#13

1.5K 187 46
                                        

Rania menatap penuh kekhawatiran pada Joan yang tengah kembali berbaring di ranjangnya. Setelah tadi ia meminta bantuan seseorang yang kebetulan lewat di depan ruang rawat Joan untuk mendobrak pintu kamar mandi, Rania dikejutkan dengan kondisi Joan yang tengah tak baik-baik saja. Pemuda itu tengah terduduk di atas kloset, memegangi pinggangnya yang nampak mengeluarkan darah hingga merembes mengotori baju pasien yang dikenakannya.

Perawat sudah membersihkan dan membalut kembali lukanya. Meski nampak lemas, tapi Joan tak ingin menampakkan wajah sedih do hadapan teman perempuannya itu.

"Sebenarnya apa yang terjadi, Jo? Itu luka apa, kenapa besar sekali?" Joan sebenarnya tak ingin mengungkapkan hal ini. Tapi, ia sudah terlanjur tertangkap basah.

"Aku ... habis melakukan operasi," jawabnya dengan nada sedikit lirih. Rania semakin menunjukkan raut khawatir hingga ia mendekatkan kursi yang ia duduki ke ranjang pasien.

"Jadi, kau sakit apa? Kenapa sampai dioperasi?"

"A-aku--"

"Dia baru saja mendonorkan ginjalnya."

Sahutan dari arah pintu kamar membuat keduanya menoleh. Joan seketika memalingkan wajahnya ketika melihat siapa yang datang.

"Jo ... kenapa?" Suara lirih Rania membuat hati Joan bergetar. Tangannya bahkan meremas kuat selimut yang menutupi tubuhnya. Dadanya sesak dan matanya mulai memanas.

"Entah apa yang dipikirkannya hingga melakukan hal gila seperti itu. Kau ingin menambah beban orang tua kita, hah?!" Suara keras Ian membuat Joan sedikit tersentak.

Ingin sekali ia berteriak bahwa ini bukan keinginannya. Tapi, bahkan untuk membuka mulutnya saja Joan merasa kepayahan.

"Tatap lawan bicaramu." Meski tak sekeras tadi, namun nada bicara Ian masih saja tak bersahabat.

"Kak, jangan bentak dia. Kondisinya masih lemah." Rania bangkit dan mencoba meredam emosi Ian.

Ian sendiri tak tahu. Kenapa ia melakukan semua itu. Ia bahkan belum mendengar penjelasan dari ibu ataupun adiknya mengapa hal itu bisa terjadi. Jika saja boleh jujur, Ian sebenarnya sangat mengkhawatirkan kondisi Joan hingga ia tak bisa mengontrol emosinya saat melihat pemuda itu terbaring lemah di hadapannya.

Ian mengusap wajahnya kasar. Ia kemudian berjalan menuju sofa dan menghempaskan tubuhnya disana. Rania yang mendengar suara isakan segera berlalu untuk mendekati Joan. Dan benar saja, anak itu tengah menggigit bibirnya untuk meredam isakannya meski sama sekali tak berhasil.

"Jo, sudah. Berhenti menangis atau kau akan semakin sakit." Rania meraih tubuh Joan yang semula sedikit miring membelakanginya. Gadis itu meraih tisu dan menghapus air mata yang sudah menganak sungai di pipinya.

"Maaf, aku laki-laki dan tak seharusnya menangis."

"Kau memang laki-laki yang lemah."

"Kak Ian stop! Maaf jika aku tak sopan, tapi kakak tidak seharusnya berkata kasar seperti itu pada Joan. Dia sakit, Kak." Ian seketika terdiam. Dalam hati ia juga meruntuki mulutnya yang selalu berkata kasar pada Joan entah kenapa. Ia kemudian mulai merebahkan diri di atas sofa panjang itu dan mulai menutupi matanya dengan sebelah lengan.

"Terserah."



Nyaris dua jam sudah Rania menemani Joan di ruangannya. Gadis itu juga banyak bercerita tentang keadaan di sekolah dan beberapa kali membuat Joan tertawa.

"Jo, apapun yang kau rasakan, entah itu kesedihan atau rasa bahagia sekecil apapun itu, berbagilah. Kita berteman sejak kecil. Kita satu kelas dan bertetangga, jangan sungkan untuk bercerita padaku, aku akan menjadi pendengar yang baik." Senyum manis Rania membuat hati Joan menghangat.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang