#5

2.1K 214 28
                                        

Bocah lelaki berusia 8 tahun itu tersedu, sejenak meruntuki dirinya yang beberapa saat lalu merasa sangat berani berada di luar dengan udara dingin membelenggu tiap-tiap sendi dalam tubuhnya. Angin segar menyesakkan yang membelai sedikit kencang pada dadanya yang hanya berlapis kaos tipis tanpa jaket, hanya satu lembar kain pengganti syal yang ibunya jahit sendiri dengan tangan.

Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia tak tahu kakinya berpijak pada tanah bagian mana di kotanya. Ransel lusuh bergambar superhero bercelana dalam yang digunakan di luar itulah yang menemaninya sedari beberapa jam lalu, tepat dimulai ketika ia memutuskan untuk pergi meninggalkan rumah.

Dadanya seperti tertusuk ribuan jarum saat sang ayah sendiri berkata bahwa ia bukanlah anaknya, pria yang selama ini ia banggakan itu nyatanya tak mengharapkannya, tak ingin lagi mengakuinya karena satu kesalahan yang ia sendiri tak menyadarinya.

Ia sudah menangis ketakutan saat dirinya digelandang menuju sebuah gedung yang banyak sekali orang berseragam di dalamnya, dan ia tahu tempat apa itu, kantor polisi.

Ia menangis tanpa henti, berharap sang ayah datang untuk menenangkannya. Ia bahkan tak menjawab apapun saat polisi melempar beberapa pertanyaan padanya. Hingga saat wajah sang ayah terlihat olehnya, ia dengan segera berlari menuju sang ayah, menubrukkan diri pada kaki sang ayah.

Ia tak tahu apa yang ayah dan polisi itu bicarakan. Yang ia tahu, tiba-tiba sang ayah menyeretnya dengan paksa untuk segera pulang ke rumah.

Ia tak tahu jika akan begini jadinya. Ia seperti tak lagi mengenal ayahnya. Ayahnya kalap dengan mata memerah menahan marah. Tangannya dengan gesit melepas sabuk yang melingkari pinggangnya, mengayunkan sabuk itu beberapa kali pada punggung kecil sang anak setelah menyingkap kaos bagian belakang dan menyuruh anaknya tengkurap di atas sofa.

Pikirnya, salah apa ia sampai dibebani dengan masalah putra-putranya. Ia berada di rumah sakit untuk memeriksakan putranya, Joan yang tengah terserang demam tinggi saat tiba-tiba ia menerima panggilan dari ponsel lusuhnya yang nyaris rusak yang mengabarkan jika anak sulungnya tengah dibawa ke kantor polisi karena ketahuan mencuri.

Kepalanya sudah pening memikirkan biaya berobat Joan karena ia yang harus dirawat beberapa hari di sana dan dalam waktu yang bersamaan si sulung menambah bebannya. Si pemilik toko yang arogan dan tak punya hati itu dengan tega meminta ganti rugi, padahal mainan itupun sudah dikembalikan.

Selesai mencambuk punggung ringkih si sulung beberapa kali dan melempar  kalimat yang tak pernah terpikirkan olehnya, ia pergi ke kamar mandi. Menangis, menyalahkan takdir karena hidupnya yang begitu malang. Ia tak bermaksud berkata kasar pada sang anak tapi emosi sudah benar-benar membakar hatinya. Hingga saat ia keluar beberapa jam kemudian, ia sudah tak mendapati sang anak yang ia kira tengah berada di dalam kamar.



.
.
.

"Heeuungg ... lapar." Ia menggosok perut ratanya yang sedari tadi berbunyi mirip seperti guntur kecil-kecilan. Lagi-lagi ia meruntuk. Tadi ia melihat satu potong ubi manis rebus yang tersisa di atas piring, tapi ia enggan mengambilnya karena takut jika ada yang lebih dulu memergokinya.

Bocah kecil itu memutuskan untuk singgah beberapa saat, atau mungkin hingga esok pagi di bawah sebuah pohon yang sudah tua. Terlihat dari batangnya yang sedikit mengkerut dengan ranting-ranting yang banyak berjatuhan di sekitar kakinya.

"Sshh, perih," desisnya kala punggungnya tak sengaja terbentur batang pohon saat ia bersandar dengan tak sabaran. Bekas cambukan itu masih membekas, tentu saja karena baru beberapa waktu lalu luka itu terbentuk. Kakinya pegal, mungkin sudah sekitar dua jam ia berjalan tanpa henti.

Bocah itu pun melepas kain yang melilit lehernya, menggelarnya di bawah pohon, persis di pinggir jalan. Menata tasnya untuk dijadikan bantal.

Hari sudah malam sekali dan jalanan ini sangat sepi. Hanya bunyi hembusan angin yang menggelitik telinga memerahnya. Seluruh rambut halus di tubuhnya berdiri, badannya mulai menggigil akibat dingin yang mulai merasuki tiap pori-pori. Hingga lama kelamaan mata itu memberat, terlalu lelah barang untuk terbuka lebih lama lagi.













[ END ] J O A N D R A®Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang