. Air segar yang baru masuk membasahi kerongkongannya seakan tak lagi terasa, kerongkongannya mendadak kembali kering.

"Apa dia benar-benar, d-dia ...."






.
.
.

Gavin tersenyum sepanjang hari ini sepulangnya ia dari rumah orang tua kandungnya. Ia bahkan tak henti-hentinya memandangi pin kecil bergambar salah satu karakter dalam animasi My Little Pony pemberian Ririn.

"Wah, apa yang terjadi pada perjaka Mama, heum? Sedang kasmaran?"

Gavin segera menegakkan tubuhnya yang semula setengah berbaring bersandar pada sofa ruang keluarga. Ia tersenyum canggung saat mendapati wanita cantik seusia ibu kandungnya itu tengah menatapnya dengan tatapan penuh selidik dan godaan.

Wanita itu memekik dan ada 'awh' kecil yang keluar dari mulut wanita yang kini ia panggil mama itu saat anggukan kecil ia terima.

"Katakan cepat, katakan pada Mama, gadis mana yang beruntung yang bisa memikat hati pangeran Mama ini?"

Tak disangka dengan kalimat seperti itu sudah mampu membuat pipi hingga telinga Gavin berubah gradasi menjadi kemerahan, ia lantas menubruk tubuh sang mama dan menyembunyikan wajahnya di sana.

"Gadis itu jahat sekali, Ma. Dia baru berusia empat setengah tahun tapi mampu membuat hatiku porak poranda."

Wanita itu memekik, bahu sang anak di dorong paksa dan pelototan di wajahnya ia tujukan pada sang pemuda.

"Astaga, Gavin. Sejak kapan kau jadi pedofil, Nak? Astaga, apa kau berkawan dengan penjahat kelamin selama di Inggris?"

Gavin merotasikan bola matanya, ia lantas kembali bersandar pada sandaran sofa dan kembali melihat pin kecil itu dengan senyuman yang tak lepas dari wajahnya.

"Dia gadis kecilku, Mama. Bukan hanya dia, tapi remaja lelaki berusia enam belas tahun itu juga sudah memikat hatiku."

Sang mama menutup mulutnya tak percaya. Oh, tidak ... selain menjadi pedofil apakah putranya itu juga penyuka sesama jenis?

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang