#6

1.7K 195 65
                                    

Agaknya sekarang Tari  bisa untuk bernafas lebih lega. Tak ada yang membahagiakan baginya ketika melihat para buah hatinya tersenyum senang dengan aktivitasnya, terlebih lagi beberapa waktu lalu putra putrinya tumbang secara bersamaan membuatnya seakan ikut tumbang jika tak ingat ialah penguat bagi keduanya.

"Ririn, ayo dimakan buburnya dan minum obatnya, ya." Ririn memang satu-satunya anak perempuan dan posisi sebagai anak bungsu tak lantas membuatnya menjadi anak yang manja. Ia menyuapkan bubur ke dalam mulutnya dengan lahap.

"Kak Jo sebental lagi pulang 'kan, Bu?" tanyanya masih dengan mulut yang penuh bubur setelah melirik jam pada dinding di sisi kirinya. Ibu bilang kak Jo akan pulang jika jarum pendek menunjuk pada angka yang berbentuk seperti angsa itu.

"Iya, tunggu sebentar lagi."

Sudah satu minggu ini Tari tak menerima layanan cuci. Ia hanya ingin memastikan kondisi kedua anaknya baik-baik saja. Beruntung Joan sembuh lebih cepat dan bisa segera masuk sekolah. Ririn juga hanya sesekali mengeluh pusing dan bisa dengan cepat diredakan dengan obat yang ia dapat dari rumah sakit lalu.

Operasi pengangkatan tumor pada kepala gadis kecil itu diundur karena lagi-lagi terkendala biaya. Sang kepala keluarga sudah berusaha mencari pinjaman pada kawan-kawannya namun tak ada satu pun yang bersedia ataupun sanggup membantu karena memang biaya operasi yang sangat mahal bagi keluarga berekonomi pas-pasan seperti keluarga Sigit dan Tari.

Meminjam pada bank atau perkreditan juga percuma karena mereka tak punya apapun untuk dijadikan jaminan yang tentunya menjadi salah satu syarat untuk meminjam uang.

Ririn yang tengah bermain di kamar dengan boneka jerapah lusuhnya pun seketika melompat dari atas ranjang saat mendengar suara sang kakak dari arah luar pintu.

"Yeeeeaayy ... Kak Jo pulang." Gadis kecil itu berseru senang dan disambut dengan uluran tangan terbuka dari yang lebih tua, tanda inginkan pelukan.

"Ririn, jangan lari-lari nanti jatuh lagi, kalau Ririn jatuh terus sakit kak Jo juga akan sakit. Ririn tidak mau kakak sakit, kan?" Bibirnya mengerucut, wajahnya menyendu tanda tak suka dengan apa yang sang kakak ucapkan.

"Jangan sakit, Lin gak suka kakak sakit." Jo tersenyum, mengeratkan pelukannya pada sang adik dan dihujaninya wajah mungil itu dengan banyak kecupan kupu-kupu hingga si gadis kecil memekik geli.






.
.
.




"Lin juga mau kelipik!" gadis kecil itu mencoba meraih keripik kentang dalam kemasan yang tengah digenggam sang kakak. Mereka tengah menonton TV. Tari yang menyaksikan kedekatan kedua kakak beradik itu dari dalam dapur hanya tersenyum senang.

Meski keluarganya tak bergelimang harta, setidaknya ada banyak luapan kasih dan sayang di antara mereka. Meskipun banyak sekali kesakitan yang ia dan suaminya harus lalui untuk waktu yang lama bahkan hingga kini ujian itu masih ada, namun, Tari tak ingin berkecil hati.

Jujur, ia sangat merindukan keluarga yang utuh. Meski hubungannya dan Sigit tak ada masalah, tapi justru masalah datang dari anak-anaknya. Tak terasa sudut matanya terasa basah. Tari mengingat kejadian belasan tahun yang lalu. Saat dimana ia kehilangan putranya untuk yang pertama kali.

Ia ingat saat dirinya sibuk di rumah sakit untuk mengurus Joan yang tengah terserang demam tinggi dan harus dirawat, Ian yang masih berumur lima tahun juga ikut serta bersamanya.

Awalnya ia merasa khawatir dengan Gavin karena anak itu tak tahu jika ibu dan kedua adiknya tengah berada di rumah sakit, tapi saat sang suami tiba-tiba menerima panggilan telepon dan setelahnya berpamitan padanya untuk pergi menjemput putra sulung mereka, Tari merasa sedikit lega. Ia hanya akan fokus pada kesembuhan Joan.

[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang