Tari khawatir melihat Joan yang tak sadarkan diri tepat setelah memasuki ruang rawat si bungsu.
"Kenapa kau melakukan itu, kau tahu kalau Joan sedang sakit bukan?" Ucapan lirih itu keluar dari bilah bibir wanita yang merasa sakit melihat dua buah hatinya tumbang secara hampir bersaman. Beruntung ranjang di samping tempat Ririn itu sedang kosong, jadi Joan bisa dibaringkan di sana untuk sementara waktu.
"Lalu bagaimana dengan Ririn? Kau mau dia tidak mendapatkan pengobatan? Percuma saja aku punya banyak anak lelaki jika tak ada satupun yang bisa ku andalkan." Sigit berujar tak begitu keras tapi penuh penekanan. Ia hanya tak ingin Ririn yang tengah berada di balik tirai yang bersebelahan dengan tempat tidur Joan itu mendengarnya.
"Ibu, Ayah ... kak Jo kenapa?" Sigit segera berlari menuju sang putri yang kini tengah berdiri di samping tirai itu, wajahnya masih sangat pucat dan ia tampak mengernyit beberapa kali menahan sakit.
"Ya ampun, sayang, kenapa turun? Ayo berbaring lagi. Jangan turun nanti infusnya ikut tertarik." Sigit dengan segera menggendong Ririn untuk dibaringkan kembali ke atas tempat tidurnya.
"Kak Jo kenapa, Ayah? Kak Jo jatuh, kak Jo sakit, ya?" Ririn memang paling dekat dengan Joan, tentu karena hanya remaja itu lah satu-satunya kakaknya yang tersisa di rumah.
"Kakak hanya tertidur, sudah ya jangan nangis lagi. Sekarang Ririn juga harus tidur." Awalnya Ririn terus-menerus meminta agar sang ayah membawanya untuk bertemu sang kakak tapi dengan bujukan dan usapan yang terus Sigit berikan pada punggung kecil itu, akhirnya si gadis kecil tertidur.
Sudah nyaris satu jam dan Joan belum juga membuka matanya. Tari tak henti-hentinya menggenggam tangan yang terkulai itu hingga satu suara deritan pintu dan langkah kaki yang memasuki ruangan mengalihkan atensinya.
"Untuk apa kau kemari?" Sigit yang tengah berbaring di samping putrinya untuk menjaga agar gadis cilik itu tetap tenang dalam tidurnya pun dikejutkan dengan kedatangan seseorang yang tak ia harapkan sama sekali kehadirannya bersama dengan seorang gadis remaja di belakangnya.
"Aku hanya ingin menemui adikku."
Tari yang merasa akan ada cekcok antara suami dan putra keduanya itu langsung berusaha melerai.
"Ini rumah sakit, jangan buat kegaduhan. Ririn baru saja tertidur." Mendengar hal itu, Sigit yang hendak melempar cacian pada putranya itu kembali ia telan. Tapi tak lama emosinya semakin tersulut kala pemuda itu berjalan semakin mendekat menuju ranjang.
"Jangan dekati putriku, pergi kau dasar anak tak tahu diri!" Pemuda itu tetap kekeuh menggiring langkahnya menuju gadis cilik yang sudah dirinduinya itu.
"Rin, Kak Ian datang." Sigit sudah berancang-ancang akan menarik lengan pemuda bernama Gavian atau yang lebih akrab disapa Ian itu jika saja Tari tak segera menariknya keluar ruangan.
Ian tak ingin ambil pusing dengan ayah dan ibunya. Ia hanya ingin menemui adik kecilnya sekarang. Ia bahkan lupa jika ia mengajak seseorang bersamanya tadi. Gadis itu hanya memandang haru apa yang tengah pemuda empat tahun lebih tua darinya itu lakukan.
"Apa yang kau lakukan?! Aku tidak mau anak itu mendekati putriku." Sigit berujar marah pada istrinya yang sudah berhasil menariknya sedikit menjauh dari ruangan sang anak.
"Tapi Ian kakaknya, dia juga berhak menemui Ririn. Kau tahu? Bahkan Ririn sendiri juga merindukan kakaknya, setiap malam dia selalu bertanya kenapa kak Iannya tak pernah tidur di rumah. Walau kau membenci Ian, setidaknya pikirkan perasaan Ririn." Sigit sedikit bisa mengontrol dirinya kala penjelasan Tari mulai tercerna dalam otak penuh egonya.

KAMU SEDANG MEMBACA
[ END ] J O A N D R A®
FanfictionRemaja tanggung tak tahu apa salahnya yang ia tahu ibunya berkata bahwa dia adalah harta keluarga. Mengapa ayahnya selalu bersikap kasar setelah kepergian sang kakak pun ia tak tahu apa sebabnya. Yang ia yakini hingga saat ini hanyalah ayahnya akan...