#27

1K 163 30
                                    

"Jadi, bisa jelaskan pada Ibu?" Gavin menunduk dalam diam. Ia yang tengah duduk bersisian dengan sang ibu di atas kursi panjang di depan ruangan Joan itu pun meremat tangannya gusar.

"Apa kau tak ingin kembali pada keluargamu yang miskin ini?" Tari mulai tak sabar ingin mendengarkan alasan lelaki do hadapannya itu yang selama ini menyembunyikan identitasnya.

"Jawab, Gavin! Apa kau malu punya keluarga miskin--"

"Ibu, tidak! Sungguh, aku tak bermaksud seperti itu." Gavin mengambil tangan sang ibu dan ditangkupnya dengan kedua tangan, ia kecup beberapa kali.

Tari tak bisa lagi membendung tangisnya, ia alihkan pandangannya, tak kuasa melihat putranya juga menangis di hadapannya.

"Maafkan aku, Ibu. Sungguh aku tak bermaksud meninggalkan kalian."

"Lalu apa? Kau pergi dari rumah bertahun-tahun, bahkan kami mengira kau sudah tiada, Nak. Lalu sekarang, kau ada di hadapan kami, kau tahu kami adalah keluargamu, tapi kenapa kau diam? Kenapa kau tak menemui Ibu sebagai anak?"

"Aku takut, Bu," cicitnya setelah melepas tangan sang ibu dan kembali memposisikan tubuhnya menghadap ke depan.

"Aku takut ayah tak menerimaku, aku takut ayah mengusirku lagi, aku--"

"Temui ayahmu." Tari memotong perkataan Gavin dengan kalimat yang membuat putranya itu seketika kembali terdiam.

"Temui dia, Nak. Jika kau tahu, ayahmu yang paling terpukul saat kau pergi dari rumah."

"B-benarkah?" Gavin bisa melihat sang ibu mengangguk pelan seraya mengusap sisa air matanya.

"Ayahmu berubah saat dia kehilangan kau. Bicaralah dengannya, mungkin saat ini hanya kau yang bisa menyadarkan ayahmu."












.
.
.




"Kakak, kenapa ayah dan ibu malah-malah sama doktel tampan?" tanya Ririn pada Joan, sang kakak.

Mereka berbaring bersisian dengan Ririm yang menggunakan lengan Joan sebagai bantal. Jangan lupakan kehadiran Rania di sana. Gadis itu hanya duduk diam di atas sofa. Suasana sangatlah canggung, ia segan untuk mengeluarkan suara.

Sedangkan, gadis kecil yang tengah berbaring itu terlihat takut saat melihat sang ibu menangis dan berteriak pada dokter tampan pujaannya. Jadilah kini ia terus menempel pada sang kakak, bahkan ia juga menolak saat sang ayah ingin menggendongnya.

"Itu urusan orang dewasa, kita jangan ikut campur." Jujur saja, Joan sendiri sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada kedua orang tuanya dan dokternya.

"Kak Jo kan sudah besal, memang tidak boleh kuping-kuping?"

"Tentu saja tidak boleh, menguping itu tidak baik. Lagi pula, Kak Jo juga masih kecil kok, masih saka imutnya dengan adik kakak yang cantik ini."

Gadis kecil itu terkekeh saat Joan mencubit main-main hidung mungilnya. Ia lantas mendekap erat sang adik, dalam hati ia berjanji untuk membuat gadis kecil itu bahagia. Ia tahu rasanya tak pernah berada di sisi saudara-saudaranya, ia tahu rasanya tak pernah menghabiskan waktu bersama dengan saudara-saudara dan Joan tak ingin hal itu terjadi pada adik satu-satunya.

Hingga sepuluh menit kemudian, Joan tak merasakan pergerakan dari kepala plontos dalam pelukannya, ia juga tak mendengar gerutuan-gerutuan tak jelas yang sedari tadi seperti bernyanyi di telinganya.

"Eoh, sudah tidur rupanya."

Yoongi mengalihkan pandangannya pada presensi lain yang ada di dalam ruangan itu.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang